Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Setelah meracuni anak dan suaminya, Sekar menelusuri jalanan sepi di komplek rumahnya. Tempat biasa tukang sayur mangkal, dan diriuhkan oleh ibu-ibu muda yang hobinya ghibah. Tapi jam segini, belum ada manusia yang melintas, mungkin masih asyik menyantap sahur.
Sesekali Sekar merapikan selendangnya yang hanya digunakan untuk menutupi bagian tubuh dari dinginnya waktu menjelang subuh, leher dan sebagian rambutnya masih terlihat terurai.
“Ibu sehat?”
Seorang polisi wanita cantik dengan kerudungnya itu masih syok mendengar pengakuan seorang wanita muda di hadapannya. Perawakannya tak mencurigakan. Bahkan pakaian yang dikenakannya sangat sopan. Kulitnya putih, dari kartu identitasnya terlihat jelas ia asri Indonesia, Sri Sekar Purnawangsih.
Polisi wanita itu mengerutkan dahi sambil sedikit memijatnya. Ia baru saja selesai sahur, makanan yang dilahapnya tadi belum selesai melaksanakan tugasnya. Namun kehadiran sekar meporak-porandakan kenyamanannya. Tapi tak mengapa, sebagai seorang abdi negara ia harus siap kapan pun masyarakat membutuhkannya.
“Ibu, coba ibu jelaskan secara rinci kronologisnya!” ucap seorang lelaki yang baru saja hadir, kelihatannya ia juga baru selesai makan, terlihat jelas dari bekas bibirnya yang sedikit berminyak.
“Saya kan sudah jelaskan tadi! Apa harus diulang?”
Jawaban Sekar membuat kedua petugas keamanan itu saling menatap.
Melihat ekspresi kedua polisi tersebut, Sekar menghela napas panjang.
“Ok Baik saya ulang. Saat sahur tadi saya menyiapkan makanan untuk kedua anak dan suami saya. Dengan sadar yang menambahkan racun tikus ke dalamnya. Dan endingnya seperti yang saya ceritakan tadi!” Sekar mengarahkan pandangannya pada polisi wanita di hadapannya, berharap ia melanjutkan penjelasannya tadi yang ia rasa tak perlu ia ulangi.
Lelaki bertubuh kekar tersebut langsung menghubungi teman-temannya, mereka bergerak ke TKP. Antara percaya atau tidak, tapi sebagai seorang petugas keamanan ia harus melaksanakan tanggung jawabnya.
Sekar terlihat tak ingin banyak berpikir, ia menyerahkan semua barang bukti yang dibutuhkan penyidik tanpa harus diidentifikasi terlebih dahulu. Polisi wanita yang sedari awal tadi mendampinginya mulai menyadari kejanggalan itu.
“Ini baby blues!” monolognya dalam hati.
****
“Bagaimana iblis itu tega membunuh suaminya sendiri!” teriak seorang ibu paruh baya, yang tak lain mertua Sekar.
Ia sedang menangisi jenazah yang kini berada di samping tubuh mungilnya. Tak hanya itu, pemandangan semakin menyayat lantaran di sebelah jasad sang anak juga terbujur kaku jenazah cucu kesayangannya. Kehilangan dua orang sekaligus membuatnya hampir saja pingsan, tubuhnya lemas tak berdaya, beberapa orang terlihat sedang menopangnya agar tetap kuat untuk duduk. Setidaknya, saat ini doa seorang ibu sangat berarti bagi putra dan cucunya.
“Perempuan gila itu harus dihukum seberat-beratnya, Bu!” cecar gadis yang sedang menggenggam tangan ibunya, adik ipar Sekar itu terlihat begitu marah, wajahnya merah padam, isak tangisnya pun penuh dendam.
Rintih hujan ikut mengisyaratkan duka yang mendalam di hati keluarga besar Sekar dan suaminya. Liang lahat yang sedang menganga menjadi bukti betapa kejamnya Sekar pada keluarganya. Kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi mereka, bahwa sedekat apapun itu, kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada manusia.
“Mungkin ini juga hukuman yang setimpal untuk putramu!” cetus Ratih, berbisik pada wanita paruh baya yang sedang terisak itu, masih menangisi kepergian putra semata wayangnya.
“Biadab!” balasnya.
Matanya memerah, masih tak percaya putranya menikahi keluarga pembunuh. Pernikahan yang awalnya tidak pernah mendapat persetujuan keluarga, akhirnya terbukti menjadi sesal yang tidak akan menemukan muaranya.