Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dijodohkan dengan Playboy

Dijodohkan dengan Playboy

QyuQyu30

5.0
Komentar
35
Penayangan
9
Bab

Ghea selalu membayangkan dirinya menikah dengan pria yang baik, setia, bertanggung jawab, dan tentu saja tampan. Namun, takdir memainkan peran yang rumit ketika sang ayah telah memilihkan pasangan hidup untuknya yang sangat jauh dari bayangan yang pernah Ghea impikan. Gadis itu terpaksa harus menikah dengan sosok pria yang sudah terkenal sebagai Playboy. Entah apa alasan sang ayah sampai tega memberikan putri semata wayangnya pada pria yang suka bergonta-ganti wanita? Di tengah pernikahannya bersama sang suami, tiba-tiba saja ada wanita yang datang dan mengaku tengah mengandung bayi dari suaminya. Lalu apa yang akan terjadi pada rumah tangga Ghea dengan suaminya, saat masa lalu datang?

Bab 1 Wedding Day

Seorang gadis cantik duduk di depan cermin, matanya terpaku pada pantulan dirinya yang telah berbalut dalam gaun pengantin yang begitu memesona. Meskipun gaun itu begitu indah, namun wajahnya mencerminkan perasaan bimbang dan sedih. Kehadiran senyum di wajahnya seolah tenggelam dalam kehampaan.

Hari yang seharusnya penuh kebahagiaan bagi sebagian besar calon pengantin, namun bagi Ghea, rasanya seperti sebuah beban yang sulit diemban dan ingin menghilang dari dunia ini saja.

"Huff! Seandainya ada Doraemon, aku pasti akan memintanya membawaku pergi jauh dengan baling-baling bambu atau pintu kemana saja," desis Ghea sambil menghela napas pasrah, berharap dapat menghindar dari realitas yang tak diinginkannya.

Ceklek!

Pintu ruangannya terbuka, dan seorang wanita paruh baya yang masih memancarkan kecantikan masuk dengan senyuman penuh kasih.

"Ya ampun, cantiknya anak Mama," seru Dewi, ibunda Ghea, melihat putrinya dalam gaun pengantin.

Ghea hanya melirik sekilas tanpa senyuman. Sudah jelas, kebahagiaan bukanlah perasaan yang mendominasi hatinya saat ini.

"Senyum dong, Sayang. Ini kan hari bahagia kamu," ucap Dewi sambil menghampiri Ghea dan mengusap lembut kepalanya.

Ghea tetap terdiam, dan setelah beberapa saat, dia akhirnya bersuara, "Jadi ini alasan Bunda dan Ayah menyuruh aku segera balik," cetus Ghea, nada kekesalan terdengar jelas. Kuliahnya dipindahkan tanpa pemberitahuan, dan pernikahan diatur tanpa melibatkannya.

"Merencanakan pernikahan tanpa berunding lebih dulu padaku. Pernikahan bisnis dengan seseorang yang tidak aku kenal," keluh Ghea.

"Apa aku harus bahagia, Bun?"

Dewi hanya menampilkan senyuman getir dengan wajah sendu. "Kamu harus menerima pernikahan ini. Karena ini adalah takdirmu, Sayang."

Ghea memejamkan matanya sejenak, mencoba meredakan kekecewaannya. "Baiklah, aku akan menerima takdir pilihan orang tuaku."

"Terima kasih, Sayang." Dewi kembali mengusap kepala Ghea yang tertutup hijab. Namun, dalam senyumannya yang berseri, tersembunyi kekhawatiran dan harapan bahwa di balik pernikahan ini, putrinya akan menemukan kebahagiaannya sendiri.

Dewi, meski terlihat kuat di luar, sebenarnya juga tak tega harus menikahkan putri satu-satunya dengan pria yang tidak dicintainya. Sebagai seorang ibu, ia merasakan kepedihan dan keberatan terhadap keputusan mendadak suaminya. Namun, dalam keluarga Santoso, keputusan Budi Santoso adalah hukum yang tak bisa dilanggar.

Budi Santoso, seorang pria tegas dan dingin, telah memimpin rumah tangga selama lebih dari dua dekade. Dewi, sebagai istri yang setia, hanya bisa menuruti segala keputusan suaminya tanpa protes. Ia tahu betul bahwa suaminya bukanlah tipe orang yang suka didebat, dan melanggar kehendaknya dapat mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan.

Sementara Dewi berusaha menjalankan peran sebagai istri yang patuh, Ghea, putri mereka, merasa terjebak dalam keputusan yang bukan pilihannya. Hari pernikahannya adalah hari yang seharusnya penuh kebahagiaan, namun Ghea merasa seperti menjadi pion dalam permainan yang tidak dia pahami.

Ceklek!

Budi muncul dari balik pintu dengan wajah yang sama tegasnya seperti biasa. "Bun, apa Ghea sudah siap?"

Dewi menoleh ke arah pintu dengan senyuman yang berusaha menyembunyikan kecemasan di dalamnya. "Sudah, Yah."

"Ayo keluar, pengantin pria dan keluarganya sudah datang."

Dewi mengangguk patuh. "Ayo, Sayang," katanya sambil membantu Ghea berdiri.

Ghea berdiri dengan ogah-ogahan, menampakkan wajahnya yang masam. Budi menatap dingin wajah putrinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kesenangan. "Jangan memasang wajahmu seperti itu!" ucapnya tegas.

"Ingat ini hari pernikahanmu, jangan buat Ayah malu," lanjutnya, suaranya terdengar mengintimidasi.

Ghea hanya menundukkan wajah seraya berdehem, merasakan tekanan besar di pundaknya. Di balik ketegasan Budi, Dewi merasa hatinya bergetar dalam kepedihan melihat putrinya yang terpaksa melangkah menuju takdir yang bukan pilihannya. Namun, ia harus tetap berusaha menjaga keutuhan keluarga, meski cintanya dalam dilema antara hati seorang ibu dan tuntutan sebagai seorang istri.

Budi berjalan lebih dulu ke tempat di mana acara pernikahan akan berlangsung. Di dalam ruangan yang dihiasi dengan indah, calon pengantin pria sudah menunggu dengan duduk di meja yang disiapkan bersama beberapa orang. Budi mengambil tempat duduk yang berhadapan langsung dengan calon mempelai pria, wajahnya tampak serius dan tegas.

"Bagaimana, acara sudah bisa dimulai?" tanya seorang MC, memandang Budi yang memberikan kode dengan menganggukan kepala.

Acara pun dimulai, MC membawakan runtutan acara hingga akhirnya mencapai momen yang paling ditunggu-tunggu, ijab qobul. Budi bersalaman dengan calon pengantin pria, sambil mengucapkan kalimat ijab qobul dengan penuh kekhidmatan.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Giovanno Ferdinand Xavier, dengan putri kandung saya, Gheandra Marcella Santoso, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 140 gram, serta uang tunai sebesar 1.402.024 dollar, dibayar tunai!"

"Saya terima nikah dan kawinnya Gheandra Marcella Santoso dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!" jawab Gio dengan lantang dan tegas, mengukuhkan ijab qobul yang menjadi tonggak awal perjalanan hidup baru mereka berdua.

"Bagaimana para saksi?" tanya seseorang dengan suara menggelegar, memecah keheningan yang melingkupi ruangan.

"SAH!!!"

Seruan para saksi dan tamu undangan, menyuarakan persetujuan dan kebahagiaan sebagai saksi ikrar sakral antara Ghea dan Gio. Sorak sorai mengisi ruangan, menciptakan suasana hangat dan penuh keberkahan.

Tes..

Refleks buliran bening turun dari pelupuk mata Ghea, membasahi pipinya. Seruan bahagia dan sorakan para tamu undangan mengalir ke telinganya, namun tangisannya bukanlah tangisan kegembiraan. Ghea tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Apakah itu campuran antara kebingungan, ketakutan, atau bahkan penyesalan? Hanya air mata yang dapat menunjukkan perasaannya saat ini.

"Ayo sayang, datangi suamimu," tegur Dewi, ibunya, sambil mengusap lembut lengan Ghea. Gadis itu tersentak dari lamunannya, mengikuti sang ibu perlahan menuju ke arah pelaminan.

Pandangan Ghea lurus ke depan, menghadap seorang pria yang berdiri di tengah-tengah pelaminan. Wajah pria itu terlihat datar, begitu juga dengan Ghea.

"Tolong jaga Ghea dengan baik ya, Nak Gio," pesan Dewi saat menyerahkan Ghea pada laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya.

Pria itu mengangguk seraya tersenyum hangat. "Pasti, Bun."

Keduanya diminta untuk saling bertukar cincin. Gio telah mengambil cincin yang akan diberikan kepada Ghea, dan saat hendak menyematkannya di jari istrinya, Ghea masih enggan untuk mengulurkan tangannya. Sebuah detik keheningan melanda, menciptakan ketegangan di udara, dan semua mata tertuju pada Ghea.

"Mana jari kamu?" kata Gio dengan suara dingin.

'Oh ya ampun, lihat saja caranya dia bicara, menyebalkan sekali,' gerutu Ghea dalam hati.

Ghea menyodorkan tangannya dengan malas. Tanpa banyak kata, ia langsung memasukkan cincin milik Gio ke jari pria itu dengan cepat. Tidak ada drama romantis di antara mereka, hanya raut wajah yang mencerminkan ketidaknyamanan.

"Sayang, ayo sekarang cium tangan suamimu," pinta Dewi, suaranya menginterupsi ketegangan.

Ghea menatap sekilas ke arah suaminya yang sudah lebih dulu mengulurkan tangan. Dengan berat hati, Ghea mencium punggung tangan itu, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman yang terus menggelora di dalam dirinya.

Sekarang giliran Gio yang diminta untuk memberikan kecupan hangat pada sang istri. Dalam hati, Ghea berdoa semoga saja pria itu tidak mengambil kesempatan yang tidak semestinya.

Cuph!

Ternyata dugaannya salah. Gio sengaja mengambil kesempatan dengan mencium bibirnya sekilas. Ghea menatapnya dengan mata melebar, kaget dan kesal. Padahal, bisa saja Vanno mencium keningnya bukan?

'Dasar omesh! Beraninya dia mencuri ciuman pertamaku,' rutuk Ghea dalam hati sambil menatap Gio dengan pandangan yang campur aduk antara kejutan dan kemarahan. Sementara Gio menampilkan senyum smirk, seolah-olah menikmati reaksi kesal Ghea.

Setelah serangkaian acara ijab qobul dan pertukaran cincin selesai, Ghea dan Gio masih harus berdiri dengan senyum palsu di wajah mereka di hadapan semua tamu undangan. Meskipun acara sudah berjalan dengan lancar, Ghea merasa muak dengan sandiwara yang tengah berlangsung di atas pelaminan ini, terutama karena suaminya begitu lihai dalam berakting. Gio selalu menyebar pesona seolah-olah semuanya baik-baik saja.

"Bisa gak, gak usah meluk-meluk gini," bisik Ghea dengan kesal, berusaha menyingkirkan tangan Gio dari pinggangnya.

"Kita harus terlihat mesra di depan para tamu undangan," balas Gio santai.

"Ah, itu pasti cuma modus kamu saja."

"Cih! Kamu pikir aku sudi nempel-nempel sama kamu. Aku juga terpaksa kali melakukannya."

Gio melepaskan tangannya dari pinggang Ghea, namun tak lama kemudian ia kembali merangkul pinggang gadis itu.

"Selamat Tuan Giovanno, semoga pernikahan anda dan istri selalu diberkahi dan bahagia," ucap salah satu klien perusahaan Gio.

Pria itu langsung merubah raut wajahnya dengan tersenyum lebar. "Terima kasih, Mr. Mark, atas kehadiran dan do'a anda. Pastinya kami akan selalu bahagia, iya kan sayang?" ujar Gio, sejurus kemudian menatap istrinya.

Ghea hanya tersenyum tipis, merasa lelah karena harus terus berpura-pura bahagia sejak tadi. Gio mengeratkan pelukannya seolah memberi peringatan pada istrinya.

"Ah, iya suamiku."

"Kalian memang pasangan yang serasi," tambah istri Mr. Mark.

Setelah Mr. Mark pergi, Ghea melepaskan kasar tangan Gio dari pinggangnya. Ternyata aksinya itu dilihat oleh sang ayah. Budi, yang sejak tadi selalu memantau Ghea agar tidak berulah dan membuat malu namanya.

Tatapan tajam antara Ghea dan Budi saling bertemu, dan pria itu memandangnya dengan penuh intimidasi. Ghea, merasa ketegangan di udara, langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menghindari tatapan tajam ayahnya.

"Ck! Kasihannya istriku," ejek Gio yang memperhatikan sikap Ghea dengan ayahnya.

"Ngaca! Nasib kita itu sama," balas Ghea sekilas melirik Gio dengan malas.

Pria itu terkekeh pelan. "Aku sih gak masalah selama masih dijodohkan dengan seorang perempuan," celetuknya santai.

Ghea mengerutkan keningnya. "Dasar sinting!"

Gio mengacuhkannya lalu kembali menyambut para tamu yang datang. Meski suasana di pelaminan dipenuhi senyuman dan tawa, namun di balik itu, Ghea dan Gio terlibat dalam pertarungan tatapan yang sarat akan ketegangan. Suasana pernikahan yang seharusnya penuh kebahagiaan, terasa seperti sebuah sandiwara yang terus berlanjut.

Setelah para tamu mulai meninggalkan tempat resepsi, suasana mulai sepi hanya tinggal beberapa sanak saudara yang masih tinggal di sana. Gio dan Ghea bergabung menuju meja keluarga yang terletak tak jauh dari pelaminan. Mereka duduk di antara orang tua Ghea dan ibu Gio.

Jasmine tak bisa menyembunyikan senyumannya, memandang wajah Ghea dengan penuh kagum. "Duh, cantik sekali menantunya, Mami," puji Jasmine sambil menatap wajah Ghea yang sedikit tersipu malu.

Ghea tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Tante."

"Lho kok Tante sih, Mami dong. Kamu kan sekarang sudah menjadi anak Mami juga," ujar Jasmine penuh kehangatan.

Ghea, yang masih terasa canggung dengan panggilan baru itu, kembali menampilkan senyum ragu. "Iya, Ma-Mami."

Jasmine merasa sangat senang bisa melihat putranya menikah. Selama ini, wanita paruh baya itu lelah melihat Gio yang suka gonta ganti perempuan dan tidak ada satu pun yang diseriusinya. Ia bahkan tidak menyangka bahwa Vanno akan menerima perjodohan ini. Jasmine berharap dengan tulus bahwa Ghea adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuk putranya.

***

Bruk!

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh QyuQyu30

Selebihnya
Terpaksa Menikahi Wanita Penghibur

Terpaksa Menikahi Wanita Penghibur

Romantis

5.0

PERHATIAN!!! KONTEN MENGANDUNG ADEGAN NANAS.. Harap bijak dalam memilih bacaan. Prisilia yang mencintai suaminya dengan tulus harus menerima kenyataan jika dirinya tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya. Sedangkan seluruh keluarga besar sangat menantikan seorang bayi dari darah daging suaminya. Dengan berat hati, ia meminta suaminya untuk mencari seorang wanita lain yang bersedia menjadi pengganti untuk menanamkan benihnya hingga anak itu lahir. Sang suami dengan terpaksa memilih seorang wanita penghibur yang setuju dengan persyaratan tersebut dan tentunya karena imbalan yang sangat besar. Namun, ketika saat kelahiran semakin dekat, sesuatu yang tak terduga terjadi. Barbara yang awalnya hanya menjalani tugas sesuai rencana, lambat laun dirinya jatuh cinta pada suami yang telah menyewanya. "Maaf, Nyonya. Sepertinya saya berubah pikiran, saya jatuh cinta pada Tuan Raja." "Kau gila!" "Saya akan menyerahkan anak saya padamu, Nyonya. Tapi tolong biarkan Tuan Raja bersama saya." "Ternyata aku salah menilaimu, wanita murahan sepertimu tetap saja tidak akan berubah. Penggoda suami orang!" Keadaan membuat gadis yang biasa di sapa Ara frustasi, hingga ia mengalami kecelakaan yang mengharuskan Raja dan Prisilia memilih menyelamatkan salah satu antara Ara atau anaknya. Siapakah yang akan Prisil pilih? Menyelamatkan Barbara yang menginginkan suaminya? Atau anak yang selama ini ia nantikan bersama sang suami? Cuss.. yang penasaran jangan lupa baca sampai habis. Salam hangat dari Author️.

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku