Seorang gadis pendiam yang selalu duduk di bangku belakang ternyata diam-diam menyukai teman sekelasnya yang populer. Ketika tugas kelompok memaksa mereka bekerja sama, keduanya mulai menemukan hal-hal yang tidak pernah mereka duga satu sama lain.
Ayu selalu suka duduk di bangku belakang kelas. Bukan karena dia malas atau tidak peduli dengan pelajaran, tapi di sanalah dia merasa paling nyaman. Di sana, dia bisa mengamati semuanya tanpa perlu banyak diperhatikan. Bangku belakang adalah tempat aman baginya, jauh dari sorotan guru dan teman-teman yang suka bertanya macam-macam.
Setiap hari, ketika bel masuk berbunyi, Ayu akan buru-buru masuk kelas, memastikan bahwa tempat favoritnya belum diambil oleh orang lain. Bangku itu seperti miliknya. Dari sudut ruangan itu, Ayu melihat semuanya-guru yang menjelaskan dengan semangat, teman-teman sekelas yang sibuk berbicara satu sama lain, dan tentu saja, Rama.
Rama, sosok yang selalu menjadi pusat perhatian di kelas. Dengan senyum yang hampir selalu menghiasi wajahnya, dia selalu dikelilingi teman-temannya, bercanda dan tertawa. Bagi Ayu, Rama bukan sekadar teman sekelas. Dia adalah orang yang diam-diam mengisi pikirannya, meski mereka jarang berbicara. Ayu menyukai caranya tersenyum, caranya berbicara dengan percaya diri, dan bahkan cara dia memperlakukan orang lain. Semua orang suka Rama, dan Ayu tak terkecuali.
Namun, perasaan itu Ayu simpan rapat-rapat. Tidak mungkin seseorang seperti Rama, yang hidupnya penuh warna dan keriangan, akan memperhatikan gadis pendiam yang selalu duduk di bangku belakang. Lagipula, Ayu tak pernah punya alasan untuk mendekati Rama. Dia hanya bisa menikmati kebersamaan mereka dari kejauhan, diam-diam memerhatikan setiap gerak-geriknya tanpa berharap lebih.
Setiap kali Rama melintas di depannya, jantung Ayu berdegup lebih kencang. Ia selalu memastikan pandangannya teralih ke buku atau catatannya, seolah tak ada yang terjadi. Namun, di dalam hati, Ayu tak bisa menahan rasa rindu yang aneh. Rindu pada sesuatu yang bahkan belum pernah ia miliki. Rindu pada percakapan yang tak pernah terjadi, pada senyuman yang tak pernah benar-benar ditujukan padanya.
Hari-hari di sekolah berjalan seperti biasa. Ayu tetap menjadi gadis yang tak banyak bicara, tak mencolok, dan tetap mengamati Rama dari bangku belakangnya. Baginya, dunia kecilnya di pojokan kelas sudah cukup. Meski kadang ada keinginan untuk mendekati Rama, untuk memulai percakapan, Ayu terlalu takut. Takut ditolak, takut diabaikan, atau lebih buruk lagi, takut perasaannya ketahuan.
Di bangku belakang itu, Ayu bisa membangun dunianya sendiri. Dunia di mana dia dan Rama mungkin bisa lebih dekat, mungkin bisa tertawa bersama seperti teman-teman Rama lainnya. Tapi itu semua hanya ada dalam angan-angannya. Di dunia nyata, Ayu tetap menjadi gadis pendiam di bangku belakang, sementara Rama, seperti biasa, bersinar di depan.
Namun, entah mengapa, Ayu tak pernah bisa benar-benar melepaskan pandangannya dari Rama. Seolah ada sesuatu dalam diri Rama yang membuatnya terus terpikat, meski dia tahu tak ada jalan mudah untuk mengungkapkan perasaannya.
Dan begitulah, hari-hari Ayu terus berputar di sekitar bangku belakangnya, penuh dengan harapan-harapan kecil yang tak pernah ia ungkapkan. Tapi siapa yang tahu? Mungkin suatu hari, sesuatu akan berubah.
Sementara Ayu tetap duduk di bangku belakang, ia sering bertanya-tanya, apa rasanya menjadi seperti Rama? Punya banyak teman, selalu tertawa, seolah dunia tak pernah memberi beban. Setiap gerakannya tampak ringan, seolah tak ada masalah yang menghantui. Sedangkan Ayu, dengan segala keheningannya, merasa sering kali terkunci dalam dunianya sendiri-sebuah dunia yang penuh kehati-hatian dan keraguan.
Suatu hari, di tengah pelajaran matematika yang membosankan, Ayu mengalihkan pandangannya dari papan tulis dan memperhatikan Rama lagi. Dia sedang menulis sesuatu dengan serius, tak seperti biasanya. Biasanya, Rama lebih suka bercanda atau berbisik dengan teman di sampingnya, tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu di wajahnya yang membuat Ayu penasaran-seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Tapi tentu saja, Ayu tidak bisa bertanya. Itu akan terlalu aneh. Mereka hampir tidak pernah berbicara, kecuali sesekali saat Rama meminjam penghapus atau pena. Dan meskipun hanya sekadar pertukaran alat tulis, setiap kali Rama berbicara padanya, Ayu merasakan jantungnya berdebar lebih kencang.
Hari itu, setelah bel berbunyi menandakan akhir pelajaran, Ayu tetap di tempatnya sebentar, membereskan buku-buku dengan perlahan. Sementara itu, Rama, seperti biasa, segera dikerumuni oleh teman-temannya yang mengajak pergi ke kantin. Namun, saat Ayu hampir selesai membereskan tasnya, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Rama mendekat ke arah bangkunya.
Ayu berhenti bergerak, menahan napas. Ia tidak percaya Rama benar-benar akan berbicara padanya.
"Eh, Ayu," suara Rama tiba-tiba terdengar di sampingnya.
Ayu mendongak dengan kaget, matanya bertemu dengan pandangan Rama yang tampak sedikit ragu. Ini pertama kalinya Rama menyebut namanya dengan santai.
"Ada apa?" Ayu mencoba terdengar tenang, meski dalam hati ia panik.
Rama tersenyum sedikit. "Kamu sudah selesai tugas matematika yang kemarin? Aku... nggak ngerti soalnya," katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya, terlihat sedikit malu.
Ayu terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Rama akan menanyakan itu. "Sudah... aku sudah selesai," jawabnya pelan.
"Kalau nggak keberatan, bisa nggak bantuin aku? Aku bener-bener nggak paham," lanjut Rama.
Jantung Ayu berdegup kencang. Dia tidak tahu harus berkata apa. Bukan karena dia tidak mau membantu, tapi dia tidak pernah membayangkan bahwa Rama akan memintanya bantuan secara langsung. Gadis pendiam yang selalu duduk di bangku belakang, membantu anak populer sekelas? Rasanya terlalu jauh dari realitas.
Namun, Ayu hanya bisa mengangguk. "Boleh... kapan?" tanyanya.
"Mungkin nanti pas istirahat? Atau nanti sepulang sekolah juga nggak apa-apa," jawab Rama, matanya terlihat penuh harap.
Ayu menelan ludah. Sepulang sekolah? Ia tidak pernah membayangkan akan menghabiskan waktu dengan Rama, bahkan untuk sesuatu yang sesederhana itu. "Nanti sepulang sekolah aja," jawab Ayu akhirnya, mencoba terdengar lebih percaya diri dari yang sebenarnya ia rasakan.
Rama tersenyum lebar, senyuman yang membuat Ayu merasa sedikit lebih hangat di dalam hatinya. "Oke, makasih banget, Ayu. Nanti aku tunggu di depan gerbang ya."
Setelah Rama pergi, Ayu duduk kembali, mencoba menenangkan pikirannya yang tiba-tiba dipenuhi berbagai perasaan. Ini bukan mimpi, kan? Rama benar-benar memintanya untuk membantu. Dan sepulang sekolah, mereka akan bertemu lagi. Meskipun itu hanya untuk mengerjakan tugas, Ayu tak bisa menahan perasaan berdebar yang terus menghantui setiap detik kepergian Rama.
Saat teman-temannya mulai berdatangan kembali ke kelas, Ayu masih tenggelam dalam pikirannya. Hatinya dipenuhi pertanyaan-apa yang membuat Rama tiba-tiba mendekatinya? Apa ini hanya soal tugas, atau mungkin ada hal lain?
Ayu menarik napas dalam-dalam. Mungkin ini kesempatan. Mungkin ini awal dari sesuatu yang selama ini ia anggap tidak mungkin. Tapi di balik semua itu, Ayu masih merasakan kegelisahan. Ia terlalu takut berharap lebih. Sebab, di dunia nyata, gadis pendiam di bangku belakang dan anak populer di barisan depan biasanya tidak pernah benar-benar bertemu di titik yang sama.
Namun sore ini, entah bagaimana, takdir memutuskan untuk sedikit berbeda.
Bersambung...
Buku lain oleh Ufuk Timur
Selebihnya