Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Wanita Penghibur
5.0
Komentar
1.6K
Penayangan
5
Bab

Buku ini adalah kumpulan dari beberapa cerpen. Terima kasih sudah membaca

Bab 1 Kunang-kunang Untuk Ray

Barangkali aku hanya akan jadi kunang-kunang dalam hidupmu. Menjadi sisi penerang ketika gelap itu mencekikmu di antara kesepian.

Selalu aku yang kemudian menggerakkan tubuh, untuk mengelilingi sisi tergelap dalam malammu, itu murni hanya untuk kamu.

Kau tahu? Aku pernah melihat engkau mengerang, meremas rambut pirangmu dengan gigi gemertak menahan marah, kau juga pernah memegangi kado berhias pita cantik yang kemudian aku tahu itu untukku, mengusapnya lembut seperti ketika tanganmu mulai bersentuhan dengan tubuhku, lalu untuk kali ini ekor matamu tidak berhenti melirik pada jam di pergelangan. Kakimu sendiri engkau entakkan berkali-kali. Mungkin itu petanda bahwa kau sudah terlalu lama untuk menunggu.

Kau berjalan mondar-mandir, menelepon, lalu terakhir kembali meremas rambutmu. KU-SUT! Itu yang jadi penilaian selanjutnya. Tapi jujur aku suka sekali kau seperti itu, meski semuanya hanya sesaat, karena setelahnya aku segera menemuimu. Melempar senyum ramah yang kemudian kau balas dengan kerlingan nakal.

"Kau menungguku?"

Selalu kata itu yang kemudian kulontarkan, seolah aku benar-benar tidak mengetahuinya.

Kau hanya tertawa, menggandeng, lantas mengajakku untuk bermain di antara kesunyianmu. Menjadikan aku sebagai penerangmu lagi agar sepi tidak berhasil menculik lalu membawamu ke sangkar luka. Inilah yang barangkali mengapa aku lebih suka menyebut diriku sebagai kunang-kunang.

"Sampai kapan kita seperti ini terus?"

Aku mendelik, menatap matamu yang kosong memandangi langit-langit kamar. Angka masih menunjukkan dua belas malam, tapi kau sudah kembali ingin membungkus hatimu dengan kesunyian.

Aku selalu mengikuti ke mana arah permainanmu, berusaha menjadi sisi penerang paling terbaik sepanjang kegelapan itu ada. Kau pun selalu mengajakku untuk bermain, dan menikmati terang itu bersama-sama sampai pagi menyapa. Setelah sinarnya benar-benar muncul, kau tidak akan melihatku. Mungkin karena engkau sudah tidak butuh cahayaku lagi. Aku coba paham itu.

Tapi untuk malam ini, kau rupanya begitu cepat mengakhirinya, entah apa binar matamu juga kembali kosong. Kesepian yang aku temukan di balik matamu terlihat lagi, sama seperti kedua kalinya ketika kita bertemu.

"Kau sendirian?" tanyaku kala itu seusai bersalaman.

Aku seperti tidak mengenalmu, kemeja putih yang kau balut jas hitam terlihat kebesaran untuk ukuran tubuhmu yang dulu sangat gagah. Matamu cekung dan pandanganmu selalu nanar. Itu berbeda sekali dengan yang kukenal.

Kita pernah duduk bersama dalam kelas dan kesempatan yang sama. Kita juga pernah dalam satu organisasi, mungkin karenanya aku bisa menilai bagaimana engkau sudah berbeda dengan yang dulu.

"Istriku sibuk dengan kerjaannya. Ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan," jelasmu tanpa selera. Aku tahu engkau sedang tidak ingin membahas hal itu, karena aku juga tahu istrimu terlalu sibuk dan itu sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu.

Istrimu memang pintar, dia pernah jadi kakak kelasku yang super feminim, cerdas, dan berprestasi. Tentu saja aku lagi-lagi tahu, karena aku pernah menjadi pengagum rahasiamu. Hal sekecil apa pun bila itu bersangkut paut denganmu, maka seolah menjadi tugasku untuk mengetahuinya.

"Aku sudah lama nganggur."

"Hah, kok bisa?"

Aku menutup mulut. Kau selalu berprestasi di sekolah. Apalagi dalam sepak bola. Terakhir kau bercita-cita ingin menjadi pemain sepak bola terkenal seperti Ronaldo. Lalu yang aku tahu kau berusaha meraihnya, kau mendapat tawaran belajar di Amerika untuk jadi pemain terbaik sesuai kemampuanmu.

"Maaf," sambungku kemudian begitu sadar reaksiku mungkin sudah terlampau berlebihan. Kau hanya tersenyum sambil menggeleng. Pipit lesungmu bisa terlihat lagi setelah bibir merahmu tersenyum.

Itu senyum yang menjadi bagian mengapa dulu aku menjadi pengagummu, atau barangkali sampai sekarang.

"Aku cacat, aku pernah kecelakaan dan mengalami patah tulang."

"Oh?"

Aku kembali ternganga. Melihat betismu yang langsung kau perlihatkan. Ternyata kau sudah memerbannya, dan sedikit menggunakan kayu kecil yang langsung kau ikat pada bagian betis. Aku baru sadar, mungkin karena betismu tertutupi celana panjang yang sampai mata kaki.

Berjalanku seperti terseret. Kau tidak melihatnya? Oh ya, aku paham, di sini terlalu banyak orang, ujarmu kemudian, mungkin karena masih melihat mulutku yang menganga tak percaya. Oh ya, baiklah ... aku mungkin tidak melihatnya, tapi bukan karena banyak orang di sini.

Melainkan karena aku terlalu merasa bahwa semuanya adalah kejutan paling menyenangkan, yang pernah kutemui di balik buku-buku perjalanan hidupku.

Aku tidak terlalu sibuk memperhatikan bagaimana kamu berjalan, apalagi yang paling aku rindukan adalah wajahmu. Di sana, masih tersimpan kenangan seolah engkau yang sedang serius membaca, melihatku dengan kerutan kening karena tiba-tiba bersikap sok akrab di awal perkenalan.

Wajahmu adalah tempat di mana denyut kerinduan itu mulai berdetak. Itu yang barangkali alasan paling tepat.

"Kau sendiri bagaimana?"

"Hem ... aku? Ya aku masih suka nulis. Kadang aku ngisi seminar."

"Oh ya? Kau penulis rupanya!"

Kau sedikit menaikkan sebelah alismu seperti baru mengetahuinya. Oh apakah ini sebuah kejutan untukmu? Apakah profesi itu tidak rendah seperti kebanyakan yang orang anggap sebagai profesi termiskin? Atau apakah kau sudah lupa tentang pertanyaanku dulu?

Aku pernah mengatakannya padamu, kalau profesi ini paling dianggap rendah karena tidak banyak menghasilkan pundi-pundi uang. Bahkan aku sempat menanyakan, apakah profesi yang paling pas untukku? Kau rupanya benar-benar sudah lupa.

Mungkin karena aku tidak pernah menjadi orang istimewah dalam hidupmu.

"Nama penamu apa? Kau tahu novelis Rena Relnata? Dia penulis hebat!"

"Rena?"

Aku sedikit mengerutkan kedua alis, meski jujur saat itu aku sudah langsung menahan tawa. Entah dari mana engkau bisa tahu nama itu.

"Hemm ... kau suka sastra atau ilmiah?" tuturmu akhirnya. Sepertinya kamu baru sadar, mungkin sedikit memastikan kalau kau tidak salah bertanya. Di benakmu barangkali kau menduga aku tidak tahu siapa penulis yang kau sebutkan tadi.

"Aku suka sastra."

"Oh, terus apa kau tahu Rena? Dia masih penulis pemula, tapi dia penulis hebat. Tulisannya selalu menginspirasi. Banyak hal-hal yang dianggap biasa, tapi akhirnya bukan sepele lagi setelah baca karyanya."

"Kau penyuka karyanya?"

"Tentu saja. Aku bahkan pengagumnya."

Sungguh, aku seperti terbang di udara setelah mendengar katamu saat itu. Dunia seperti berbalik padaku, dulu aku yang menjadi pengagum rahasiamu, tapi lihatlah, sekarang?

"Hem ... sejak kapan kau suka karyanya?"

"Sejak aku merasa bosan dan iseng. Lebih tepatnya saat istriku jarang di rumah, dia sibuk dan yang merawatku hanya pembantu."

Matamu meredup lagi, lalu mengalir saja cerita-cerita tentang istrimu. Perempuan yang pernah menjadi idola di SMA kita itu, katamu sekarang ada di luar kota. Oh ya aku paham, mungkin kau sedang kesepian. Aku bersedia menemanimu bahkan jika kau butuh bahu untuk bersandar.

Setelah lama berbincang, kuakhiri perjumpaan kita dengan memberimu buku berjudul "Kunang-kunang di Matamu". Itu karyaku sendiri dengan nama pena yang sama, tapi sempat membuatmu bingung.

"Itu karangan Rena, masih cetak di redaksi. Tapi tak apalah aku berikan dulu padamu. Karena kau salah satu fansnya, Rena pasti tidak keberatan, apalagi jika aku sendiri yang bilang padanya."

"Oh ya, kau kenal dia?"

"Dia sepupuku!"

"Benarkah? Bisa kau beri aku kontaknya?"

Tanpa berpikir aku sudah memberimu kontak Rena, diikuti dadaku yang seperti dipenuhi drum bergulir.

Kau rupanya langsung mengeceknya dengan menghubungi nomor yang aku berikan. Nada dering yang terdengar berkali-kali sempat membuatku tergagap, dan kau sampai melirikku curiga. Kau bahkan dengan berani mengambil hp-ku saat aku sudah memutuskan untuk pergi.

Matamu kemudian terbelalak dan pertanyaan beruntun lalu membanjiriku.

"Kenapa nomer Rena bisa sama denganmu? Apa itu benar nomer Rena? Apa kau hanya ingin dekat denganku, lalu sengaja ingin menipuku dengan pura-pura menjadi dia?"

Itu salah satu pertanyaanmu yang kemudian membuatku hampir tertawa saat itu juga. Kudiamkan beberapa saat, lalu kuberikan kau kartu undangan seminar.

"Itu undangan seminar yang akan Rena hadiri, kau akan bertemu dengannya di sana," ujarku kemudian langsung meninggalkanmu.

Kau akan menjauh, berhenti mengagumi, atau setidaknya tetap hanya menjadi pengagum tulisanku. Hanya pikiran itu yang sempat terlintas dalam benakku, saat kau ternyata benar-benar hadir dalam seminar. Kau sempat ternganga, tapi aku tahu senyum simpul kemudian menghiasi bibir ranummu.

"Kau Rena rupanya, kenapa seperti bermain teka-teki dan tidak mengatakannya secara langsung?" ujarmu setelah berhasil menemuiku, kau bahkan nekat sampai malam menungguiku yang habis seminar masih menemui beberapa orang.

"Rena tak suka terus terang, ia lebih suka orang paham tanpa harus dikatakan secara langsung."

Kau hanya tersenyum, lalu setelahnya Chat darimu membanjiri WA-ku.

[pagi, Ren?]

[Sudah makan belum, Ren?]

[Bagaimana dengan tulisanmu, Ren?]

[Jangan terus begadang, jaga kesehatan juga, Ren.]

Selalu nama Rena. Aku makin suka nama itu, meski kau mungkin belum tahu, nama penaku sendiri diambil dari nama kita

Rere dan Nana sebagai namamu dan namaku.

****

Mengenalmu ternyata setelahnya cukup menyenangkan. Kau tidak seangkuh yang aku pikir dulu, kau kadang humoris dan bisa sedikit nakal.

Diawali tanganmu yang pertama kali meremas kepala karena kesal dengan istrimu, kau kemudian beralih meremas tanganku, mengusapnya lembut seolah kau tengah meminta tangan yang kau sentuh itu untuk memberinya kekuatan.

Aku tidak perlu sebenarnya engkau minta, Re. Tanpa isyarat itu, kerlingan matamu sudah cukup membuatku paham apa keinginanmu kala itu. Hanya saja aku masih terlampau takut untuk bertindak lebih jauh bila ingat statusmu.

Tapi kau rupanya tidak peduli dengan semuanya, setelah meremasnya dan mengusapnya lembut, kau lalu menempelkan bibir ranummu pada pipiku. Lalu pada bagian leher, dada, dan aku sudah tak ingat lagi karena setelahnya mulai saat itulah aku sudah jadi kunang-kunang yang menerangi sisi gelap dalam kesendirianmu.

"Aku sudah bosan seperti ini terus!"

Kau menegaskan kalimatmu. Aku tersadar, menyenderkan kepala di bahu yang memperlihatkan dada bidangmu. Aku suka bahumu sudah berisi lagi. Tak seperti ketika kita bertemu dalam Reuni.

"Aku akan menikahimu. Aku butuh kamu, bukan dia yang selalu sibuk," terangmu tanpa minta persetujuan.

Aku diam saja, tapi bibir yang tersenyum jelas mengartikan bahwa aku sangat setuju dengan niatmu. Entah apakah kamu sedang serius atau tidak, tapi aku tidak terlalu peduli. Menjadi kunang-kunang saat malam pun aku siap selama kau memintanya.

Itu hal paling terbodoh yang mungkin bagi sebagian orang pikir, atau barangkali bisa dinilai sebagai perebut suami orangseperti yang sering mereka kenal dengan sebutan pelakor. Tapi sudahlah, aku juga tak peduli. Aku hidup atas keinginanku sendiri bukan berdasarkan perkataan orang lain, dan bersamamu adalah pilihanku. Meski itu, hanya sebatas menjadi kunang-kunang.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku