Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
SENANDUNG RINDU
4.5
Komentar
16K
Penayangan
30
Bab

Anika Larasati setelah sembuh dari depresinya kini tak kuasa menahan rindu kepada sang buah hati dan pria yang ia cintai. Gafi Beryl tak kuasa lagi menahan gejolak rindu pada sang pujaan hati hingga pada akhirnya berani menentang keinginan keluarganya. Citra Larasati menekan kerinduannya dengan menyembunyikan keberadaan sang buah hati dari suaminya yang sudah dimiliki wanita lain. Noah Berto menghalalkan berbagai macam cara agar kembali mendapatkan cintanya. Mereka berempat dipertemukan dalam upaya meraih pengobat rindu oleh takdir yang saling mengikat erat dalam indahnya pengampunan.

Bab 1 SR 1

Enjoy reading ....

Air membasahi taman depan bangsal sebuah Rumah Sakit Swasta dengan derasnya. Udara yang pada awal terasa gerah berubah menjadi sejuk dan dingin. Kilat petir yang menggelegar di depannya membuat Anika Larasati membuka mata yang sedari tadi terpejam, menikmati suara rintik hujan bisa sedikit mengobati hati yang selalu dirundung gundah dan gulana.

"Aryo sudah nggak akan kaget lagi ya Mbah, dengar suara guntur?" tanya Anika seraya mengalihkan pandangan ke arah sang nenek yang baru saja tiba dan berdiri tak jauh darinya.

"Iya, Nduk. Semoga segera sembuh ya."

"Pasti sembuh, dia kan jauh banget berobatnya. Naik pesawatnya lama banget." Suara Anika melirih seiring ingatan menghadirkan paras Aryo. Anika mengusap dada yang terasa nyeri penuh kerinduan.

"Kamu kangen?" kata Rini.

"Kangen pasti, tapi ibu nggak becus seperti aku ini nggak sepantasnya kangen. Kata-katanya dia benar bukan? Siapa aku ini, nggak ada hak aku ini," ujarnya lirih dan menunduk menatap jari jemari yang terjalin.

"Aku cuma bisa bilang kamu berhak, tapi saat ini aku nggak mau berdebat sama temanku ini. Aku mau teman baikku yang ayu ini, semangat lagi. Katanya mau sehat dan kerja di kota sama aku?" Hibur Rini, menghalau rasa rendah diri yang tak kunjung sirna dari sang sahabat.

Anika mendongak seraya tersenyum tipis menatap Rini. "Sungguh kamu mau membawaku? Kamu nggak malu punya teman gila, to?"

"Hush ... siapa yang gila? Wong kamu itu setres. Cuma setresnya beda kalau sama aku."

Anika mengerutkan dahinya, menatap Rini dengan kebingungan. "Beda gimana?" Tanyanya polos.

Rini mengulum senyum dengan sinar mata jenakanya ia berkata, "Bedanya kalau aku ini, setres kalau nggak ada lembaran merah di dompet."

Anika menepuk dahinya seraya terkikik geli. "Walah ... kalau itu juga sama. Tapi nanti kalau jahenya panen gimana, Mbah?" kata Anika yang beralih kepada sang nenek saat teringat tentang kepergiannya dan juga acara panen yang sudah dekat.

"Kamu tenang saja," kata Dewi sang nenek.

"Kamu lebih membutuhkan suasana baru kok. Simbah masih kuat kalau ngitungin duit."

Anika menggigit bibir dan mengerutkan dahinya tampak berpikir. "Tapi gimana dengan bos kamu, Rini. Kira-kira mau nggak terima aku kerja di sana? Kondisiku 'kan baru saja sehat."

Rini tersenyum dan meremas tangan Anika dengan lembut. "Kamu tenang saja. Rahasia ini cuma bos dan aku yang tahu."

Mata Anika melebar, ia sungguh penasaran bagaimana bisa mereka menerima mantan orang nggak waras seperti dirinya?

"Sungguhan?"

"Iya, nanti juga kamu tahu siapa bosku. Dia sudah tahu siapa kamu kok. Tenang saja ya."

"Kita pulang dulu yuk? Nanti malam kamu pergi dengan Rini ke pasar malam belilah beberapa pakaian untuk bekerja di sana."

"Di sana juga bebas kok nggak harus memakai pakaian resmi. Kamu bisa memakai celana panjang dan kaos biasa seperti yang aku pakai sekarang ini, yang penting rapi dan bersih. Nanti aku ajari kamu berdandan ya, karena kita bekerja di restoran."

Semua orang tahu dengan warna kulit hampir seputih susu dan wajah baby face tidak perlu menggunakan riasan berlebih sudah memancarkan kecantikan Anika. Hanya saja teman baiknya itu sering tidak percaya diri. Anika yang lincah dan gesit sudah menghilang tertinggal di masa lalu.

Anika mengangguk dengan antusias. Ia sebetulnya masih sangat penasaran dengan siapa bos Rini yang sebenarnya. Namun ia tidak enak hati untuk menanyakan lebih lanjut.

Setelah berjalan beriringan beberapa saat, Anika menoleh ke samping kepada neneknya lebih tepatnya. "Mbah, kenapa lewat samping? Lebih jauh nanti cari angkot."

"Nggak apa-apa. Mbah cuma pingin kita mampir beli bakso mercon dulu."

"Wah ... itu Rini setuju, Mbah," timpal Rini dengan semangat seraya mengacungkan satu jempol.

Anika dan Dewi tertawa menanggapi ucapan Rini. Tanpa tak terduga tatapan Dewi tertuju pada sosok tinggi tegap yang berjarak lima meter dari lorong tempat mereka berjalan. Dewi mendengkus benci seraya merangkul bahu cucunya lebih erat.

Anika menoleh karena merasakan rangkulan semakin erat dari nenek dan berkata, "Anika nggak akan kabur kok. Dokter tadi sudah bilang 'kan, kalau Anika sudah sembuh."

"Simbah cuma senang kok, Sayang," balas Dewi dengan sedikit merendahkan suaranya.

Rini yang paham akan situasi yang terjadi kemudian mengajak keduanya lebih cepat melajukan langkah.

"Kenapa buru-buru?" tanya Anika yang sangat penasaran dengan kedua orang ini.

"Baksonya keburu habis." Rini beralasan.

"Kalau habis kita beli dekat rumah saja."

"Nggak sama rasanya Ika," protes Rini yang sudah berdiri di luar gerbang samping rumah sakit terlebih dahulu.

Sementara itu di koridor rumah sakit Noah Berto yang baru akan mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Gafi menghentikan kegiatannya dan mencari asal suara yang sangat mirip dengan seseorang di masa lalunya.

Noah menelan saliva kasar seraya mengedarkan pandangannya mencari sosok tersebut. Tak jauh dari tempatnya berdiri ia hanya menemukan tiga wanita yang berjalan ke arah berlawanan, hanya tampak punggung ketiganya. Noah mendesah kecewa. Rumah sakit dan juga suasana kota kecil ini mengingatkan ia pada nostalgia masa lalu. Kenangan indah sekaligus penuh kekecewaan yang akhirnya membawa dirinya kembali ke kota dan sudah bertahun-tahun tidak pernah menginjakkan kaki kembali ke sini.

"Noah. Masih ingin bernostalgia?" tanya Jono seraya menghampirinya.

"Begitulah," jawab Noah seraya tersenyum.

"Kalau kamu menanyakan dia. Dia saat ini menjadi TKW di Hongkong."

Jono beranggapan setelah kematian istri Noah, pasti Noah kembali singgah ke rumah sakit ini karena ingin mencari informasi tentang seorang wanita di masa lalunya.

"Bukan begitu, aku cuma mengantarkan Gafi untuk bertemu dengan direktur saja," kilah Noah walau apa yang dikatakan oleh Jono benar adanya. Teman baiknya itu sangat tahu isi hatinya.

"Kamu yakin alasanmu hanya karena ingin mengantar Gafi? Kamu tidak ingin tahu lebih lanjut tentang dia?"

"Kita fokus urusan Rumah Sakit jangan melantur."

Dengan keras kepala Jono melanjutkan, "Tapi aku sama sekali nggak tahu informasi yang lebih dari itu. Aku juga tahu dari istriku saja. Jika dia sudah menjadi TKW di Hongkong semenjak bapaknya berpulang dan ibunya pindah ke kampung."

Namun seperti permintaan dari Noah, Jono lantas merubah topik pembicaraan, "Aku nggak menyangka kamu masih mau menanamkan saham di Rumah Sakit Swasta kecil ini?"

"Justru mulai dari yang kecil, kita harapkan bisa berkembang dan mengoptimalkan pelayanan sebaik mungkin kepada masyarakat luas."

Walau Jono sudah mengalihkan topik pembicaraan. Informasi yang diberikan oleh Jono mau tak mau meresap dan mengendap rapat dalam sanubari Noah. Bisa saja lidahnya memungkiri hal itu. Namun ia juga merasakan kelegaan bahwa wanita itu memiliki kehidupan yang lebih baik saat ini.

Dalam hati Noah sedikit kecewa, pasalnya ia sangat berharap paling tidak bertemu secara tidak sengaja dengan wanita itu. Noah ingin menguji keyakinan diri, apakah masih ada rindu yang tertambat di hati mereka berdua atau semua hanya akan menjadi kenangan indah masa lalu?

Sementara bagi Jono membagi sedikit informasi yang ia miliki setidaknya bisa mengobati rasa rindu teman baiknya ini. Jono tahu betul bagaimana perjalanan cinta Noah dan Jono berani bertaruh jika rasa cinta di antara keduanya masih sama.

"Sebaiknya kita menunggu Gafi di depan saja bagaimana?" ajak Noah.

"Ya baiklah." Jono mengangguk dan mereka berjalan beriringan berdua ke depan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Azeela Danastri

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku