Kisah Nala yang harus berjuang demi keluarga tercintanya, melawan kakak ipar.
"Gala, Ayunda cepetan udah kesiangan nih, kalian lama banget sih!"
"Bentar ...."
"Iya tunggu ...."
Suara teriakan di pagi hari di rumah besar keluarga Wistara.
"Mbak, sarapannya udah aku sediain, nggak sarapan dulu?" tanya Nala pada sang kakak iparnya.
Calya, wanita berusia empat puluh tahun beberapa hari lagi itu menoleh ke meja makan, ada banyak makanan di sana, tapi dia lalu menggeleng dengan kuat dan menatap Nala yang berdiri di pinggir meja makan dengan daster dan rambut berantakan serta wajahnya yang berminyak.
Calya mendengus lalu mengacuhkan sambil berkata, "Kita mau sarapan di jalan aja, bosan sarapan itu-itu muluk, emangnya nggak ada menu lain apa selain itu lagi-itu lagi."
Nala menarik napas panjang mendengar ucapan pedas kakak iparnya itu.
Sudah biasa, sudah sepuluh tahun Nala diperlakukan seperti ini oleh kakak iparnya tersebut.
Hanya bisa menahan di dalam hati Nala mengerjapkan matanya.
Ini adalah untuk yang kesekian kalinya dia diperlakukan seperti pembantu oleh kakak iparnya.
"Kalau nggak mau sarapan di rumah kenapa nggak bilang dari semalam." Jawab Nala dengan suara rendah.
"Apa? Kamu bilang apa?" Calya menoleh menatap Nala.
"Yang sarapan di luar Mbak sendiri kan? Aku sudah siapin kotak makan buat Mas Gala dan Ayunda."
"Mereka juga kayaknya nggak bakalan sarapan di rumah, pasti ngikutin aku."
"Tapi ...."
"Udah, kamu makan sendiri aja."
Calya berbalik, dia lalu berteriak lagi, "Hei, kalian lama banget sih."
"Iya ..." suara Ayunda terdengar, tak lama dia sudah muncul di hadapan Nala dan Calya.
Begitu juga dengan Gala, dia menatap Nala yang berantakan dan ke meja makan yang sudah siap.
Saat Gala berjalan ke meja makan, suara Calya langsung terdengar, "Gala, kita sarapan di luar aja yuk! Aku bosan sarapan di rumah."
Gala langsung terdiam, menatap nanar pada sang istri yang dia tahu sejak pagi buta Nala bangun dan mempersiapkan semuanya.
"Tapi Mbak, Nala udah siapin kita sarapan."
"Alah, udah ntar biar dia makan sendiri."
"Mbak ..."
"Kamu ... ya udah kalau nggak mau terserah! Ayu ayo ..."
Ayunda yang juga berdiri bersisian dengan ayahnya menatap ibunya lalu ke ayahnya.
Dia bingung, di lain sisi ibunya sudah mempersiapkan sarapan untuknya di sisi lain budenya mengajak dia sarapan di luar.
Gadis berusia sepuluh tahun itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Melawan permintaan sang bude adalah neraka bagi dia dan ibunya.
Bukan tanpa alasan Ayunda lebih sering mengikuti budenya dari pada ibunya, bukan karena dia tidak sayang pada ibunya tapi ...
"Ayunda, cepat!" teriak Calya.
Ayunda bergidik mendengar suara keras Calya yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi kesal menatap tajam pada Ayunda.
"Nala, maafkan kami ya kali ini kita nggak bisa ..." Gala berjalan mendekati Nala lalu menepuk bahu sang istri.
"Hm ..." hanya itu yang bisa Nala lakukan.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Suami dan putrinya tidak akan pernah sekali pun membela dirinya atau memihaknya.
Setelah itu keduanya bergegas berjalan menyusul Calya yang sudah keluar.
Nala hanya bisa menekan dadanya dengan kesal dan juga marah.
Ini adalah yang kesekian kalinya.
"Non ..." suara Bi Darmi muncul di samping Nala.
"Kita sarapan yuk Bi." Ucap Nala pada perempuan paruh baya itu.
Bi Darmi adalah saksi hidup atas kesedihan dan penderitaan yang dialami Nala selama hidup di keluarga ini.
"Ayo Bi, kita makan."
"Sabar ya Non ... Mbak Calya, dia ...."
"Harus dimaklumi ... sampai kapan Bi ...."
Suara Nala serak, tanpa disadarinya air mata mengalir di sudut matanya.
"Aku sudah mencoba bertahan dan sabar Bi, selama ini salahku apa?"
"Sabar ya ...."
Bi Darmi mengelus pundak Nala yang mulai terisak.
"Bahkan Mas Gala lebih memilih kakaknya dari pada aku, juga putriku sendiri, mereka sama sekali tidak peduli sama aku."
"Bukan Non, bukan seperti itu, Non, tahu sendiri kan, Mbak Calya kalau udah ngamuk seperti apa? Dan dia ...."
"Terbiasa dimanja dan dominan di rumah ini? Mas Gala tidak punya power sama sekali. Lalu aku istrinya dianggap apa?"
Saat itu juga ....
"Bi Darmi, tolong ambilin tas aku ketinggalan di kamar dong ...."
Bi Darmi dan Nala terkejut, sosok yang mereka bicarakan sudah berdiri di belakang mereka.
Bi Darmi langsung terkesiap dan seketika, "Iya Mbak ...."
Perempuan paruh baya itu bergegas menuju ke kamar Calya yang ada di sudut ruangan dalam.
"Kamu, nggak usah berpura-pura jadi orang yang teraniaya, bukannya sejak awal kamu sudah tahu kalau Gala itu lelaki yang nggak bisa hidup tanpa aku, kakak satu-satunya dan kamu tetap memilih menikahi dia."
"Mbak Calya ...."
Nala berdiri menoleh dan menatap perempuan mengenakan pakaian kantor rapi di depannya.
"Apa? Masih cengeng. Lagian gitu aja sampai nangis segala."
"Mbak Calya, aku ...."
"Udah lah, lagian dari awal aku juga nggak suka sama kamu, udah aku bilang ke Gala cari istri itu mbok yo yang pinter dikit, nggak kaya kamu bisanya cuma ngeluh, liat aja penampilan kamu udah kayak pembantu, gimana Nala mau respek sama kamu."
"MBAK!"
Nala tidak bisa menahan dirinya.
"Nala ...."
Saat itu suara Gala terdengar keras juga.
"Mas Gala ...."
Calya yang melihat langsung tersenyum lalu berjalan mendekati Gala.
"Tuh lihat, istrimu ngelawan sama orang tua kalau dikasih tahu." Calya mencibir sambil tersenyum sinis.
Nala menegang, ini untuk kesekian kalinya perempuan itu bersikap seolah dia adalah korban.
"Nala, aku sudah bilang, Mbak Calya adalah orang tuaku jadi kamu harus sopan sama dia, kenapa kamu berteriak seperti itu?"
"Mas ...."
"Udah, nggak kasih penjelasan, kamu memang keras kepala dan nggak pernah ngerti. Ambilin map aku di kamar."
Nala tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti perintah Gala dan berjalan ke arah tangga.
Calya tersenyum puas, sudah lama dia ingin sekali adik semata wayangnya ini menceraikan Nala.
Menurut Calya, Nala tidak pantas menjadi istri adiknya, mereka tidak selevel.
Apa yang disukai Gala pada Nala?
Itu yang selalu dipikirkan Calya sampai pada akhirnya dia terus membuat keributan di anatar suami istri itu dan Gala, sosok lelaki yang tidak tegas dan selalu berlindung di ketiak kakaknya itu sungguh membuat Nala tidak lagi memiliki kesabaran.
'Nala, kamu ini cantik, pintar, tapi kenapa masih mau bersama suamimu yang nggak punya pendirian sama sekali itu. Udah sih tinggalin aja, kerja lagi di perusahaan kita, gue yakin bos masih nerima kamu.'
Seketika dalam perjalanan menaiki tangga, Nala teringat ucapan sahabatnya.
'Apa yang harus aku lakukan?'
'Bagaimana dengan Ayunda?'
'Apa aku harus hidup seperti ini terus selamanya?'