Ketika seorang pria harus pindah ke kota lain untuk mengejar karier, ia dan kekasihnya menjalani hubungan jarak jauh. Meski sulit dan penuh tantangan, mereka berjanji untuk tetap setia hingga suatu hari mereka dapat bersatu kembali.
Adrian berdiri di depan pintu bandara, memandang Naya yang berdiri di hadapannya dengan mata yang sedikit berkaca. Mereka tidak berbicara, hanya saling menatap dalam keheningan. Suasana sekitar tampak ramai, namun bagi mereka, dunia seakan terhenti sejenak.
"Jadi, ini benar-benar terjadi, ya?" suara Naya akhirnya pecah, lirih. Ada kekosongan yang mendalam dalam kata-katanya, meski ia berusaha terlihat tegar.
Adrian menghela napas dalam-dalam. "Aku... aku harus pergi, Nay. Ini kesempatan yang nggak bisa aku lewatkan." Dia menggerakkan tangannya, seakan mencoba mengungkapkan semua perasaannya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Aku nggak mau ninggalin kamu. Tapi aku harus pergi."
Naya menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku tahu. Aku tahu ini untuk kebaikan kita juga," jawabnya, suara sedikit bergetar. "Tapi... kenapa rasanya lebih sakit dari yang aku bayangkan?"
Adrian melangkah maju dan memegang kedua bahu Naya, menatapnya dengan penuh rasa sayang. "Aku janji, Nay. Aku nggak akan pernah berubah. Hati ini hanya untuk kamu, meski jarak memisahkan kita." Dia mencoba tersenyum, meski wajahnya penuh kerisauan.
Naya menatap wajah Adrian dalam-dalam. "Kamu yakin bisa tahan? LDR itu nggak gampang, Adrian. Kita bisa saling rindu, tapi kita juga bisa mulai merasa jauh." Ada sedikit ketakutan di balik kalimatnya.
"Percaya sama aku, Nay. Aku nggak akan biarkan apapun mengganggu kita. Aku akan kembali, kok. Cuma... sabar sedikit lagi. Aku janji setelah aku settle di sana, aku akan bawa kamu ikut."
Tangan Adrian meraih tangan Naya dan menggenggamnya erat. "Kita akan melewati ini bersama. Aku tahu kita kuat."
Naya mengangkat wajahnya, mencoba menahan tangis. "Aku juga... aku janji, Adrian. Aku akan tunggu kamu. Kalau itu yang kamu butuhkan untuk maju."
"Makanya," Adrian melirik jam tangannya, "aku harus pergi sekarang." Ia membungkukkan tubuh dan mencium kening Naya dengan lembut. "Aku nggak bisa janji kalau kita nggak akan ada cobaan, tapi aku bisa janji satu hal: hati ini nggak akan pernah berpaling."
Naya menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Aku percaya sama kamu. Aku selalu percaya."
Adrian memutar tubuhnya perlahan dan mulai melangkah menuju loket imigrasi. Setiap langkah terasa lebih berat, seakan ada beban yang menekan dadanya. Saat dia menoleh untuk terakhir kali, Naya masih berdiri di sana, menyaksikan kepergiannya. Ada senyum yang terukir di wajah Naya, meski senyum itu terbungkus kesedihan yang dalam.
Naya mengangkat tangan, melambaikan tangan dengan pelan. "Sampai jumpa, Adrian. Jaga hati kamu baik-baik. Dan jangan pernah lupa kita."
Adrian berhenti sejenak dan melambaikan tangannya dengan penuh arti. "Sampai jumpa, Nay. Hati ini hanya milik kamu. Sampai kita bertemu lagi."
Dengan satu langkah terakhir, Adrian menghilang ke dalam keramaian bandara, meninggalkan Naya yang masih berdiri di sana, dengan harapan dan kerinduan yang semakin membara.
Beberapa minggu kemudian...
Naya duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar melihatnya. Pikirannya jauh. Ia merindukan suara Adrian, wajahnya, dan bahkan kehadirannya yang selalu memberi rasa nyaman.
Ponsel di mejanya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Adrian.
Adrian: "Hai, Nay. Aku baru selesai urusan di sini. Pekerjaan lebih berat dari yang aku kira, tapi aku baik-baik saja. Bagaimana dengan kamu? Rindu banget sama kamu."
Naya tersenyum membaca pesan itu, meskipun hatinya masih terasa kosong. _Aku rindu kamu juga, Adrian._ Dengan cepat, ia membalas.
Naya: "Aku baik-baik saja. Semua berjalan normal di sini, cuma sedikit sepi tanpa kamu. Tapi aku akan baik-baik saja. Semangat di sana ya. Jangan sampai lelah."
Adrian: "Aku akan selalu semangat kalau ingat kamu. Kamu jaga diri, ya. Kita pasti bisa melewati ini. Aku janji."
Setelah mengirimkan pesan itu, Naya menghela napas panjang. Hubungan jarak jauh memang penuh dengan ujian, dan sepertinya ujian itu baru saja dimulai.
Namun, di dalam hati Naya, ada satu hal yang tak bisa dia lupakan-janji Adrian."Hati ini hanya untuk kamu. Dan itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya mampu bertahan.
"Aku nggak boleh lemah," Naya berkata pada dirinya sendiri, berusaha menguatkan hati yang terasa rapuh. Ia tahu ini adalah keputusan yang mereka buat bersama, namun kenapa rasanya begitu sulit? Setiap malam sebelum tidur, dia selalu merindukan suara Adrian yang menyapanya melalui telepon atau pesan singkat. Kadang-kadang, ia bahkan merindukan percakapan biasa mereka yang dulu terdengar sepele.
Ponsel kembali bergetar, dan kali ini Naya hampir melompat kegirangan, berharap itu Adrian. Namun ternyata, itu hanya pesan dari temannya, Fina.
Fina: "Nay, udah lama nggak ketemu! Ayo, ngopi bareng minggu ini?"
Naya menghela napas, menatap pesan itu dengan rasa tidak tertarik. "Minggu ini, pasti ada waktu." Namun, dalam hati, Naya tahu jawabannya bukan karena Fina, tapi karena dia merasa sangat kesepian. Tanpa Adrian di sisi, segala sesuatu terasa tidak lengkap.
Beberapa hari setelah perpisahan mereka, Adrian merasa ada kekosongan dalam hidupnya. Meski lingkungan baru di kota besar itu sangat dinamis, dengan pekerjaan yang menuntut dan pertemuan-pertemuan yang sibuk, pikirannya tak bisa berhenti melayang ke Naya. "Apa kabar dia ya?" pikir Adrian, sambil menatap gedung tinggi di depan matanya, yang tidak berbeda jauh dari tempatnya berdiri beberapa jam yang lalu.
Namun, di luar sana, ada suasana baru yang mengelilinginya. Sebuah dunia yang tak kenal ampun, tempat kerja yang penuh ambisi, dan tekanan yang datang begitu cepat. Semua itu mulai mengikis ketenangan yang biasa dirasakannya saat bersama Naya.
Di suatu sore yang sibuk, Adrian keluar dari kantornya untuk mencari angin segar. Ia berjalan tanpa tujuan, melintasi trotoar yang ramai dengan orang-orang yang juga bergegas pulang. Namun, di setiap langkahnya, ia merasa semakin jauh dari Naya. "Kamu nggak boleh lupa sama dia," pikir Adrian, "Dia masih menunggumu, Adrian."
Saat Adrian berhenti di sebuah kafe kecil untuk istirahat, ia melihat sebuah pesan masuk dari Naya.
Naya: _"Hai, Adrian. Aku tahu kamu pasti sibuk, tapi aku cuma mau bilang... aku rindu kamu. Rindu banget."_
Mata Adrian terasa berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia membalas secepatnya, berharap bisa memberikan sedikit kenyamanan.
Adrian: "Aku juga rindu kamu, Nay. Lebih dari yang kamu bayangkan. Hari-hari di sini nggak sama tanpa kamu. Aku janji, kita akan lewati ini. Aku akan selalu ada buat kamu."
Setelah mengirim pesan itu, Adrian meletakkan ponselnya di meja, menatap ke luar jendela kafe. Ia bisa melihat orang-orang yang sedang menikmati hari mereka, sementara dirinya merasa terjebak dalam ketidakpastian. "Kapan aku bisa pulang ke Naya?"
Naya duduk di balkon apartemennya, memandang kota yang tampaknya tak pernah tidur. Malam itu terasa sepi, jauh lebih sunyi dari biasanya. Ia memegang ponselnya, membuka pesan dari Adrian lagi dan membacanya berulang kali. "Aku akan selalu ada buat kamu."
Tapi hatinya masih ragu. Apakah Adrian benar-benar bisa tetap setia padanya? Apakah jarak dan waktu tidak akan mengubah perasaan mereka? Setiap malam, Naya membayangkan Adrian di tempat barunya, bertemu orang baru, merasakan dunia yang berbeda. Dan itu membuatnya takut. Takut kalau suatu saat nanti, Adrian mungkin akan berubah.
"Apakah aku bisa terus menunggu?" tanyanya dalam hati.
Hati Naya berkata bahwa ia bisa, bahwa ia harus tetap percaya pada cinta mereka. Tapi kadang-kadang, rasa takut itu datang begitu mendalam, membuatnya meragukan segalanya.
Beberapa minggu berlalu. Mereka berdua, meski terpisah jarak, tetap menjaga komunikasi. Setiap pagi, Adrian mengirim pesan singkat untuk menyapa Naya, dan setiap malam, mereka berbicara lewat telepon. Namun, ada suatu jarak yang tak bisa dijelaskan, bukan hanya jarak fisik, tetapi juga perasaan yang perlahan tumbuh di antara mereka-perasaan yang penuh keraguan dan rasa takut akan perubahan.
Pada suatu malam, Naya duduk di meja makan, memandang teleponnya yang tidak kunjung berdering. Adrian telah lama tidak menghubunginya, dan entah kenapa, rasa khawatir semakin menggigit hatinya. Seperti ada sesuatu yang tak beres.
"Mungkin aku terlalu cemas," ia berusaha menenangkan diri. Tapi tetap saja, rasa cemas itu terus mengganggu.
Tiba-tiba, teleponnya berbunyi. Naya melihat nama Adrian tertera di layar. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia mencoba untuk tidak terlalu menunjukkan kegembiraannya.
"Halo, Nay," suara Adrian terdengar sedikit lelah, namun tetap hangat.
"Hei, kamu baik-baik saja?" Naya mencoba untuk terdengar santai, meski suaranya penuh kekhawatiran.
"Aku baik-baik aja. Cuma... sibuk banget di sini." Adrian menghela napas, seakan ingin mengatakan sesuatu yang lebih, tapi ragu.
"Kamu pasti capek, ya? Jangan lupa jaga kesehatan," Naya menanggapi dengan lembut, mencoba memberi rasa nyaman pada Adrian meski dirinya sendiri merasa gelisah.
"Iya, aku tahu. Aku cuma pengen cepat-cepat selesai di sini. Aku janji akan segera balik. Aku rindu kamu, Nay," ujar Adrian, suara yang penuh kerinduan, meski jarak di antara mereka semakin besar.
"Aku juga rindu kamu, Adrian." Naya menatap langit malam, merasakan betapa besar kerinduan itu menghujam hatinya. "Jangan lupa janji kita, ya? Kita akan tetap setia. Aku akan menunggu."
Adrian diam sejenak. "Aku janji, Nay. Hati ini cuma untuk kamu. Selalu."
Mereka terdiam sejenak, hanya mendengarkan suara pernapasan masing-masing. Meskipun terpisah ribuan kilometer, hati mereka masih terhubung dalam janji yang tak akan pernah berubah.
"Aku percaya sama kamu, Adrian," kata Naya dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya masih dipenuhi ketakutan akan kehilangan.
Malam itu, mereka saling menguatkan dengan kata-kata sederhana, namun penuh makna. Sebuah janji yang tak mudah, tapi begitu berharga.
Bersambung...
Buku lain oleh Nagareboshi
Selebihnya