/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
Jakarta. Nama itu terdengar seperti sihir di telinga Risa, janji akan awal yang baru, tempat di mana kepingan masa lalu yang hilang mungkin bisa ditemukan. Dengan ransel usang di punggung dan hati penuh debar, Risa melangkah keluar dari Stasiun Pasar Senen. Udara ibu kota terasa lebih panas dan lebih padat dari yang ia bayangkan, namun semangatnya tak surut. Di tangan kanannya, ia menggenggam erat selembar foto buram dari panti asuhan-potret sepasang suami istri dengan senyum samar yang mungkin adalah orang tua kandungnya.
Di saku bajunya, terlipat rapi secarik surat tua yang menyebutkan sebuah alamat di sudut Jakarta Selatan. Itulah satu-satunya petunjuk yang ia miliki, satu-satunya benang merah menuju akar dirinya.
Sudah dua puluh tahun Risa hidup tanpa pernah mengenal wajah kedua orang tuanya. Dibesarkan di panti asuhan sederhana di kaki Gunung Salak, ia tumbuh menjadi gadis desa yang lugu, namun memiliki tekad sekuat baja. Cita-citanya sederhana: menemukan keluarganya, lalu bekerja keras agar bisa hidup mandiri dan membalas budi pada Bu Retno, pengasuh panti yang sudah seperti ibunya. Kini, impian itu terasa begitu dekat.
"Risa!"
Sebuah suara melengking memecah keramaian. Risa menoleh, dan senyum lebar langsung mengembang di bibirnya saat melihat sosok Maya melambai-lambai di antara kerumunan. Maya, sahabatnya sejak kecil, tetangga di desa, yang setahun lalu sudah lebih dulu merantau ke Jakarta. Maya terlihat jauh lebih modis dengan celana jins ketat, blus modern, dan riasan tebal di wajahnya. Ada aura kota yang memancar darinya, sesuatu yang membuat Risa merasa sedikit minder dengan kemeja katun lusuh dan sandal jepitnya.
"Maya!" Risa berseru gembira, bergegas menghampiri. Mereka berpelukan erat, tawa Risa pecah dalam pelukan hangat Maya. Aroma parfum Maya yang kuat menyeruak, menusuk hidung Risa, sedikit berbeda dengan wangi bunga melati yang biasa ia hirup di desanya.
"Astaga, Risa! Akhirnya sampai juga! Gimana perjalananmu? Capek banget, ya?" tanya Maya dengan nada ceria yang Risa rindukan.
Risa mengangguk, melepaskan pelukan. "Lumayan, May. Tapi senang banget bisa ketemu kamu. Kamu apa kabar? Kelihatan sukses banget, loh!" pujinya tulus, mengamati penampilan Maya yang begitu berbeda.
Maya terkekeh, mengibaskan tangannya. "Ah, biasa aja kali. Jakarta memang begini, Ris. Harus pintar-pintar cari celah." Matanya berbinar, sorotnya sedikit sulit diartikan oleh Risa. "Yuk, kita langsung ke tempat kosmu aja. Pasti capek banget kan habis naik bus seharian?"
Risa mengangguk setuju. Ia menyerahkan tas ranselnya yang berat pada Maya. Maya dengan sigap mengambilnya, seolah sudah terbiasa membawa barang berat. Mereka melangkah beriringan keluar dari stasiun, menembus lautan manusia dan hiruk pikuk klakson kendaraan. Jakarta terasa begitu asing dan mendebarkan. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, seolah menusuk awan, dan lalu lintas tak pernah berhenti bergerak. Risa terkesima, matanya tak henti-hentinya menatap sekeliling.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan taksi online-yang juga pengalaman pertama bagi Risa-mereka tiba di sebuah area yang tampak lebih ramai dan modern. Lampu-lampu kelap-kelip dari gedung-gedung tinggi membius mata Risa.
"Apa ini tempat kosnya, May?" tanya Risa polos, menatap sebuah bangunan tinggi dengan fasad kaca yang memantulkan cahaya lampu kota, dihiasi tulisan-tulisan neon yang menyala terang. Suara musik dentuman keras samar-samar terdengar dari dalamnya. Jauh berbeda dari bayangannya tentang kos-kosan sederhana seperti di sinetron.
Maya tersenyum miring, senyum yang entah mengapa membuat Risa sedikit tidak nyaman. Ada sesuatu yang Risa tidak mengerti dari senyum itu. "Iya, Ris. Tapi sebelum itu, kita makan dulu, ya? Ada bos yang mau kenalan. Sekalian bantu kamu cari kerja." Nada suara Maya terdengar meyakinkan, penuh persahabatan, sehingga Risa tak sedikit pun menaruh curiga. Tawaran makan dan bantuan mencari kerja adalah tawaran yang tak bisa ia tolak. Ia memang sangat membutuhkan pekerjaan, secepatnya.
Naif dan lelah, Risa menuruti.
Mereka tidak pergi ke warung makan sederhana seperti yang Risa bayangkan. Maya justru membawanya masuk ke dalam bangunan itu. Semakin masuk, suara musik semakin menggelegar, lampu-lampu sorot berwarna-warni berputar liar, menyapu setiap sudut ruangan. Bau alkohol dan asap rokok tebal menusuk hidung Risa, membuat kepalanya sedikit pusing. Ini bukan tempat makan, pikir Risa. Ini adalah klub malam mewah.
Risa mulai merasa tidak nyaman. Ia menarik lengan Maya. "May, ini bukan tempat makan, kan? Ini tempat apa?" suaranya sedikit bergetar, khawatir.
Maya menoleh, tersenyum menenangkan. "Sstt, Risa. Jangan berisik. Ini memang klub, tapi di sini juga ada restorannya kok. Ini tempat keren, Ris. Bos aku sering makan di sini." Maya setengah menyeret Risa melewati kerumunan orang-orang yang menari dan berteriak, menuju ke sebuah area yang sedikit tersembunyi.
Mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan VIP yang kedap suara. Begitu pintu terbuka, Risa disambut pemandangan yang membuatnya terkesiap. Asap rokok mengepul tebal, memenuhi ruangan. Beberapa pria berjas mahal tertawa terbahak-bahak, sebagian lagi sibuk dengan ponsel mereka. Di tengah ruangan, ada meja panjang penuh dengan botol-botol minuman berwarna-warni dan gelas-gelas kosong.
"Nah, ini dia Risa!" Maya berseru riang. "Bos, kenalin ini Risa, teman lamaku dari kampung. Dia lagi cari kerja di Jakarta."
Seorang pria gemuk dengan kumis lebat yang duduk di ujung meja melambaikan tangannya. "Oh, ini toh Risa yang kamu ceritakan? Cantik juga ya," katanya, menatap Risa dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang membuat Risa merinding. Pria itu menyeringai, menampilkan gigi-gigi yang agak kuning. "Ayo, Risa, duduk di sini. Jangan sungkan. Minum dulu." Ia menggeser segelas minuman berwarna merah ke arah Risa.
Risa ragu-ragu. Ia tidak pernah minum alkohol seumur hidupnya. "Maaf, Pak, saya tidak minum," katanya pelan.
"Ah, jangan begitu! Sekali-kali saja, untuk perkenalan. Anggap saja ini minuman selamat datang di Jakarta," desak pria itu dengan nada yang tak bisa dibantah.
Maya menepuk bahu Risa, memberi isyarat agar ia menurut. "Ayo, Ris. Nggak apa-apa, sedikit saja. Biar lebih akrab."
Risa yang naif dan tak ingin mengecewakan, akhirnya meraih gelas itu dan menyesap sedikit. Rasanya pahit dan membakar tenggorokan, namun ada sensasi hangat yang menyebar di tubuhnya. Satu teguk, lalu teguk kedua, dan ketiga. Entah mengapa, ia merasa lebih rileks. Percakapan di sekitarnya mulai terdengar kurang jelas, dan kepalanya terasa ringan, seperti melayang.
/0/26541/coverorgin.jpg?v=0974991390297300d4dccd6cfd30b7c2&imageMogr2/format/webp)
/0/7843/coverorgin.jpg?v=fd5abd8393c59ee69f53adb1cf5258c0&imageMogr2/format/webp)
/0/21675/coverorgin.jpg?v=e2d95a314546d3c96b4e60fd341a1068&imageMogr2/format/webp)
/0/15407/coverorgin.jpg?v=eb52c08fedf92d47e98ef432bf8299d3&imageMogr2/format/webp)
/0/2577/coverorgin.jpg?v=6aec95d891445bca0fac94148f036350&imageMogr2/format/webp)
/0/19239/coverorgin.jpg?v=be300e83521b6b4a326118cd359263a8&imageMogr2/format/webp)
/0/3531/coverorgin.jpg?v=72d3cabea25da2ff51c0cb0a8bec0cae&imageMogr2/format/webp)
/0/16672/coverorgin.jpg?v=d87fa4f845b95b8f9e90e34b460bad5e&imageMogr2/format/webp)
/0/23465/coverorgin.jpg?v=620e7e5e48a104d4b5805f8e6b201091&imageMogr2/format/webp)
/0/5504/coverorgin.jpg?v=35ab9f0bd86b36561c076b646f879983&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)
/0/3577/coverorgin.jpg?v=9a10b40436f7abf9f3b857b8ccdd06e1&imageMogr2/format/webp)
/0/2271/coverorgin.jpg?v=cee7b8f96f143390feaac003409d6d7f&imageMogr2/format/webp)
/0/5790/coverorgin.jpg?v=9af903677fa8001e4c6d90e49bf62d0a&imageMogr2/format/webp)
/0/10720/coverorgin.jpg?v=26db13cb8316e205f96f641575c80282&imageMogr2/format/webp)
/0/29970/coverorgin.jpg?v=8468e320cc264639e38e064c33f62408&imageMogr2/format/webp)
/0/18495/coverorgin.jpg?v=fa722c6e46304d6306090e55dc99494a&imageMogr2/format/webp)
/0/16214/coverorgin.jpg?v=bd3cc26a627eb974d7232f0cb9cd42dc&imageMogr2/format/webp)