Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Ardi duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke layar televisi yang memutar acara tanpa suara. Di tangannya, segelas kopi yang sudah dingin sejak satu jam lalu. Malam itu, rumah yang biasanya terasa nyaman mendadak dingin, sepi, dan berjarak. Sejak beberapa bulan terakhir, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari pernikahannya dengan Maya. Sesuatu yang pernah membuat hatinya penuh, kini terasa hampa.
Tak lama kemudian, Maya muncul dari dapur, membawa tumpukan cucian yang harus dilipat. Ia berjalan melintas tanpa menoleh ke arah Ardi, hanya menyibukkan diri dengan rutinitas yang tak pernah berakhir. Setiap langkah Maya terdengar seperti gema di dalam keheningan yang tak terucapkan. Rasanya semakin jauh, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka berdua.
"Sayang, bisa kita bicara sebentar?" tanya Ardi akhirnya, mengumpulkan keberanian. Suaranya rendah, nyaris tenggelam di tengah-tengah sunyi.
Maya berhenti melipat baju dan menatapnya sejenak dengan ekspresi datar. "Tentang apa lagi, Ardi? Aku sudah terlalu lelah malam ini."
"Tentang... kita," jawab Ardi, mencoba mengungkapkan apa yang terasa memberatkan dadanya. "Kamu nggak merasa kita... ya, kita berdua... sudah nggak seperti dulu lagi?"
Maya mendesah panjang, lalu duduk di kursi di seberangnya. Dia melipat tangannya di dada, tatapannya lurus dan dingin. "Mungkin karena kamu yang terlalu sibuk mencari kekurangan dalam hubungan kita."
Ardi terdiam sejenak, merasakan perih dari kata-kata Maya yang seolah mengiris. "Maya, aku cuma merasa ada yang hilang... perasaan yang dulu selalu membuat kita bahagia. Sekarang semua serba formal, seperti hanya rutinitas. Kita kayak... dua orang asing yang hidup dalam satu atap."
Maya hanya mengangguk pelan, tatapannya masih sama. "Mungkin memang begitu, Ardi. Mungkin... kita hanya sedang menjalani bagian yang sulit dari pernikahan. Semua orang juga pasti merasakannya."
"Tapi, Maya, aku rindu dengan kamu yang dulu. Yang selalu tersenyum waktu aku pulang, yang selalu berbagi cerita sebelum tidur." Ardi menatap Maya penuh harap, namun yang ia dapatkan hanyalah ekspresi lelah dan datar dari istrinya.
Maya menghela napas, lalu menundukkan kepala, menatap jemarinya yang saling bertaut. "Ardi, aku juga lelah. Aku punya banyak hal yang harus kupikirkan setiap hari. Anak-anak, pekerjaan, rumah ini... semuanya membuat aku hampir nggak punya waktu untuk diriku sendiri, apalagi untuk hubungan ini."
Mendengar itu, Ardi merasakan kekecewaan yang mendalam. Bukan hanya karena penjelasan Maya, tetapi karena betapa jauhnya mereka telah melangkah dari apa yang dulu ia impikan tentang pernikahan. Pernikahan yang seharusnya penuh cinta dan dukungan kini terasa seperti beban yang harus dipikul tanpa rasa bahagia.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ardi, suaranya pelan dan penuh keputusasaan. "Aku nggak mau terus hidup begini, tanpa rasa... tanpa cinta."
Maya menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab. "Aku nggak tahu, Ardi. Mungkin kita hanya perlu... memberi waktu. Mungkin semuanya akan kembali seperti semula, atau mungkin kita memang harus belajar menerima bahwa pernikahan nggak selalu seperti yang kita bayangkan."
Ardi terdiam. Kata-kata Maya seakan menegaskan ketakutan terbesarnya: bahwa mereka sudah kehilangan sesuatu yang tak mungkin kembali. Tanpa sepatah kata lagi, Ardi bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar. Ia meninggalkan Maya sendirian di ruang tamu, kembali pada tumpukan pakaian yang belum selesai ia lipat.
Di dalam kamar, Ardi berbaring sambil menatap langit-langit, matanya basah oleh rasa kecewa dan kesepian yang menggumpal. Di pikirannya, muncul kenangan masa lalu-saat-saat mereka pertama kali bertemu, kencan-kencan sederhana yang selalu penuh tawa, janji yang mereka buat di altar, semua terasa begitu jauh dan memudar.
"Kenapa harus seperti ini?" gumam Ardi pada dirinya sendiri, suara yang hanya terdengar dalam kegelapan. "Kenapa kita harus berubah?"
Namun, tak ada jawaban yang datang. Hanya sunyi yang semakin menggulung perasaannya, menenggelamkannya dalam keraguan tentang pernikahannya sendiri.
Ardi berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya terlalu penuh. Wajah Maya, dengan tatapan datarnya tadi, terus terbayang dalam ingatannya. Sejak kapan semuanya berubah? Sejak kapan mereka tak lagi saling berbagi tawa?
Ardi bangkit, membuka jendela kamarnya. Malam itu begitu tenang, hanya terdengar suara serangga di luar. Ia menghirup napas dalam-dalam, seakan mencari ketenangan dalam udara malam. Namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan yang tak kunjung pergi.
Tiba-tiba, ada bunyi pelan dari ruang tamu-seperti suara cangkir yang diletakkan di atas meja. Ardi menutup jendela, melangkah keluar kamar dan melihat Maya masih duduk di sana, menatap kosong ke arah cangkir teh yang sudah setengah dingin. Tanpa sadar, kakinya membawanya ke ruang tamu.
"Maya..." panggil Ardi pelan.
Maya mengangkat wajahnya, terlihat terkejut, namun hanya sebentar. Wajahnya kembali datar, bahkan sedikit lelah.
"Kenapa belum tidur?" tanya Maya, nadanya datar tapi mengandung rasa peduli yang samar.
Ardi tersenyum kecil, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. "Aku juga bisa tanya hal yang sama."