Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kabut Cinta Riana

Kabut Cinta Riana

Dwi Untari

5.0
Komentar
171
Penayangan
19
Bab

Saat hati telah kau percayakan untuk dimiliki seseorang, hingga kau pun menaruh harapan setinggi bintang, tetapi kenyataan tak berfungsi sebagai penerang justru fatamorgana yang melukis bayang ... sungguh menyakitkan bukan? Dialah Riana. Gadis cantik berparas seindah lukisan senja yang harus menjalani takdir cinta berkabut jelaga, karena sang kekasih lebih memilih melabuhkan sauh cintanya pada sang wanita penggoda, hingga ia pun sengaja menciptakan gunung es di hati dengan kebekuan abadi. Akankah Riana mampu menggapai cinta sejatinya? Meski bekal ketulusan, ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan telah ia persembahkan untuk menyibak kabut agar beringsut menyambut cerah cahaya.

Bab 1 Kabut Cinta

Kabut Cinta

Aku masih termenung di sini. Mencoba paham akan semua problematika. Cinta ... terlalu rumit, karena sebab akibat dan sebutir kasih sayang. Dia berikan pada jiwa-jiwa nestapa di ujung mayapada, termasuk diriku dan juga kau.

Percayalah! Aku mencintaimu tanpa syarat, mengasihimu tanpa belas ataupun iba dengan segenap jiwa raga, karena cinta yang sesungguhnya takkan pernah menghadirkan titik hitam bagi hati. Tak kan pula membuat pelakunya menjadi ternodai. Sebab cinta yang sejati adalah cinta yang dilandasi untuk menggapai ridho Illahi, bukan semata karena hanya ingin merasakan kenikmatan sesaaat yang kelak kan disesali.

"Kau masih berani menampakkan diri dengan menginjakkan kaki kembali ke rumah ini? Dengan semua yang telah kau perbuat membuat nama besar dan kehormatan keluarga tercoreng sebab aibmu itu!" Keras suara ayah terdengar saat aku baru saja kembali ke rumah. Gurat amarah jelas tergambar di wajah keriputnya. Bahkan, aku hampir tak mengenali lagi lelaki yang selama dua puluh lima tahun begitu lembut menyayangi dan selalu memanjakanku.

"A-ayah, aku tidak bersalah. Semua ini fitnah," jawabku dengan kedua netra berkaca-kaca.

"Kau berusaha mengalihkan kesalahanmu pada orang lain. Begitukah cara kami mendidikmu selama ini? Sungguh, aku malu pada keluarga Wijaya--sahabat karibku, karena putriku telah melakukan perbuatan keji!" Kemarahan ayah benar-benar ada di puncaknya.

"Tidak, Ayah. Aku tidak seperti yang dituduhkan Jovan. Percayalah! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan terkutuk itu. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua kebenarannya." Retak kaca-kaca di netraku seiring bulir hangat lolos begitu saja mengalir tanpa perintah. Disusul rasa sakit yang menghimpit dada. Bukankah lebih menderita bila melihat kedua orang tua yang kita sayangi sangat kecewa?

"Lalu, siapa Nazran? Lelaki yang telah menanamkan benih di rahimmu itu. Sungguh beraninya kau membohongi ku!"

Kubekap mulut yang menganga. Aku sungguh tak percaya, ayah bisa mengatakan itu. Rupanya Jovan telah mengatakan semuanya pada ayah.

"Aku bisa memberikan penjelasan tentang Nazran, Ayah."

"Cukup, Riana! Ayah tak ingin mendengar penjelasan apa pun darimu. Karena setiap kebohongan akan melahirkan kebohongan baru. Aku telah gagal mendidikmu." Memalingkan dan mengusap wajah. Sementara salah satu tangannya meraba dada sebelah kiri.

Aku berlari ke kamar. Menutup pintunya rapat. Menyandarkan tubuh ke dinding dengan berurai airmata. Samar terlihat, tetapi nampak jelas, cinta pertamaku gulita sebelum dapat kusentuh terangnya. Terlintas pikiran buruk di benakku untuk mengakhiri hidup.

Allah ... ampuni aku. Kalau seperti ini, ingin rasanya aku pulang ke rahim ibu dan tak pernah terlahir lagi.

Apa yang kau lakukan, Riana? Kau lupa, ada kehidupan yang kini telah bersemayam di tubuhmu. Anugerah terindah yang tidak semua wanita bisa mendapatkannya. Tanda sempurna sebagai seorang perempuan. Kau harus kuat dan tegar demi dia yang tak berdosa. Bukankah setiap kesulitan pasti ada kemudahan? Dan kebenaran selalu membuka tabirnya melawan kejahatan yang berusaha menghalangi. Sebuah suara tiba-tiba berbisik lirih dari dalam hati.

"Aku akan memperlihatkan keindahan semesta ini, Nak. Bagaimana pun caranya! Tak ada satu orang pun yang akan bisa menghalangi. Ibu sangat mengasihimu," ucapku memantapkan diri. Kuelus perlahan perut yang masih rata dengan derai airmata.

*****

Pernikahanku dengan Jovan hasil dari perjodohan bisnis kedua orang tua kami. Ayah Jovan--Wijaya--sahabat karib ayah sejak SMA sekaligus rekan bisnis.

Suatu saat perusahaan Wijaya yang bergerak di bidang properti terkena masalah, karena uang perusahaan dibawa lari oleh manajer keuangannya ke luar negeri dan dinyatakan pailit.

Beberapa tender dari pemerintah maupun swasta yang telah menanam modal mulai tidak percaya. Satu per satu mengundurkan diri dari kerjasama proyek dan meminta semua uangnya dikembalikan. Wijaya meminta bantuan pada ayah untuk meminjam uang guna menutup utang- utang perusahaan.

Ayah menyetujui untuk menolong perusahaan sahabatnya itu dari kebangkrutan. Apalagi perusahaan ayah sedang berkembang pesat dan sedang melebarkan sayap, saat itu.

Perusahaan Wijaya bangkit kembali dari keterpurukan berkat suntikan dana dari perusahaan ayah. Untuk membalas budi atas jasa ayah, Wijaya menjodohkan Jovan denganku agar hubungan mereka berubah menjadi keluarga dan harta kekayaan tidak jatuh ke tangan orang lain.

*****

Enam bulan yang lalu.

"Riana, sudah saatnya kau menikah," ucap ayah di suatu senja kala kami duduk di beranda rumah.

"Tapi Ayah, aku baru saja lulus dan ingin melanjutkan studi S2." Aku berusaha menolak halus permintaannya.

"Kau bisa tetap melanjutkan studi S2-mu, meskipun menikah, kan? Kalau kau mementingkan kuliah, kapan Ayah bisa menimang cucu? Kau tahu aku sudah sangat merindukan kehadirannya." Kulihat di sinar mata tuanya, seberkas kerinduan membias bersama senyum yang terbingkai sempurna. Lalu katanya lagi, "Kalau kau setuju bulan depan kau menikah dengan pemuda pilihanku?"

"Secepat itu kah?" tanyaku terbeliak.

"Lebih cepat lebih baik, Na. Aku tak mau punya anak gadis yang menyandang predikat perawan tua. Meski aku hidup di jaman modern, tapi prinsip hidup tak berubah."

"Apa Riana boleh tahu, siapa calon suamiku?" tanyaku penasaran ingin tahu.

"Kau pasti akan setuju, karena Ayah tahu. Kau sangat menyukainya," jawab ayah menatapku dengan tersenyum.

"Iih ... Ayah. Riana penasaran ini," balasku manja.

"Coba kau pejamkan mata dan sebut namanya dalam hati. Nanti, pada hitungan ke tiga buka netramu. Dia sudah berdiri dihadapanmu."

Aku menuruti perintah ayah. Menutup mata dan membukanya pada hitungan ketiga. Ternyata Jovan sudah berada di depanku, tersenyum dan menyapa, "Apa kabar, Riana?"

Hatiku mencelos melihat kehadiran lelaki berkulit putih dengan wajah rupawan itu. Rupanya, tanpa sepengetahuanku ayah telah menyuruh Jovan datang ke rumah. Ah, Ayah ... kau selalu mengerti apa yang diharapkan hati ini.

"Jo-Jovan ... kapan kau datang? A-aku baik- baik saja," ucapku gugup menahan debar yang begitu cepat menjalar.

Deg!

Dadaku bergemuruh bak genderang perang yang bertalu-talu saat ditabuh, kala tatapan kami saling beradu.

"Baiklah, Silakan ngobrol! Aku tinggal kalian. Ada urusan yang penting harus kuselesaikan dengan Pak Wijaya. Jovan, titip Riana," ujar Ayah sembari tersenyum menatapku dan melangkahkan kaki mendekati pintu ruang keluarga.

"Ayah, terima kasih," ucapku menahan haru sekaligus malu.

Ayah tersenyum menatapku sembari melangkah meninggalkan kami.

Hening.

Untuk beberapa saat kami tenggelam dalam perasaan masing-masing, karena tujuh tahun kami berpisah. Aku dan Jovan berteman sejak kecil. Tumbuh dan besar bersama, karena keluarga kami begitu akrab.

"Kudengar, kau baru saja menyelesaikan studi ekonomimu. Congrats, ya," ucap Jovan mencairkan suasana.

"Iya. Terima kasih, Van," jawabku.

"Kapan kau pulang dari Amerika?"

"Baru seminggu."

"Oh ... apa kau akan kembali lagi ke sana?"

"Mungkin tidak, Na. Aku sudah memutuskan untuk menetap di Indonesia."

"Lah, kenapa? Gimana dengan pekerjaanmu?"

"Aku diminta ayah untuk menangani perusahaannya. Dia ingin istirahat. Selain itu, gadis- gadis di sana gak ada yang cantik. Beda dengan di sini. Apalagi gadis yang sekarang duduk di hadapanku ini."

"Ah, kau bisa saja."

"Aku serius ... eh dupuluh rius, deh! Kau semakin cantik, Na." Manik kelam netranya menatapku lekat.

"Dasar tukang ngegombal. Bisa saja merayu wanita."

"Jujur dan suer, deh!" Senyum di kedua lesung pipinya semakin menggetarkan hatiku.

Aku menundukkan pandangan. Menyembunyikan muka yang bersemu merah. Mendadak telapak tanganku terasa hangat kala tangan kekar Jovan mengenggamnya erat. Membuat rasa sejuk seketika memenuhi rongga dada.

*****

Setelah terjadi kesepakatan antara kedua keluarga, kami pun menikah. Pesta digelar dengan meriah.

Ketika para tamu undangan berpamitan, disusul karib kerabat. Kami langsung pulang ke rumah pemberian Wijaya sebagai hadiah pernikahanku dengan Jovan.

Sejak perjalanan menuju rumah baru, debar di dada tak beraturan iramanya. Nervos. Mungkin semua gadis mengalami hal yang sama sepertiku, saat akan menghadapi malam pertama. Perasaan mengharu biru kini tengah menguasai kalbu.

"Rapikan dirimu, Na. Aku mau mandi dulu," perintah Jovan dengan suara lembut. Mendudukkanku di sofa dekat tempat tidur. Pemilik manik hitam kelam itu menatapku teduh.

Aku hanya mengangguk dan menunduk. Berusaha menyembunyikan rasa yang sedari tadi tak mau beranjak pergi, tetapi malah semakin menjadi.

Setelah mengganti pakaian pengantin dan melepas berbagai aksesoris yang melekat, aku duduk di tepi pembaringan. Hamparan sprei putih bertabur helaian mawar merah berada di hadapan.

Suara langkah kaki perlahan mendekat. Untuk yang kesekian kali dadaku kembali bergemuruh hebat. Seketika harum aroma maskulin menguar memenuhi ruangan. Bau wewangian parfum khas kesukaan Jovan. Tangan kekarnya mengusap lembut bahu dan membalikkan badanku.

"Apa kau takut ... maksudku belum siap?" tanyanya sembari mengangkat dagu tirusku.

"A-aku ...." Belum selesai aku meneruskan kata-kata, Jovan sudah menarik tubuhku lebih dekat. Membuat pandangan kami nyaris tak berjarak dan aku pun pasrah pada bahtera cinta yang menenggelamkanku, hingga ke dasar samudera dengan hempasan badai gelora asmaranya. Aku bangga hampir purna bisa mempersembahkan apa yang menjadi hak Jovan. Andai saja, ia tak menyebut satu nama berulang yang membuatku terhina.

Siska.

Nama yang terucap dari bibirnya bersama desah kenikmatan, saat ia mereguk manisnya surga dunia.

Aku seperti dedaunan yang menguning , bersiap terlepas dari dahan yang kering. Lalu, angin menerbangkan sesuka hati dan menjatuhkan di hamparan tanah dengan berguling-guling dan hanya bisa bergeming.

Adakah siksa yang paling pedih mendera? Kala nama wanita lain yang justru disebut, saat dua raga melebur dalam cinta.

Di luar, hujan menderas. Seiring derasnya bulir hangat yang membasahi pipi, tetapi Jovan seakan tak peduli.

"Childish," ejeknya seraya membuka selimut dan mengenakan kembali celana pendeknya.

"Apa katamu? Kau telah menghinaku, Jovan!" ucapku dengan nada sedih.

"Kau pantas menerimanya, Na. Karena kau yang mulai menyulut api kebencian ini!" seringainya tajam.

"Apa maksudmu, Jovan? Bukankah kau yang telah menghinaku dengan menyebut nama wanita itu," balasku dengan rasa kecewa.

"Kau mau bukti?" sergahnya diiringi sorot mata yang tajam.

"Bukti apa?"

"Nih, lihat! Siapa Nazran? Kalau kau mencintainya, mengapa kau menikah denganku?!" ujarnya sambil melemparkan benda pipih ke arahku.

Aku terkejut bukan main, saat membuka Whattsap. Nazran telah mengirimiku pesan sebanyak duapuluh kali dan isi pesan itu telah dibaca semua oleh Jovan. Sifat posessif dan egoisnya spontan memberontak.

"Jovan, aku bisa menjelaskan siapa Nazran ...."

"Tak perlu! Karena aku tak ingin mendengarnya. Pun darimu. Kau telah berselingkuh, Riana. Maaf, aku tak bisa mengampunimu." Meninggalkanku sendiri di kamar. Ia segera merapikan diri. Di menit berikutnya gawai Jovan berdering.

"Sebentar, Siska. Aku akan datang. Malam ini kita habiskan dengan bersenang-senang," seringainya sinis melirik ke arahku.

"Ok, Babe. Aku yakin kau pasti kembali padaku. Hanya aku yang bisa mengerti dirimu luar dalam. Salam buat istri barumu, ya, hahaha ...." Suara wanita tertawa terkekeh di seberang. Sengaja mengejekku kegirangan.

"Kau benar-benar egois dan tak berperasaan. Suatu saat kau akan menyesal, Jovan," rutukku kesal. Malam itu menjadi malam yang paling kelam dalam hidupku.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Dwi Untari

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku