Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
I won't to erasse you

I won't to erasse you

Shaka

5.0
Komentar
14
Penayangan
5
Bab

I won't to erasse you Cinta itu datang dengan tiba-tiba. Berawal dari bercak warna-warni kemudian membesar menggambar rupa seseorang. Seseorang itu terus saja tumbuh memenuhi rongga hati. Hingga pada akhirnya, tak ada lagi tempat untuk menyimpannya sendiri. Apa cinta itu harus diungkapkan? Sementara prinsip cinta dalam diam telah lama adi teguhkan. Kisah cinta dalam diam, kisah yang menelan manis pahit rasa sendirian. ** "Cinta itu seperti pedang. Kalo semakin dekat, artinya semakin diasah, maka akan semakin tajam. Kalo sudah tajam terus dipendam, nantinya malah menusuk ngelukai sendiri." Mereka bertemu di sekolah, netra pria itu menangkap wajah gadis cantik tak berhijab yang ternyata mampu menyipratkan warna tak beraturan di hatinya. Namun, gadis itu terlalu menghawatirkan untuk di cintai. Ia menarik ulur hatinya sesuka hati. Gadis itu adalah Elisha, gadis yang nampak yang seperti bunga mekar dimata pria itu: Latif, seorang ketua Rohis yang teduh dengan segala kesholehannya. Akan selalu ada canda yang Elisha tuangkan pada Latif. Tak peduli jika pria itu membentangkan garis pembatas sehingga selalu memasang wajah datar. Itulah kenapa Latif tak bisa menghalau datangnya rasa cinta. Tapi apa cinta itu berjalan sesuai keinginan? Ternyata ada pria yang lebih dulu hadir sebelum Latif. Pria yang mencuri perhatian Elisha, dan menjadi topik dalam puisi yang Elisha tulis. Pria itu berandal yang merupakan penghancur persahabatannya. Pria yang menjadi salah satu alasan Elisha di paksa pindah sekolah. Prinsip cinta dalam diam mulai digoyahkan, ketika ada ketakutan cintanya tertambat pada hati lain. Cinta dalam diam seharusnya tak berharap apa pun, karena cinta yang tak diketahui keberadaannya adalah cinta samar bagi yang dicintai. Hanya ada du acara untuk mencintai, halalkan atau ikhlaskan. Latif akan selalu menjadi apa yang Elisha butuhkan. Teman, sodara, bahkan imam. Ia akan selalu ada, menjadi matahari yang menyinari kemana Elisha akan pergi. "...merangkul masa depan, Ingat saya sebagai seseorang yang mencintai kamu. saya bersyukur bisa bertemu dengan kamu."

Bab 1 Elisha wi anggelika

Sebuah mobil hitam meluncur melewati gerbang utama sekolah SMA. Menarik sorot mata para murid. Mobil berhenti dengan nyentrik menampakan seorang pria berseragam hitam khas sopir keluar dari pintu depan dengan rengkuh berjalan ke samping mobil dan membuka pintu mobil dengan santun. Pria itu tidak lain adalah pak Bandi, supir pribadi seorang gadis yang berada di jok belakang.

"Neng, udah sampai neng. " Ucapan itu diucapkan berulang-ulang sampai akhirnya si gadis yang pura-pura tertidur menyerah dan membuka matanya. Gadis itu bergerak keluar melangkah dengan kaki jenjang, sneakers hitam yang ia gunakan menyempurnakan kaki indahnya menarik banyak tatapan menyambut kagum. Sejenak gadis itu kembali menghentikan pergerakannya saat matanya menangkap pemandangan pegunungan yang mengelilingi sisi timur gedung sekolah, aroma dedaunan hijau tercium amat segar di hidungnya, namun ini bukan yang ia inginkan.

"Hhuuhh!" Helaan nafas kasar keluar begitu saja di mulut mungil gadis itu. Jemari lentiknya bergerak meraih aerphone yang sejak tadi nyaman ditelinga.

"Ini puncak?" tanya gadis itu dengan nada kecewa pada pak Bandi yang terlihat gugup menghadapinya.

"Bukan puncak neng, dataran tinggi." Jawab pak Bandi tanpa menatap wajah lawan bicara karena kikuk, gadis itu mengedarkan pandangannya sekilas kemudian menghela nafas lagi.

"Sama aja." Ucap gadis itu sedikit kecewa. Ia melangkah memasuki area sekolah lebih jauh. Disambutan tatapan para gadis berjilbab dengan berbagai macam isi kelapa. Mereka menerka-nerka siapa gadis ber seragam pendek yang dengan gontainya berjalan tanpa rasa risi.

"Murid barukah?"

"Kenapa pakaiannya seperti itu?"

"Mungkin dari kota." Bisik-bisik itu sampai di telinga si gadis. Si gadis tak ingin menghiraukannya.

