Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jangan Ambil Papaku
5.0
Komentar
156
Penayangan
5
Bab

Bertha yang selalu melihat pertengkaran orang tuanya, memilih pergi ke sekolah berasrama untuk menghindar. Kepergian sang anak, tak membuat papa Bertha sadar dari kesalahannya, tapi malah membuatnya semakin menjadi-jadi. Wanita Lintah, selingkuhan papa Bertha yang sudah berbadan dua, dibawa tinggal di rumah dan menempati kamar Bertha. Geram dengan ulah sang Papa, membuat Bertha nekad membuat si Wanita Lintah menderita. Berhasilkah Bertha? Simak terus di 'Jangan Ambil Papaku.'

Bab 1 Pertama

"Bertha, kenalkan! Ini Bunda."

DAMH...

Duniaku rasanya runtuh seketika. Ingin sekali aku berteriak dan mencakar wanita yang baru saja diperkenalkan Papa dengan panggilan Bunda. Wanita dengan dandanan menor dan norak, yang sedari tadi menempel bagai lintah di lengan Papaku.

"KENAPA KAMU DIAM, AYO SINI! KENALAN SAMA BUNDA! KASIH TANGAN!" pekik Papa yang membuat beberapa temanku menoleh dengan pandangan entah.

Entah bagaimana tampilan wajahku saat ini, aku merasa sangat malu. Papa sudah mempermalukan aku di depan teman-teman ku. Mereka semua segera memandang sinis ke arahku, bahkan ada yang terang-terangan mencibir.

Dengan langkah lambat, aku mendekat pada Papa, mencium tangannya sekilas, hanya sebagai penghormatan kalau dia adalah papaku, lelaki yang menjadi penyebab aku lahir ke dunia ini.

Enggan ku cium juga tangan wanita yang harus ku panggil Bunda itu. Hanya karena aku tak mau Papa menganggapku sebagai seorang anak yang durhaka. Wanita itu memandangku jijik, dan cepat-cepat menarik tangannya.

"Mama kamu gak ke sini?" tanya Papa sambil memandangku tajam.

"Enggak, Pa." Aku cuma menjawab singkat. Lagi-lagi hanya demi kesopanan. Kalau boleh memilih, justru aku tak mau menjawab sama sekali.

"Pasti mamamu sedang pergi dengan laki-laki itu, makanya gak ke sini menenggokmu. Heran, kok ada gitu seorang ibu melupakan anaknya begitu saja, dan lebih memilih mengejar laki-laki," kata Papa sambil tersenyum miring.

STOP

Berhenti menjelekkan mamaku. Dia itu wanita paling mulia yang pernah ku kenal. Tak sekalipun Mama melakukan hal yang seperti Papa tuduhkan. Mama perempuan yang setia. Setia pada Papa. Tapi Papa yang malah berselingkuh dengan perempuan menor itu.

Tentu saja aku hanya bisa protes dalam hati. Kalau semua kata-kata itu sampai lolos ke bibirku, pastilah kelima jari Papa sudah membuat jejak merah di pipiku yang putih ini.

Perempuan menor itu segera melengkingkan tawa mendengar ucapan Papa. Ya, melengking. Karena suara tawa perempuan itu, mirip sekali dengan suara tawa Mbak Kunti yang sering ku lihat di tayangan film horor televisi. Dulu, waktu aku masih tinggal di rumah, bersama keluarga bahagiaku.

"Ya sudah, Papa pulang dulu. Bundamu sudah kelihatan lelah, butuh istirahat. Seharian bundamu menemani Papa bekerja. Cari duit. Buat kamu dan adik-adikmu."

Aku hanya mengangguk, malas untuk menjawab dengan perkataan. Ku lihat Papa merogoh ke dalam saku belakang celananya, tempat dia biasa meletakkan dompet. Aku sudah sedikit merasa senang, Papa akan memberiku uang. Uang saku yang diberi oleh Mama dua minggu lalu, sudah menipis. Mungkin hanya cukup untuk kebutuhanku beberapa hari ke depan saja.

Apa-apaan ini? Ternyata Papa hanya mengeluarkan selembar sapu tangan, untuk mengelap keringatnya. Tapi aku masih berharap, Papa memberiku uang saku. Mungkin ditaruh di dalam tas kecil, yang disandang oleh papaku.

Lelaki itu sudah beranjak, dengan Wanita menor itu menempel bagai lintah. Aku hampir tak percaya dengan semua ini, papaku tak memberiku uang saku sepeserpun.

"PA! Papa belum memberiku uang saku," seruku takut-takut.

Papa kembali menoleh, demikian juga Wanita lintah itu. Pandangan Papa ke arahku, tidak seperti yang lalu-lalu. Kalau dulu, pandangan Papa selalu lembut dan penuh kasih sayang, kepadaku dan juga dua adikku, sekarang pandangan itu berubah jadi pandangan bengis dan kejam.

"Kamu minta uang saku ke Papa? Gak salah dengar kan papamu ini? Kan kamu pasti sudah dikasih sama mamamu, kenapa masih minta ke Papa? Jangan boros! Kalau kamu masih mau sekolah. Lagian ini sekolah berasrama, bayar di sini sudah mahal. Jadi kamu harus berhemat. Sadar diri, jangan berlagak jadi anak orang kaya seperti teman-temanmu di sini. Kamu berbeda. Mereka memang anak orang kaya, kalau kamu kan cuma anak orang sederhana."

Hah? Ini beneran papaku? Atau orang lain yang berwajah mirip Papa? Papaku tak pernah sebawel dan sepelit ini pada anak-anak nya. Apa karena Wanita lintah itu, papaku jadi berubah? Aku tak pernah tau.

"Ta ... tapi, Pa. Mama hanya memberi uang lima ratus ribu, itupun dua minggu lalu. Mana cukup untuk kebutuhan ku selama sebulan," kataku lirih.

"Itu bukan urusan Papa, urusan mamamu itu. Buat apa dia kerja siang malam, kalau memberimu uang saku saja tak mampu. Pasti uang mamamu habis untuk laki-laki itu."

Papa semakin bawel, dan lagi-lagi menyebut lelaki itu. Lelaki siapa yang dia maksud, aku tak pernah tau, bahkan tak pernah pengen tau juga. Satu-satunya keinginanku saat ini, Papa memberiku uang saku, titik.

"Ta ... tapi, Pa? Mama kan sudah---"

"Gak ada tapi-tapian. Papa gak mau kasih kamu uang saku, itu urusan mamamu. Papa pamit. Baik-baik kamu belajar di sini! Ingat, ini sekolah mahal! Sekolah yang dipilih oleh mamamu yang sok kaya itu."

Aku melirik ke arah Wanita lintah itu. Ku lihat dia menahan tawa melihat wajah kecutku. Aku jadi muak padanya. Bisa-bisanya Wanita lintah itu mencuci otak papaku. Papaku banyak berubah sekarang. Seratus delapan puluh derajat, dari sikap papaku sebelumnya. Dasar Wanita lintah kurang ajar.

Kembali Papa beranjak pergi dengan wanita itu yang menempel seperti lintah. Aku hanya melihat kepergiannya dengan berdiri di sini, di pendopo yang menjadi tempat kunjungan orang tua pada anaknya yang menimba ilmu di sekolah berasrama ini. Aku malas mengantar papaku sampai ke parkiran seperti biasa. Buat apa? Percuma kan? Toh dia tak mau memberiku uang saku.

Dengan langkah gontai, aku kembali ke kamarku di asrama. Kamar yang kutempati bersama ketiga teman ku. Mereka belum kembali ke kamar. Pasti masih menikmati momen berkumpul dengan keluarga.

Di hari libur seperti ini, kami memang boleh dijengguk dan diajak jalan-jalan keluar dari asrama. Dulu keluargaku juga begitu. Mama, Papa dan kedua adikku, datang menjenguk ku ke sini, lalu kami sekeluarga akan jalan-jalan ke tempat rekreasi yang ada di sekitar tempat ini.

Tapi itu dulu, beberapa bulan yang lalu. Sebelum ku dengar kabar paling mengejutkan dari Mama, kalau Papa ternyata sudah selingkuh, dan hidup kumpul kebo dengan wanita selingkuhannya itu. Ya, Wanita lintah itu.

Hari ini aku baru melihat wujudnya. Wujud Wanita lintah yang sudah memporak porandakan keluargaku. Mencuci otak papaku, dan menguasainya. Wujudnya tak lebih cantik dari mamaku. Jauh. Mamaku tetap cantik dan anggun dengan kesederhanaannya, berbanding terbalik dengan Wanita lintah yang selalu berdandan menor tapi jauh dari kata cantik. Perbandingan mereka, ibarat langit dengan bumi.

Aku hanya bisa menelungkup wajahku ke dalam bantal yang kini meredam tangisku. Mumpung aku sedang sendirian, akan ku puaskan diriku untuk menangis. Agar nanti, setelah teman-teman kembali, aku bisa memasang senyum palsu, untuk menutupi dukaku.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku