Ini bermula ketika Alena melakukan kesalahan yang sangat besar. Kesalahan tersebut ternyata ada hubungannya dengan hilangnya Sely. Revan, sebagai pacarnya Sely mencurigai jika Alena melakukan sesuatu pada Sely hingga pacarnya tersebut hilang beberapa hari lamanya. Di sisi lain, semenjak hilangnya Sely, Alena terus diganggu oleh makhluk halus yang wajahnya menyerupai dengan Sely. Bahkan hari-harinya juga harus dirundung ketakutan dikarenakan ada seseorang yang terus mengejarnya. Alena dituntut untuk bertanggung jawab atas hilangnya Sely. Bintang, salah satu teman Alena juga turut membantunya menyelesaikan misteri yang ada di kehidupan Alena. Dengan keistimewaan yang dimilikinya, Bintang dengan mudahnya mencari jalan keluar. Namun, ada sesuatu yang masih menghantuinya. Ini bukan tentang Alena saja, ini juga tentang kakaknya. Ferdian. Dia juga diganggu oleh arwah Ayu karena ingin balas dendam.
Aku terbangun di tempat yang gelap. Perlahan aku berdiri dan berusaha mencari benda apa pun asal bisa dipegang. Aku tersenyum lega ketika menemukan seberkas cahaya yang tak jauh dariku. Ternyata aku hanya menemukan sebuah bangku panjang di mana cahaya itu berada. Tanpa ragu, aku duduk di bangku tersebut. Tak bosan-bosan, aku kembali melihat ke sana ke mari. Semuanya hitam dan kosong. Kecuali bangku yang kududuki, di sampingnya terdapat lampu kecil yang terpasang di tiang.
Apakah aku sudah mati?
Itulah yang terlintas di benakku. Pasalnya aku sama sekali tidak mengetahui tempat apa ini. Bahkan aku sama sekali tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya. Semua isi kepalaku seakan menghilang begitu saja. Seperti sobekan kertas yang terhempas oleh angin. Jika aku benar-benar mati, ampunilah segala kesalahanku semasa hidup.
Tak terasa air mata menetes di pipiku. Takut berada di tempat asing seorang diri. Selalu saja, hatiku menjerit-jerit meminta tolong kepada siapa pun. Jika aku benar-benar berteriak, apakah mungkin ada yang menolongku? Aku kira tidak. Tak ada seorang pun yang lalu lalang melewatiku. Hanya ada diriku yang tengah duduk dengan kaki gemetar. Mataku tak sengaja melihat seekor serangga hinggap di bajuku. Saat itu juga aku terkejut.
Pakaian apa yang kupakai?
Bukannya mengusir serangga yang hinggap. Malah aku ngeri melihat pakaian yang
kukenakan. Baju terusan putih sampai menutupi kaki. Atau jangan-jangan aku tidak mempunyai anggota gerak bawah? Kusingkap pakaian putihku itu dengan hati berdebar.
Lega, ternyata aku masih mempunyai kaki.
Tiba-tiba saja aku mencium bau harum bunga melati, dan saat itu juga angin berembus sangat kencang. Tidak sengaja aku melihat sekelebat bayangan hitam mendekat ke arahku.
Mengulurkan kedua tangannya ke depan. Seperti hendak mencekik seseorang. Aku pun
mencoba menutup mata. Takut dengan apa yang baru saja kulihat. Semoga saja, dia tidak
berniat jahat kepadaku. Disaat aku mencoba membuka mata, dari celah-celah jariku aku
melihat bayangan itu semakin mendekat dan berdiri tepat di sampingku.
"Akhirnya dendamku terbalas sudah."
Suara itu terdengar lembut dari sampingku. Anehnya, bayangan tersebut sudah hilang entah ke mana.
"ke mana dia?"
Seberkas cahaya membuat silau mataku. Brukkk ... Bukan tubuhku yang jatuh, melainkan
benda yang berada di dekatku. Mataku membulat, mendapati tubuhku sudah tidak berada di tempat yang gelap dan menyeramkan itu lagi. Sekarang aku berada di depan rumah bercat kuning. Aku sangat kenal dengan rumah ini. Rumah yang memberiku suka duka bersama keluarga.
Aku mengerjap mata sebentar. Merasa aneh, ketika aku mengingat semuanya. Padahal
sebelumnya, aku sama sekali tidak mengingat apa pun. Aku pun telah mengingat apa yang
kulakukan sebelum terjebak di tempat yang asing. Seseorang yang seumuranku terus
menerorku.
Aku berdiri dan menyaksikan keadaan rumahku. Ada yang aneh, kenapa rumahku didatangi banyak orang? Berpakaian serba hitam semua lagi. Orang-orang yang berkunjung ke rumahku tersebut menitikkan air mata dan selalu menatap ke satu arah. Yaitu dalam rumah. Dilihat dari ciri-ciri mereka, sudah dipastikan ada yang meninggal dunia. Tapi siapa yang meninggal?
Lamat-lamat aku melihat temanku, Rani. Dia duduk bersandar pada bahu seseorang, yang
tidak lain ialah pacarnya. Tapi ada yang berbeda dengannya. Rani menangis? Untuk siapa?
Tanpa ragu, kuhampiri Rani yang duduk di kursi halaman rumah. Berulang kali kupanggil
namanya. Bahkan aku berteriak kencang. Namun, tidak ada sahutan dari Rani. Seakan dia
tidak menyadari keberadaanku. Padahal jelas-jelas aku berdiri di dekatnya. Dia malah asyik menangis di sandaran Bayu. Aku menghembuskan napas kasar. Geram karena Rani tidak merespons panggilanku.
Terpaksa kupegang bahunya. Bukan. Aku bukan memegangnya, melainkan menembusnya.
Ini tidak mungkin. Apa aku sudah mati? Mataku menyapu sekeliling hingga berakhir di ruang tamu. Aku segera berlari ke sana. Sungguh terkejutnya diriku mendapati keadaan yang berada di dalam rumahku. Menurutku kejadian ini lebih menyeramkan dari pada sebelumnya.
Kulihat mamaku tengah menangis di pelukan sang papa. Bukan itu yang membuatku terkejut. Aku merinding ketika mendapati tubuhku sendiri terbaring kaku di lantai yang tertutup kain putih. Jadi benar aku sudah mati. Aku terduduk, menangis sekencang-kencangnya yang tak mungkin akan didengar oleh orang lain. Sungguh menyedihkan.
Bahkan aku masih berumur enam belas tahun, akan merasakan hal seperti ini?
Selama meratapi nasibku, aku baru menyadari ada seseorang yang menatapku dengan senang. Dia yang tengah duduk di paling pojok kiri. Anehnya, orang-orang yang berada di dekatnya seperti tidak menyadari orang itu. Sekarang aku baru menyadarinya kalau dia memang benar-benar sudah tidak ada atau bukan manusia lagi.
Bab 1 Prolog
12/11/2023