Sebaliknya, para murid berjilbab itu meneliti setiap jengkal lekuk pola si gadis mulai dari rambut hitam yang tergerai panjang menyentuh pinggang. Mata yang bulat ber iris coklat. Hidung mancung. Cantik. Kesimpulan itulah yang bisa ditarik oleh para gadis berjilbab panjang yang memandang gadis itu.

Akhirnya gadis itu tiba di depan kelas yang bertuliskan 11 Ipa 4; Natural Sciences.

"Langsung masuk aja neng. " Ucap pak Bandi tersenyum. Gadis itu mengangguk dan mengetuk pintu tiga kali.

"Masuk." Terdengar seorang suara wanita menyahut dari dalam. Muncul keraguan untuk melanjutkan langkahnya, mungkin ini adalah kesempatan terakhir jika ia masih memiliki nyali untuk berlari meninggalkan tempat asing ini. Tapi pemikiran itu ia singkirkan dengan gelengan pelan.

"Pasti bisa!" Segurat senyuman tipis ia ukir sebelum tangannya menarik pegangan pintu hingga terbuka.

"Murid baru?" Tanya guru yang tadi menyahut. Gadis itu menjawabnya dengan anggukan. Kemudian guru berjilbab itu tersenyum lembut.

"Silahkan langsung perkenalan." Guru itu tampak menyambutnya dengan sangat gembira.

"Hai! perkenalkan nama aku Elisha wi anggelika. Aku murid pindahan dari jakarta. Mohon bimbingannya teman-teman!" Gadis itu mengakhiri perkenalan dengan senyuman kecil yang di sambut dengan senyuman hangat para murid lainnya. Mereka terlihat antusias bertanya tentang kehidupan Sma di Jakarta.

"Sudah punya pacarkah? Anak Jakarta kan jarang yang jomblo." Celoteh salah seorang pria bertubuh gempal dengan menunjukan senyum jahilnya. Elisha mengerenyitkan alisnya heran, pertanyaan macam ini?

"Hhehe.. Patung pancoran aja jomblo, masa aku enggak?" Jawaban ngawurnya berhasil membuat se isi ruang kelas riuh tertawa.

"Klop nih, cocok sama kita." Teriak murid lainnya sambil tepuk tangan.

**

"Sha, nanti pulang sekolah ikut kajian Rohis miftahul ulum yuk!" Ajak Annisa. Seorang gadis yang duduk di samping Elisha. Keduanya terlihat menjadi dekat dalam waktu yang cukup singkat.

"Kajian? "

"Iya. Coba dulu aja. Siapa tahu cocok."

"Gak, Ah. Aku ag berhijab."

"Gak papa. Setahu aku gak ada aturan harus berhijab kok. Ikut Yahh.."

"Ikut kajian aja kan? Bukan berarti aku masuk anggota Rohis loh."

"Iya. Tholabul ilmi aja dulu."

"Oke deh." Jawab Elisha walau enggan.

Jam pelajaran telah selesai. Annisa menggandeng Elisha mengikutinya ke masjid miftahul ulum untuk mengikuti kajian mingguan bersama anggota Rohis lainnya.

"Sha, kamu tunggu disini dulu yah, aku bawain kamu pasmina dulu." Annisa meninggalkan Elisha di halaman masjid. Elisha mengedarkan pandangannya keseluruh masjid yang tampak baru mengalami renovasi.

"Astagfirullah!" Suara seorang pria mengalihkan perhatian Elisha. Sontak ia berbalik ke arah sumber suara yang berada di belakangnya.

"Kenapa kak?" Tanya Elisha melangkah mendekat pada pria yang terlihat menutup matanya dengan tangan kanan.

"Kak?" Elisha melambaikan tangan mendapati lawan bicaranya menundukan wajah semakin dalam.

"Kakak ngeliat setankah?" Elisha semakin penasaran dan berusaha melihat wajah si pria.

"Elisha." Pekik Annisa dari arah belakang langsung menarik Elisha untuk mundur menjauh dari pria itu.

"Afwan kak, Ini teman ana. Mau ikut kajian hari ini." Annisa gugup menundukan pandangan. Pria itu menurunkan tangannya perlahan melihat ke arah wanita yang dibicarakan. Mata si pria mendarat pada wajah cantik dengan rambutnya yang tergerai. Merasa sedang di tatap pria GANTENG, bukannya menunduk Elisha menatap balik ke wajah pria itu dan menyapanya dengan senyuman yang memamerkan gigi gingsulnya. Seakan-akan ingin menyampaikan Cantik loh aku.

"Astagfirullah.." Bisik si pria sambil mengalihkan pandangannya bawah lagi.

"Dia siapa?" Tanya Elisha sambil menyikut Annisa melihat reaksi aneh pria itu.

"Ketua Rohis." Bisik Annisa membuat bibir Elisha membulat O. "Ouh.." Kembali dengan senyuman manis Elisha langsung menyodorkan tangan kanan. Mengajak untuk berkenalan.

"Nama aku Elisha Wi Anggelika, bisa dipanggil Lisha, Anggel, atau Lika. Nama kakak siapa?" Ucap Elisha tetap dengan senyuman manis. Pria itu tidak menerima uluran tangan Elisha melainkan mengangkat kedua tangannya dan dirapatkan di dada.

"Latif Al-Farizi. " Jawabnya singkat.

"Sha, Bukan muhrim." Bisik Annisa sambil mencubit Elisha.

"Aww.." Pekik Elisha. Tapi ia acuhkan keresahan Annisa dan tetap tersenyum manis menatap wajah teduh pria itu.

"Kalau mau ikut kajian usahakan tutup auratnya ya ukhti." Ucap latif.

"Siap." Jawab Elisha mengubah sodoran tangannya menjadi posisi hormat di kepala.

"Insyaallah.." Timpal Annisa.

"Saya duluan, Assalamualaikum warrahmatullahi wa barrakatu" Ucap Latif sebelum pergi.

"Akhirnya, nemu juga cowok ganteng." Celetuk Elisha sambal menatap punggung Latif yang semakin menjauh.

"Duh, Sha! Sama kak Latif gak usah salaman. Kalo bisa jaga jarak satu atau dua meter." Rengek Annisa pada Elisha.

"Hah? Kenapa? Penyakitan"

"Bukan gitu. Dia itu fanatik banget. Nanti kamu malu sendiri."

"Gak juga tuh."

"Tapi kan-"

"Shuttt! Pasminanya mana?" Tanya Elisha memotong ucapan Annisa. Annisa langsung menyodorkan pasmina panjang. Dengan senyum lebar Elisha melilitkan pasmina berwarna hitam bawaan Annisa untuk menutupi sebagian kepalanya.

"Itu rambutnya masih keliatan.."

"Udahlah!"

"Astagfirullahaladzim, Sha..."

Elisha langsung mencari posisi duduk di shaf belakang para akhwat yang berbaju panjang. Disebrang sana para ikhwan duduk menghadap kepada para Akhwat sambil menundukan pandangannya. Tidak lama setelah posisi rapih, seorang pria paruh baya berpakaian serba putih masuk.

"Assalamualaikum.." Sapaan lembut penuh wibawa membuat para akhwat dan ikhwan tersenyum penuh semangat.

"Wa'alaikumssalam warrahmatullahi wa barakatku"

"Itu ustadz Alif." bisik Annisa pada Elisha, Elisha hanya menangguk lalu mengedarkan pandangannya kesetiap sudut masjid mencari pria yang tadi di temuinya, di sana rupanya, di sudut paling kiri sedang duduk menunduk penuh khidmat mendengarkan tiap kalimat yang keluar dari mulut ustadz Alif.

"Fiks. Emang ganteng sih.." Gumam Elisha pelan, tidak terdengar oleh siapapun.

"Ada anggota baru ya?" Tanya ustadz Alif, semua sorot mata tertuju pada Elisha bahkan pria yang sedang ia pandangi. Elisha gelagapan ketika manik mata hitam si pria beradu dengan manik matanya. Latif tersenyum irit.

"Insya Allah, Ustadz. Semoga ukhty Elisha istiqomah untuk membangun ukhuwah silaturahmi bersama kami." Tutur Latif dengan tenang dan penuh wibawa, Ustadz Alif tersenyum puas dengan jawaban Latif.

"Aamiin.." Sahut yang lainnya.

Elisha nampak bingung. Ia ingin menyanggah. Namun mulutnya terasa berat sekali. Kapan aku daftar? Kan Cuma iseng! Frusatasi sekali rasanya.

Sejak sampai di kota ini, Elisha merasa tidak ada hal yang bisa membuatnya nyaman. Haruskah ia kembali ke tempat asalnya saja? Tentunya disana ia merasa lebih bebas, dibandingkan tempat ini yang masih sangat kedaerahan dan sulit untuk beradaptasi disini. Ah, Dia nyariin aku gak ya?

"Jangan melamun." Bisik Annisa pelan. Membuyarkan racauan. Elisha menoleh melihat raut wajah Annisa yang terlihat menikmati ceramah yang di sampaiakan Ustadz Alif. Sesekali terlihat Annisa tersipu mendengar kalimat-kalimat yang sebenarnya hanya angin lalu untuk Elisha.

"Se menarik itukah?" Gumam Elisha lalu sejurus mengikuti pandangan mata Annisa. Ah, tidak ada yang menarik selain dari ustadz Alif yang terlihat sangat serius ingin perkataannya sampai ke hati murid-murid. Lagi, Elisha mencuri pandang ke arah Latif. Pria itu bahkan menundukan pandangannya walau dalam keadaan seperti ini.

Mungkin harus belajar dari dia, ya? Elisha memandang lekat pria yang tertunduk dalam itu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku