Tentang seorang pemuda yang bernama Araskal sedang patah hati karena kehilangan kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan. Dia bahkan berubah dingin pada perempuan kecuali ibu dan adiknya . Tapi saat bertemu Eka, adik sahabatnya, semua jadi lain rasanya.
'Krrrikkk...'
Suara pintu kamar dibuka dari luar mengejutkan Ara yang sedang asyik berteleponan sama sang kekasih.
Spontan dia mengarahkan pandangannya ke pintu.
Terlihat Aristha sedang menatapnya dengan pandangan penuh rasa bersalah.
Ara mengernyitkan keningnya.
"Maaf Kak. Tadi Ari ketuk berkali-kali tapi tidak ada suara sahutan jadi Ari langsung masuk." katanya memintah maaf, sebelum sang kakak menegurnya terlebih dahulu.
"Iya, enggak apa-apa. Ada apa Dek?" tanyanya dengan suara lembut.
Itulah Araskal atau yang lebih sering disapa Ara. Dia orang yang sangat lembut pada semua pada perempuan, apalagi pada ibu dan adiknya.
"Kakak dipanggil Ayah." kata Ari kemudian.
"Oke Dek, nanti kakak nyusul."sahut Ara sambil mengangguk ke arah adiknya, lalu terus melanjutkan percakapannya karena memang teleponnya belum dimatikan.
Sementara itu sang adik sudah keluar kamar, kembali ke ruang tamu.
"May, sudah dulu ya. Ayah memanggilku." katanya pada Maya Anantha,pacarnya.
"Iya Sayang. Aku juga mau siap-siap dulu. Satu jam lagi aku harus ke bandara." jawab Maya dari seberang.
"Iya May. Hati-hati di jalan ya. I love you." sahut Ara.
"I Love you too." jawab Maya, lalu sambungan teleponnya pun dimatikan.
Setelah mengakhiri pembicaraannya Ara pun langsung keluar kamar dan dengan setengah berlari dia menuruni anak tangga menuju lantai bawah rumah mereka.
"Maaf Ayah, Ara terlambat." katanya setelah duduk berhadapan dengan ayahnya.
"Sedang apa kamu di kamar?" tanya pria paruh baya itu pelan tapi penuh wibawah.
"Lagi telponan sama Maya,Yah." jawab Ara jujur.
"Maya? Maya siapa?" tanya ayahnya lagi.
"Pacar Ara Ayah. "
"Dari mana dia?"
"Dari Bali Ayah. Kami sama-sama kuliah di Amrik tapi beda jurusan." jelas Ara.
"Sudah semester berapa dia sekarang?"
"Baru saja diwisuda Ayah. Sekarang dia sedang siap-siap mau kembali ke tanah air. Satu jam lagi dia ke bandara."
"Hmmmm..." hanya itu yang keluar dari mulut sang ayah.
"Ara, kapan kamu mau mulai bekerja? Ayah sudah capek, Ayah mau istirahat. Ayah mau kamu yang menggantikan Ayah memimpin perusahan." kata sang Ayah lagi setelah terdiam beberapa saat.
"Maaf Ayah. Ara belum bisa. Ara mau istirahat dulu." sahut Ara.
"Sampai kapan kamu istirahat Ara. Sudah setahun loh kamu begitu saja." Pak Eman meminta kepastian anaknya.
"Nanti dulu Ayah. Maaf."
Pak Eman menghela nafasnya mendengar kata-kata putranya.
Ari dengan nampan di tangan. Dua cangkir teh hangat dan setoples kacang goreng langsung tersaji di hadapan Ara dan Pak Eman.
"Makasih anak Ayah yang cantik. Ayo sini, duduk dekat Ayah."
Pak Eman lalu menggapai tangan putrinya, mengajaknya duduk disampingnya.
Ari pun menurut.
"Ya tentu cantik dong. Siapa dulu ibunya." terdengar suara Bu Ernes menyeletuk dari arah dapur.
" Yang namanya perempuan ya cantik. kecuali kalau ibu laki-laki." sahut Pak Eman enteng.
Ara dan Ari tertawa mendengar kata-kata ayahnya.
"Hmmm... lagaknya. Dulu kalau sejam saja enggak lihat ibu, maunya mati saja." sahut Bu Ernes sambil mengambil tempat duduk di samping Ara.
"Hmmm yang mau mati itu sebenarnya siapa? Pakai acara mau bunuh diri segala kalau tidak direstui."balas Pak Eman.
"Ihhh Ayah, pakai buka kartu segala. Bunda kan malu sama Ara dan Ari." kata Bu Ernes lagi dengan pipi merona merah.
"Cie...cie... ada yang malu-malu." Ara pun menggoda ibunya.
"Stop godain Bunda dong. Bunda kan makin malu." kata Bu Ernes lalu ruangan itu dipenuhi gelak tawa keluarga yang bahagia itu.
Beberapa saat kemudian Ara pamit kembali ke kamarnya.
Dia mau mengecek keberadaan Maya, kekasihnya itu.
Ketika dia menghubungi Maya, nomor Maya sudah tidak aktif lagi.
Artinya pesawat yang ditumpangi sudah berada di atas awan.
Entah kenapa hatinya gelisah, sangat gelisah.
"Ya Tuhan lindungilah hambamu." sebaris doa terucap di bibirnya yang merah itu.
Maklum saja, bibir tipis itu tidak pernah terkena rokok.
***
Sementara itu di ruang tamu, Pak Eman dan Bu Ernes terus saja membicarakan Ara, putra mereka.
Sedangkan Ari juga sudah kembali ke kamarnya. Mau istirahat siang katanya.
"Yah, bagaimana jawaban Ara tadi? Apa dia sudah mau menggantikan posisi Ayah?" tanya Bu Ernes pada suaminya.
"Masih seperti kemarin. Masih ingin istirahat katanya." jawab Pak Eman dengan nada sedikit kecewa.
"Sabar Ayah. Begitulah anak muda. Nanti juga dia akan mau menerima tawaran Ayah. Dia kan putra satu-satunya. Kalau bukan dia lalu siapa lagi. Sabar ya Ayah."kata Bu Ernes sambil mengelus lengan sang suami, seakan mau memberikan ketenangan pada suaminya.
Pak Eman lalu melipat koran harian yang dari tadi dipegangnya tapi tidak sempat dibacanya itu, lalu diletakkannya koran itu di meja yang berada di sampingnya.
Suasana kembali hening.
Bu Ernes meraih koran yang baru saja ditaruh suaminya itu, lalu mulai membacanya.
***
Dikamarnya Ara terus saja gelisah.
Sebentar-sebentar dia mengecek ponselnya.
Berharap akan mendapat pesan dari Maya.
Sebenarnya dia sudah meminta Maya untuk ke Bali dulu, lalu ke Jakarta untuk bertemu dengannya. Tapi sang pacar terus bersikukuh tetap ke Jakarta dulu, sebelum kembali ke Bali.
Karena belum ada kabar dari Maya, Ara memutuskan untuk menghubungi Edo sahabatnya.
Tutttt... tuuttt...tutttt.... tak ada jawaban.
Ara lalu meletakkan kembali ponselnya di atas ranjang empuknya.
"Edo... Edo..., kamu ngapain aja?" gumamnya tak jelas.
Tak lama kemudian benda pipihnya itu bergetar.
Sepertinya ada panggilan masuk pada ponselnya.
Segera dia menyambarnya, berharap panggilan dari Maya.
Ternyata bukan.
Si Edo yang memanggil balik.
Ara lalu menempelkan benda pipih itu di telinga setelah menjawab panggilan itu.
"Halo Do... kamu ngapain aja?" tanyanya to the point.
"...."
"Mandi atau 'mandi'?" tanyanya menggoda sahabatnya itu.
Ternyata Edo tak menjawab panggilannya karena sedang mandi.
Dia melirik jam weker yang berada ada di meja bacanya. Jarum jam menunjukkan tepat pukul 15:00 WIB.
"Do, ntar kita ke Bandara yuk. Jemput si Maya." katanya pada sahabatnya itu.
Tentu saja Edo kenal sama Maya, karena Edo juga sama-sama kuliah di Amerika.
"...."
"Belum tahu jam berapa tiba, tapi kamu siap-siap saja. Kalau sudah ada kabar dari Maya, aku telepon kamu. ok?"
"...."
Sambungan telepon pun berakhir.
Ara sungguh sangat beruntung memiliki seorang sahabat seperti Ara.
Walaupun berasal dari keluarga yang sangat berkekurangan tapi otak Edo sangat cerdas.
Edo yang banyak membantu dia di Amerika saat dia ada kendala pada pelajarannya.
Edo bisa kuliah di Amerika karena mendapat beasiswa.
Cowok tampan itu hanya memiliki seorang ibu dan seorang adik perempuan. Ayahnya sudah meninggal saat dia masih berusia tujuh tahun dan adiknya lima tahun.
Ara pernah bertemu langsung dengan ibu dan adiknya Edo, karena mereka berada di kampung halamannya.
Edo berasal dari Maumere Flores ,Nusa Tenggara Timur.
Adiknya saat ini sedang kuliah di Universitas Nusa Nipa Maumere.
#Bersambung