Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Sejati Untuk Rani

Cinta Sejati Untuk Rani

Nikhoy

5.0
Komentar
13
Penayangan
6
Bab

"Akan ada orang-orang yang memaknai sebuah kehilangan dengan caranya sendiri." ~Putri Maharani~ ___ Usai pernikahan yang terjadi antara Rani dan Angga. Mulanya semua berjalan sangat baik. Namun begitu sebuah rahasia terungkap tentang sebuah penyakit yang diderita oleh Raka. Membuat segalanya menjadi rumit. Rani terisak haru saat mengetahui sosok orang yang menjadi cinta pertamanya ternyata memiliki penyakit yang mematikan. Apalagi begitu ia mengetahui bahwa ternyata cintanya pada Raka sejak kecil tak pernah bertepuk sebelah tangan. Namun apa yang harus ia lakukan saat kenyataan itu malah terungkap setelah ia resmi menjadi milik orang lain yang tidak lain adalah seseorang yang juga mulai ia cintai? Bimbang, ragu dan bingung yang menggambarkan perasaan Rani kala itu. Apakah ia harus berlari pada cinta pertamanya? atau tetap bersama dengan seseorang yang kini telah resmi menjadi suaminya? Manakah yang akan Rani pilih? Mari kita simak kisah cinta mereka bertiga selanjutnya dengan menambahkan cerita ini ke dalam perpustakaan anda!

Bab 1 Terpaksa membunuh rasa

Kamu menyukai buku, dan aku pun ikut menyukai itu.

Kamu menyukai senja, aku pun ikut menyukai.

Kamu menyukai pantai, aku punya ikut menyukai.

Kamu yang selalu mengalah, aku pun selalu mencoba mengalah pada kehidupan dan siapapun.

Kamu yang selalu membahagiakan orang-orang di sekitarmu, aku pun ikut berusaha membahagiakan orang-orang di sekitarku.

Kamu yang selalu ceria dan tertawa, aku pun ikut berusaha seperti itu.

Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mengikutimu yang selalu terlihat baik-baik saja.

Aku tidak tahu caranya menyimpan rasa sepertimu.

Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk ikhlas menerima beragam takdir dalam hidup sepertimu.

Aku tidak pernah tahu caranya menjadi sebijak kamu.

Dan kali ini, takdir kembali mempermainkan kita.

Apa yang harus aku lakukan?

Saat perasaan yang selama ini ku rawat dan jaga sepenuh hati ternyata tak pernah bertepuk sebelah tangan.

Berlari padamu? ataukah tetap bersamanya?

~Putri Maharani~

Aku menyukai tawamu.

Aku menyukai semua ekspresi wajahmu.

Aku menyukai setiap kata yang keluar dari bibirmu.

Aku menyukai segala hal tentangmu tanpa terkecuali kekuranganmu.

Tapi, aku membenci keadaan dan takdirku.

Aku membenci diriku sendiri yang selalu menjadi pengecut di depanmu.

Aku membenci rasa yang hadir untukmu tanpa pernah dapat ku ungkapkan.

Aku membenci kelemahanku ini.

Dan di saat-saat terakhirku menatap dunia, hanya satu pintaku padamu.

Tetaplah baik-baik saja meski tanpa diriku lagi di sampingmu!

Tetap tersenyum semanis itu!

Tetaplah tertawa selepas mungkin!

Karena aku akan selalu bahagia melihatmu bahagia.

Jadi, berbahagialah. Meski tanpaku.

~Attaraka Firmansyah~

>>>>

"Semesta pernah berkata bahwa suatu hari nanti. Kita akan mengerti bahwa melawan ego diri sendiri itu dengan cara tidak menuntut apapun tentang sebuah perasaan."

~Putri Maharani~

___

Bel nyaring terdengar menggema di seluruh penjuru sekolah. Seorang bocah laki-laki itu bergegas keluar kelas. Menghampiri sebuah kelas yang hanya berjarak beberapa meter saja dari kelasnya.

Sejak tadi, ia sudah menunggu tidak sabaran bel itu berbunyi hanya demi menemui gadis kecilnya. Ia tidak pernah mau sampai membuat gadis kecilnya itu menunggu. Tidak akan pernah.

"Duluan ya, Ran." Seorang gadis dengan rambut sebahu itu melambaikan tangan pada Rani begitu melihat sosok bocah laki-laki berdiri diambang pintu. Ia lalu berjalan keluar kelas lebih dulu meninggalkan teman sebangkunya yang masih repot memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas."Nunggu Rani ya Kak?"

Bocah laki-laki itu mengangguk sekilas dan tersenyum ramah.

"Yuk pulang!" Bocah itu tersenyum manis diambang pintu kelas gadis kecilnya.

Kelas itu sudah mulai terlihat sepi. Hanya tersisa beberapa murid di dalam kelas yang sedang memasukkan alat tulis mereka ke dalam tas.

"Tadi buku gambar aku ketinggalan. Terus di suruh berdiri di depan kelas sama Bu Titi selama satu jam." Curhat gadis kecil itu sambil menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai. Merasa pegal-pegal. Mereka berjalan beriringan di antar lorong sekolah menuju parkiran. Memang, Rani sebenarnya bisa memakai bahasa sunda. Tapi Raka yang selalu pengertian itu tidak mau ambil pusing untuk berbicara mengunakan bahasa sunda dengan Rani yang notabenenya berbicara bahasa indo saja sudah loading. Apalagi menggunakan bahasa sunda yang belum sepenuhnya di kuasai. Jadi, Raka memilih cara aman saja. Dengan meminta Rani berbicara bahasa indo saat bersamanya. Raka sama sekali tidak keberatan.

"Kenapa nggak ke kelas? Kan bisa pinjem punyaku dulu."

"Ihh, nggak bisa lah. Gambaran Kak Raka itu bagus banget. Sedangkan punyaku? Cuma coret-coretan nggak jelas." Terdengar helaan napas dari gadis kecil di sampingnya itu membuat Bocah bernama Raka tersenyum.

"Maka nya lain kali jangan sampe ketinggalan lagi! Hukuman yang kamu dapet hari ini harus bikin kamu jerah dan disiplin buat kedepannya." Masih dengan tersenyum Bocah itu menasehati gadis kecil tersebut dengan sabar.

"Kak Raka kayak nggak tau aku aja." Gadis kecil itu memanyunkan bibirnya kesal.

"Maka nya berubah dong!" Bocah itu tertawa seraya menoel pelan hidung gadis kecil tersebut.

"Ya kalo udah kayak gini mau diapain?"

"Di ubah."

"Enggak segampang itu."

"Pasti bisa."

"Kalo enggak bisa?" gadis kecil itu bertanya sambil mendongak menatap bocah disampingnya ini.

"Harus bisa!"

"Hffttt..."

"Jangan menyerah sebelum mencoba!" Bocah itu kian tersenyum manis.

"Aku bukan Kak Raka."

"Siapa bilang kamu itu aku? Kamu ini Rani. Si tuper yang nggak pernah bisa ngendaliin diri sendiri." Raka berlarian kecil begitu Rani hendak memukul bahunya kesal.

Hingga sampai dipelataran parkiran sekolah. Mereka akhirnya berhenti saling kejar-mengejar dengan Raka yang mengalah dan pasrah saja saat Rani menghujami bahunya dengan pukulan yang tak terlalu keras.

"Udah, dong. Sakit...." Raka pura-pura meringis pelan.

Rani akhirnya berhenti memukuli bahu Raka. Ia masih kesal, sedikit. Raka sudah sering mengerjai dan mengatainya seperti tadi.

"Ayo, naik per!" titah Raka pada Rani yang tak kunjung menaiki sepedanya. Seperti biasa. Setiap berangkat dan pulang sekolah. Selalu Raka yang memboncengi Rani dengan sepedanya. Meski sebenarnya Rani mampu memakai sepeda sendiri. Tapi Ayah gadis itu selalu khawatir. Hingga memilih memasrahkan Rani pada Raka. Takut kalau-kalau Rani yang membawa sepeda sendiri akan terjatuh untuk yang kesekian kalinya.

"Hei, ayo naik!" Raka menoleh ke arah Rani yang masih saja bungkam di tempatnya berdiri.

"Aku tinggal ya?" ancam Raka sambil bersiap menggoes sepedanya.

"Eehh...." Rani gelagapan dan refleks memegangi sepeda Raka.

"Ck, sok-sok ngambek segala." Raka terkikik pelan saat menyadari Rani sudah terduduk manis di belakangnya.

"Diem Kak Raka! Harusnya tadi Kak Raka bujuk aku. Bukan malah mau ninggalin." Sungut Rani.

"Oh gitu ya. Kamu nggak bilang sih." Raka menahan senyumnya.

"Tauk ah." Rani kian mengerucutkan bibirnya kesal.

Siang hari di kota Bandung terasa menenangkan. Awan terlihat bergumpalan pertanda hujan akan segera datang.

"Ran."

"Hm..."

"Nanti pas aku pergi ke Jakarta. Kamu pulangnya harus nungguin Ayah kamu ya. Jangan pulang sendiri! Bahaya. Ngerti?"

"Perginya lama ya?"

"Enggak tau."

Tanpa Raka sadari Rani kini menunduk sedih.

"Mau dibawain oleh-oleh apa?" Raka berusaha mengganti topik lain agar Rani tidak merasa sedih lagi.

"Nggak usah bawa oleh-oleh nggak papa kok. Cukup Kak Raka pulang cepet aja Rani udah seneng." Kata Rani sambil menyengir lebar memamerkan sederetan giginya yang putih dan rapi.

"Beneran nggak mau oleh-oleh? Nanti pas aku beneran nggak bawain oleh-oleh, kamu ngambek lagi."

"Hehe." Rani nyengir lagi.

"Dasar kamu ya." Raka gemas sekali ingin mencubit pipi Rani jika saja dirinya saat ini tidak sedang dalam keadaan membawa sepeda.

"Kapan ya aku bisa ke Jakarta?" renung Rani.

"Nanti."

"Kapan?"

"Nanti, Ran." Raka tersenyum kecil.

Setelah itu hening. Tidak ada percakapan lagi antara Raka dan Rani bahkan sampai begitu Raka tiba di depan rumah gadis kecil itu.

Baik Raka dan Rani sibuk bergelut dengan pikiran mereka masing-masing. Seperti semacam pemikiran takut kehilangan. Takut rindu dan takut tak dapat berjumpa lagi.

Namun, tak ada satupun yang berani mengatakan diantara mereka. Keduanya sama-sama bungkam. Berharap semoga semesta akan mampu menjelaskan dan menjabarkan semua isi pemikiran keduanya. Agar dapat saling memahami.

Yah, semesta pasti dapat menjelaskan semua itu.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku