5.0
Komentar
119
Penayangan
30
Bab

Tiba-tiba Azalia lupa dengan semuanya. Dia hanya ingat dia bermimpi buruk dan terbangun dengan bingung .... Bisakah Aza terbebas dari mimpi-mimpi buruknya?

Bab 1 Bagian 1

Jantung Aza berdebar kencang. Suara misterius itu membangunkannya lagi, berarti pasti akan ada yang meninggal dan ... dan pasti dia akan mengalami serangan lagi. Dia harus segera bangun dan pergi dari tempat itu, dia tidak ingin mendapat serangan lagi seperti biasanya.

Aza membuka pintu kamarnya perlahan. Kegelapan menyambutnya. Aza memicingkan matanya untuk beradaptasi dengan kegelapan itu dan tiba-tiba angin dingin menyambar wajah Azalia. Aza menjerit dan buru-buru masuk lagi ke dalam kamarnya. Aza merasakan wajahnya kebas setelah diterpa angin dingin tadi.

Oh, terjadi lagi! Kenapa setiap Aza terbangun dari tidurnya karena ada suara aneh itu, pasti akan ada angin yang mengenai wajahnya dan ... dan rasa kantuk itu datang lagi!

"Za? Aza? Bangun, Ndhuk!"

Aza membuka matanya. Dia tersenyum ternyata semua hanya mimpi. Aza berhamdallah pelan.

"Aza!" Aza tersenyum, nada suaranya ibunya sudah tinggi, berarti sebentar lagi ibunya akan memasuki kamarnya dan memarahinya. Aza segera bangun dan ketika ibunya memasuki kamarnya Aza sudah siap.

"Za!"

Aza tersenyum, dia sudah duduk di tepi ranjangnya.

"Ya, bu," jawab Aza sambil tersenyum manis.

"Oh," kata sang ibu dan kemudian tersenyum lega, "bangun, ya, Ndhuk. Sudah siang. Ikut ke pasar, ya?"

Aza mengangguk.

"Mandi dulu, sarapan dan kita berangkat dengan mobilnya Mbah Wondo," kata sang ibu dengan wajah berbinar. Aza membeliak kaget. Naik mobil?

"Naik mobil, Bu?"

"Iya. Makanya ayo, cepat! Jangan sampai ketinggalan, ya?" Aza mengangguk dengan penuh semangat dan segera bergegas ke kamar mandi.

****

Aza tersenyum tiada henti ketika mereka sampai di pasar besar Wanarata. Pasar terbesar yang ada di desa Wanarata, sebuah desa kecil di daerah Karang Legi. Aza riang tak terkira ketika ibunya membawanya ke sebuah toko baju dan meminta Aza memilih baju yang paling disukainya. Aza memilih baju warna kuning dan berenda-renda. Aza tersenyum tiada henti, membayangkan betapa cantik dirinya ketika memakai baju itu nanti.

Setelah itu ibu Aza mengajak Aza berkeliling pasar. Aza mengamati pasar itu dengan seksama. Aza takjub melihat begitu banyak penjual yang ada di pasar itu. Terutama Aza terpesona dengan penjual daging yang didatangi ibunya. Penjual itu memakai baju berwarna serba hitam dan diam memandang ibunya tajam.

"Sikile papat, ya, (Kakinya empat, ya?)" kata sang ibu. Penjual itu mengangguk.

"Endhase loro, (Kepalanya dua,)" kata sang ibu, penjual itu mengangguk lagi. Dia nampak mencatat.

"Sing paling apik, lo, Pak. Ojo lali mripate dicopot, sik, ya? (Yang paling bagus, lo, Pak. Jangan lupa matanya dilepas, dulu, ya?)" Penjual itu mengangguk lagi.

Aneh! Penjual itu tidak berbicara sama sekali atau bertanya ibu Aza membeli daging apa. Aza membayangkan ibunya membeli daging ayam dan itu membuat Aza sedikit kecewa, karena hanya akan ada kaki ayam atau ceker ayam empat buah dan kepala ayam dua buah. Sedikit sekali!

Setelah ibu dan sang penjual daging itu berbincang sebentar, sang penjual pun masuk ke dalam ruangan di dalam kiosnya dan keluar sambil membawa kaki kambing yang besar. Aza membeliak melihat daging sebesar itu dan tersenyum cerah karena sepertinya ibunya membeli empat buah kaki kambing yang besar itu.

Sang penjual meletakkan kaki kambing itu di depan ibu Aza. Ibu Aza tertawa melihat daging sebesar itu. Dia memukul-mukul daging itu dengan penuh semangat.

"Gemuk, ya?" tanya ibu Aza dengan pandangan geli. Wajahnya nampak bersinar. Penjual itu mengangguk sambil menggeram pendek.

"Lima ribu, ya?" tanya ibu Aza. Penjual itu nampak berpikir, tetapi kemudian mengangguk. Mereka saling memukul daging itu bergantian dan kemudian tertawa bersama dan saling mengangguk.

Sang penjual mengambil secuil kertas kecil dan menulis di kertas itu.

"Kaki empat, kepala dua, lima ribu," gumam penjual itu dan memberikan kertas itu pada ibu Aza, kemudian mereka berdua bersalaman dan ibu Aza pergi begitu saja dari kios daging itu.

Aza mengikuti langkah ibunya yang menjadi sangat cepat, seakan sang ibu lupa pada Aza. Aza agak panik mengejar ibunya melewati lorong-lorong pasar besar Wanarata yang sangat membingungkan dan tiba-tiba terlihat gelap dan menyeramkan.

Aza hampir menangis karena ibunya sudah tidak terlihat lagi. Dia kebingungan dan kelelahan mengejar ibunya, sampai akhirnya Aza terjatuh dan menangis tersedu memanggil-manggil ibunya.

"Cup ... cup ... jangan menangis, Ndhuk. Kakimu sakit? Sini sama budhe." Sebuah tangan putih mulus terulur pada Aza. Aza merinding melihat tangan yang nampak begitu pucat itu. Tangisnya terhenti seketika. Dia mendongak dan melihat seorang wanita cantik yang juga berkulit pucat di depannya.

Aza berusaha beradaptasi dengan pasar yang temaram itu. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali dan menyadari bahwa di belakang wanita cantik berkulit pucat itu ada kerlip cahaya yang menurut Aza sangat menarik. Aza bangkit dan tanpa memedulikan wanita itu, Aza berjalan mendekati cahaya kerlap kerlip menarik hati.

"Kamu suka dengan lampu itu, Ndhuk?" tanya sang wanita. Aza diam saja. Dia tetap mendekati sumber cahaya itu, tetapi sepertinya ada yang aneh. Dari kejauhan lampu itu nampak lucu dan sangat menarik, tetapi ketika Aza hampir mendekati lampu itu, melihat ....

"Aaaaahhhh!"

****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya

Buku serupa

Putra Rahasianya, Aib Publiknya

Putra Rahasianya, Aib Publiknya

Gavin
5.0

Namaku Alina Wijaya, seorang dokter residen yang akhirnya bertemu kembali dengan keluarga kaya raya yang telah kehilangan aku sejak kecil. Aku punya orang tua yang menyayangiku dan tunangan yang tampan dan sukses. Aku aman. Aku dicintai. Semua itu adalah kebohongan yang sempurna dan rapuh. Kebohongan itu hancur berkeping-keping pada hari Selasa, saat aku menemukan tunanganku, Ivan, tidak sedang rapat dewan direksi, melainkan berada di sebuah mansion megah bersama Kiara Anindita, wanita yang katanya mengalami gangguan jiwa lima tahun lalu setelah mencoba menjebakku. Dia tidak terpuruk; dia tampak bersinar, menggendong seorang anak laki-laki, Leo, yang tertawa riang dalam pelukan Ivan. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka: Leo adalah putra mereka, dan aku hanyalah "pengganti sementara", sebuah alat untuk mencapai tujuan sampai Ivan tidak lagi membutuhkan koneksi keluargaku. Orang tuaku, keluarga Wijaya, juga terlibat dalam sandiwara ini, mendanai kehidupan mewah Kiara dan keluarga rahasia mereka. Seluruh realitasku—orang tua yang penuh kasih, tunangan yang setia, keamanan yang kukira telah kutemukan—ternyata adalah sebuah panggung yang dibangun dengan cermat, dan aku adalah si bodoh yang memainkan peran utama. Kebohongan santai yang Ivan kirimkan lewat pesan, "Baru selesai rapat. Capek banget. Kangen kamu. Sampai ketemu di rumah," saat dia berdiri di samping keluarga aslinya, adalah pukulan terakhir. Mereka pikir aku menyedihkan. Mereka pikir aku bodoh. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku