Obsesi menghancurkannya Proses hijrah pun hanya sebatas demi manusia Membuat Shabila lagi-lagi menerima kepahitan dalam hidupnya. Namun, semua garis hidupnya, mengantarkarnya kepada sosok laki-laki yang akhirnya bisa membuatnya bungkam hanya dengan sebuah kalimat. Tanpa sedikit pun merendahkannya. "Siapa diriku, Shabila? Sampai bisa menilaimu buruk atau tidaknya. Aku hanya salah satu hamba–Nya yang berikhtiar menjadi seorang Imam bagi calon makmumku hingga bisa menggapai Jannah–Nya bersama, beriringan."
Saat semua pandang mata menatap sekeliling rumah–Nya dengan kagum dan takjub tak hentinya. Di mana, tempat bagi para umat muslim berlomba-lomba untuk memanjangkan setiap sujudnya. Memeluk mesra doa-doa untuk dilantunkan, tanpa henti.
Begitu pula yang dilakukan oleh seorang wanita muda berbaju serba hitam, dengan kerudung yang menjuntai jatuh di sekujur tubuhnya. Berjalan pelan mengitari tempat itu.
Lantunan zikir dan doa tak henti Shabila–panggilan wanita itu, gumamkan dengan mata yang sudah berembun di sepanjang perjalanannya mengelilingi Ka 'bah.
Didampingi oleh sang cinta pertama. Shabila menguatkan diri. Atas kilasan-kilasan dosa-dosa yang telah dia lakukan selama ini. Juga, atas rasa sakit yang menghantarnya untuk lebih mendekat kepada–Nya.
Wanita itu sadar, jika selama ini dia terlalu angkuh, terlalu berharap kepada seorang hamba dan salah dalam niatnya. Hingga rasa kecewa dan sakit lagi-lagi menyapanya dengan secara bersamaan.
"Ayah ...." panggil lirih wanita itu.
Sebagai seorang ayah, sontak saja pria paruh baya itu menoleh untuk menatap sang anak. "Kenapa, Nak?"
Shabila terdiam, memandang lekat wajah ayahnya yang tidak lagi muda. "Apa Shabila bisa."
"Tentu saja. Anak ayah hebat. Ini adalah start awal perjalananmu, Nak. Biarlah ... masa lalu sebagai pelajaran hidup. Jangan terlalu larut. Yakinlah, ada alasan baik di balik Allah membiarkan kamu berada di jalan ini," ujar lembut Usman, menggandeng tangan kecil nan rapuh putrinya.
Shabila mengangguk lemah. "Terima kasih ... Ayah selalu ada untuk Shabila. Dan ... maaf, jika selama ini Shabila sulit untuk diatur," balasnya dengan suara yang sedikit bergetar.
"Tidak apa-apa, Nak. Bukankah, dengan hal itu pula, yang membuat putri Ayah bisa sampai di tempat suci sekarang." Usman kembali menguatkan putri tunggalnya itu dengan begitu lembut.
Shabila tersenyum tipis dengan sekuat tenaga, di tengah-tengah kesakitannya. Karena ucapan sang ayah yang selalu bisa membuat dia merasa dicintai dan disayangi tanpa syarat.
Wanita itu, tak henti-hentinya berucap syukur di dalam hatinya. Yang telah dilahirkan sebagai putri seorang Usman Bariq. Bersyukur dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang hangat. Juga, bersyukur atas segala macam nikmat yang selalu Allah beri kepadanya.
Meski berat, Shabila juga bersyukur atas masalah hati yang Allah timpakan di dalam hidupnya. Yang secara tidak sadar, mengantarkannya kepada jalan yang kembali lurus dan lebih mendekat kepada–Nya.
"Ini malam terakhir kita berada di sini, Bila. Apa pun yang kamu inginkan, berdoalah dan senantiasa melabuhkan harap kepada Allah. Insyaallah, doamu akan terkabul, Nak," ucap Usman lagi. Membuat Shabila lagi-lagi menoleh ke arah ayahnya.
"Kalau begitu, bantu Shabila untuk berada di barisan terdepan, Yah. Shabila, ingin lebih dekat dengan Ka 'bah."
Mendengar permintaan putrinya. Tentu saja, Usman segera mengangguk. Lantas membawa putrinya untuk mendekat ke arah Ka 'bah, yang tengah dikelilingi oleh banyak umat muslim lainnya.
Keinginan Shabila yang hanya ingin mendekat, Allah kabulkan dengan lebih romantis. Berkat perlindungan ayahnya, Shabila berhasil sampai di multazam (dinding Ka 'bah yang berada di antara sudut hajar aswad dengan pintu Ka 'bah).
Tidak mau membuang kesempatan. Segera saja, wanita itu melakukan iltizam (menempelkan badan ke sisi multazam).
Rasa haru, sakit, kecewa, malu, bahagia menyatu begitu badannya menyentuh sisi multazam. Dengan kedua netranya yang memejam, tanpa bisa dicegah air mata pun luruh dengan sendirinya.
Ya Allah kali ini hamba datang dengan lemah, dan undanglah kembali, hamba ke rumah–Mu dalam keadaan yang lebih baik. Hamba percaya, Engkau telah menyediakan kebahagiaan sesuai dengan kebutuhan hamba. Karena hanya kepada Engkau, hamba yang penuh dosa ini untuk berharap-mohon Shabila di dalam batinnya.
Melihat anaknya yang begitu khusyuk. Air mata Usman ikut menetes. "Ya Allah ... Engkau yang Maha meridhoi atas segala sesuatu. Hamba mohon dengan amat sangat, kabulkanlah permohonan putri hamba. Apa pun itu kabulkanlah, selagi itu adalah hal baik yang Engkau ridhoi.
***
Setelah menunaikan ibadah terakhir di masjidil haram. Shabila kembali ke hotel untuk mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang, begitu pula dengan barang milik ayahnya.
"Ayah ... apa tidak ada barang-barang yang ketinggalan?" tanya Shabila begitu selesai mengemasi semua barang miliknya dan juga sang ayah.
Usman menggeleng pelan. "Tidak apa juga meskipun tertinggal , Nak. Biar bisa kembali lagi ke sini," balasnya terkekeh.
Shabila pun tersenyum mendengarnya. "Aamiin. Semoga terkabul."
Lantas, Shabila dan juga Usman pun istirahat, karena dini hari nanti, mereka harus segera berangkat menuju bandara. Untuk segera pulang ke tanah air.
Saat ini, setelah menunaikan ibadah salat subuh. Rombongan jamaah umrah yang tentunya ada Shabila dan juga ayahnya. Kini, sudah berada di bandara.
Mereka menunggu kedatangan pesawat yang akan membawanya ke tanah air, setelah dua belas hari berada di tanah suci.
"Ayah baik-baik saja? Kakinya sakit lagi?" Shabila menatap khawatir ke ayahnya.
Usman tersenyum kecil menanggapi kekhawatiran putrinya. "Tidak apa-apa, Bila. Mungkin sedikit kelelahan."
"Apa persediaan obat ayah masih ada?" Shabila kembali bertanya dengan gelisah.
"Sudah ayah minum, kok. Mungkin sebentar lagi, obatnya bekerja," balas Usman mencoba menenangkan kekhawatiran anaknya.
Tepat ketika Usman menyelesaikan ucapannya. Suara pengeras pemberangkatan pesawat yang akan membawanya kembali ke tanah air terdengar.
Lantas, para rombongan umrah itu mulai beranjak menuju pintu masuk pesawat. Begitu pun Shabila dan juga ayahnya. Wanita itu lebih mengutamakan ayahnya terlebih dahulu untuk memasuki pesawat, setelah itu dirinya.
"Pelan-pelan, Yah," ujar Shabila lembut sembari menuntun tangan ayahnya.
"Iya, Bila. Kamu juga hati-hati."
Setelah masuk ke dalam pesawat. Shabila pun mencari-cari tempat duduknya. Dia begitu terkejut dengan seorang pria yang sudah duduk dengan tenang tepat di samping tempat duduknya bersama sang ayah.
Bukan tanpa sebab dia terkejut. Melainkan, pria itu cukup familier baginya. Rasanya, bukan kali pertama dia melihat pria asing itu. Tetapi, dia cukup kesulitan untuk mengingatnya.
Tidak mau memusingkan hal itu. Shabila pun mendekat. "Permisi," ucapnya pelan.
Mendengar suara Shabila. Tentu saja, membuat pria itu berdiri, untuk memberi jalan kepada Shabila dan juga Usman untuk duduk di tempat mereka. "Eh ... iya silakan."
Sekilas pandangan mata pria itu bersitubruk dengan mata hazel milik Shabila, sebelum Shabila melangkah masuk ke kursinya. Namun, segera keduanya mengalihkan pandangannya. Lantas duduk dengan tenang di dalam pesawat.
Astaghfirullah Shabila, bisa-bisanya kamu bertatapan lama dengan yang bukan mahramnya-batin Shabila menggerutu.
Kemudian, Shabila menolehkan kepalanya ke jendela. Menatap sendu tanah suci yang segera dia tinggalkan. Mengabaikan ayahnya yang sudah beramah-tamah dengan pria asing tadi.
Lagi dan lagi, wanita itu memejamkan matanya. Ikhlaskan, Shabila!-Batin wanita itu berbisik lirih.
Kemudian wanita itu memutuskan untuk tidur. Hingga telinganya mendengar suara samar-samar, sesaat sebelum dirinya terlelap dalam tidurnya, karena kelelahan.
"Apa dia putri Bapak?"
Bab 1 Pria yang Familiar
10/11/2023
Buku lain oleh my_el
Selebihnya