Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sang Penebar Benih

Sang Penebar Benih

SinarLED

5.0
Komentar
220
Penayangan
3
Bab

Warning! Explicit novel! Berisi kata kasar dan seks yang ditulis secara gamblang dan eksplisit. Harap bijak dalam memilih bacaan. Jadilah pembaca ysg bertanggung jawab. Jika belum cukup umur silahkan tutup novel ini dan baca novel yang lain. **** Menceritakan tentang perjalanan karir dan seksual dari seorang pemuda pengangguran yang bernama Rudi Sapta. Apa yang menarik? Ikuti terus setiap updatenya

Bab 1 Part 1

"AAAAH!! TAI LAH!!" Umpatku sambil menutup laptopku dengan kasar.

Jengkel rasanya setelah membaca email yang kuterima barusan. Dan sama seperti email yang sebelumnya, email itu berisi surat penolakan kerja bahwa aku belum bisa diterima bekerja di perusahaan itu. Entah sudah berapa banyak surat lamaran dan entah berapa banyak perusahaan yang kuajukan, tak ada satupun yang tembus. Kadang ada satu atau dua yang tembus, tapi selalu mentok sampai sesi wawancara saja.

Yah, aku sendiri sampai bingung. Apa yang salah denganku. Padahal semuanya sudah terpenuhi, mulai dari persyaratan hingga nilai akademisku. Tapi aku masih menganggur sampai saat ini.

Rudi Sapta, itulah nama yang diberikan orangtuaku padaku. Keluarga serta kawan-kawanku sering memanggilku Rudi. Aku berasal dari sebuah kota kecil di bagian timur pulau Kalimantan. Tapi saat ini aku sedang berada di kota pahlawan untuk kuliah dan bekerja. Setidaknya begitulah rencana awalku. Akan tetapi rencana terkadang tak sesuai dengan realita. Dan terkadang kerja keras juga bisa mengkhianati hasil.

Aku harus merubah pandangan dan menurunkan ekspektasiku karena sudah hampir setahun ini aku menganggur. Padahal dulu semasa kuliah, aku belajar mati-matian demi mendapat nilai yang bagus agar bisa menjamin diriku di masa depan nanti. Namun nyatanya, IPK yang tinggi dan nilai yang bagus tak menjamin semuanya. Aku masih menganggur sampai saat ini meski sudah melamar ke berbagai perusahaan maupun pabrik. Bahkan terkadang ketika aku melihat ijazahku sendiri, aku sampai bertanya pada diriku sendiri. Untuk apa aku belajar mati-matian kalau ujung-ujungnya seperti ini.

Lantas bagaimana aku bisa bertahan meski saat ini masih menganggur? Yah, untuk makan, bensin serta membayar sewa kontrakan aku masih mengandalkan kiriman bulanan dari orangtuaku. Sungguh memalukan sekali. Sudah lulus kuliah bukannya kerja malah jadi beban keluarga. Meski orangtuaku tak mempermasalahkan hal itu, tapi tetap saja hal itu menjadi sebuah beban moral untukku.

Sore ini. Seusai membaca email tadi, aku memutuskan untuk keluar dari kamar lalu melangkah menuju ke teras. Tak lupa aku menyambar sebungkus rokok yang ada di atas nakas sebelum keluar dari kamar.

Sesampainya di teras, aku duduk di bangku panjang. Sambil menghisap rokok yang baru saja kunyalakan, aku melamun. Aku memikirkan harus berbuat apa ke depannya. Sejenak aku berpikir, apakah hidupku akan begini-begini saja? Apa aku akan terus menjadi beban keluarga? Tentu saja jawaban dari semua pertanyaan itu adalah tidak.

Lantas apakah aku lebih baik pulang kampung saja? Sebab, pernah di suatu waktu, ayahku menyuruhku untuk pulang kampung dan mengurus kebun miliknya. Jelas langsung kutolak tawaran dari ayahku itu. Bukannya gengsi, aku ingin sukses dengan usahaku sendiri. Yah, meskipun kelihatannya tak mungkin, tapi aku memiliki sebuah keyakinan bahwa rejeki itu sudah ada yang mengatur. Sudah tertakar dan tak mungkin tertukar.

Ditengah lamunanku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seseorang yang mana dia adalah tetangga kontrakanku. Atau lebih tepatnya istri dari tetangga kontrakanku.

"Mas Rudi..sore-sore kok ngelamun. Ngga elok (pamali) loh mas," ucap wanita itu.

"Eh Mbak.." balasku singkat dengan begitu gugup

Aku sampai terkejut dan jadi salah tingkah saat disapa oleh wanita itu. Dia adalah Mbak Sri. Begitulah aku memanggilnya karena sampai saat ini aku tak tahu nama aslinya. Dia adalah seorang ibu rumah tangga beranak satu yang usianya 30 tahun. Suaminya yang bernama Mas Jono, adalah seorang supir truk ekspedisi yang pulangnya tak menentu. Bisa saja seminggu sekali atau dua minggu sekali. Bahkan terkadang hanya sebulan sekali.

"Ada apa toh mas kok sore-sore ngelamun sendiri?" Tanya Mbak Sri sembari berjalan ke terasku lalu duduk bersamaku.

"Ah biasa Mbak. Masalah kerjaan. Capek mbak nganggur terus kayak gini," jawabku singkat.

"Oalah itu toh.. tak kira mikirin aku," balasnya sambil terkikik kecil.

"Waduh.. kalo aku mikirin Mbak Sri, nanti bisa-bisa digorok saya sama Mas Jono."

"Halah mas..mas..sekarang aja kayaknya suamiku ngga sayang sama aku lagi. Buktinya tiap pulang aku selalu ditinggal mancing sama temen-temennya"

Mendengar perkataan Mbak Sri tadi, aku sedikit tak percaya. Padahal dari penilaianku, Mbak Sri masih terhitung lumayan cantik. Apalagi bentuk bodinya juga masih menarik untuk wanita seusianya.

Dengan tubuh yang sintal, payudara yang terlihat padat dan membusung serta pantat yang agak nungging itu bisa membuat siapapun lelaki, termasuk diriku pasti akan tertarik. Selain itu pakaian yang dikenakannya sore ini juga membuat darahku berdesir.

Sore ini ia memakai daster longgar tanpa lengan. Dan yang membuatku darahku berdesir adalah aku melihat dua titik kecil yang mencuat di dadanya karena mataku langsung tertuju kesitu. Sudah bisa dipastikan kalau ia tak mengenakan pakaian dalam. Mungkin jika aku sudah gelap mata bisa saja kuperkosa Mbak Sri saat itu juga.

"Ya kan masih mending Mbak ditinggal mancing. Daripada ditinggal main cewek. Milih mana Mbak?"

"Iya sih. Tapi kan aku juga butuh kasih sayang mas. Masak tiap pulang aku ditinggal terus."

"Ya nanti kalo Mas Jono pulang bisa ngobrol baik-baik Mbak. Biar ngga berlarut-larut."

"Oh iya Mas. Aku dapet info sih. Katanya ada yang mau nyari karyawan cepat. Bagian OB sih. Mas Rudi mau ngga. Kalo mau aku kasih nomornya. Gajinya lumayan loh. UMR sini tapi belum tunjangannya. Lumayan tuh Mas."

Sejenak aku terdiam sambil berpikir. Apa harus kuterima saja, tapi masak sarjana sepertiku bekerja sebagai OB, begitu pikirku. Namun aku kembali teringat dengan tujuan awalku yang paling mendasar, yaitu sukses dengan tanganku sendiri. Mungkin saja info kerja dari Mbak Sri tadi bisa jadi batu loncatan karirku. Dan siapa tahu juga, bisa menjadi jalanku untuk menggapai rezekiku.

"Ya udah mbak aku mau. Siniin nomornya," ujarku.

"Ya udah bentar ya. Nomornya ada di hapeku," balas Mbak Sri sembari bangkit dari tempat duduk dan setengah berlari menuju kontrakannya.

Tak lama berselang, ponsel milikku bergetar. Setelah kucek, Mbak Sri mengirimkan sebuah pesan via WA yang berisi sebuah kontak dengan nama Ratih.

"Gimana mas? Udah masuk?" Tanya Mbak Sri dari depan pintu kontrakannya.

"Udah Mbak. Makasih ya," sahutku.

"Iya sama-sama. Kalo udah keterima nanti jangan lupa traktirannya ya mas.." ucapnya sambil terkekeh.

"Iya tenang aja itu Mbak. Pasti ada traktiran. Kalo aku lupa tagih aja," balasku.

"Ya sudah. Aku mandi dulu ya Mas. Awas loh jangan ngintip," godanya sambil terkekeh dan masuk ke dalam kontrakannya.

"Waduh..mana berani aku mbak..." Setelah Mbak Sri masuk, aku pun juga memutuskan untuk masuk ke kontrakanku karena hari pun sudah semakin mendekati maghrib.

Di malam hari, saat ini aku tengah berada di kamarku. Setelah mendapat nomor dari Mbak Sri tadi, aku langsung mengirim pesan ke nomor itu untuk menanyakan lowongan itu masih ada apa tidak.

Dan tak berapa lama, dari ponselku masuklah telpon dari nomor yang ku WA tadi. Tanpa berlama-lama aku segera menerima telpon itu.

"Halo. Ini siapa ya?" Terdengar suara yang begitu lembut dari seberanng telepon.

"Oh ya. Nama saya Rudi bu. Kebetulan saya dapat info kalo ada lowongan untuk jadi OB. Apa lowongan itu masih ada?"

"Iya masih ada kok. Kalo memang mas mau. Besok bawa surat lamarannya ya. Nanti bilang saja mau ketemu Pak Bendi untuk interview. Nanti alamat kantornya saya share lewat WA."

"Oh begitu ya bu. Baik. Besok saya akan datang. Terima kasih ya Bu. Maaf kalo saya mengganggu kirim pesan malam-malam kayak gini."

"Iya ngga apa-apa kok."

"Kalau begitu saya permisi dulu bu."

"Iya"

Seusai menutup sambungan telepon, hatiku serasa plong. Tanpa berlama-lama, aku langsung mempersiapkan segala keperluanku untuk esok hari. Mulai dari surat lamaran hingga setelan pakaian yang akan kubawa.

Setelah semuanya kurasa siap, aku segera tidur. Tak lupa, aku juga menyetel alarm agar tak telat bangun keesokan harinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku