Namaku Nurmala, usiaku 19 tahun. Sedikit pun tak pernah kusangka, tujuanku merantau ke Jakarta untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga malah menjadi awal petaka dalam hidupku. Impian manis yang telah dirajut selama bertahun-tahun olehku dan tunanganku hancur karena perbuatan bejat anak majikanku. "Papa tidak mau tahu, pokoknya kamu harus tanggungjawab, nikahi Nurmala!" "Dia tidak hamil, kenapa harus dinikahi? Cukup berikan saja uang sebagai kompensasi."
POV NURMALA
Aku menyingkap tirai jendela. Kupandangi langit yang nampak mendung berkabut. Hujan mengguyur kota Jakarta, membasahi jalanan. Menciptakan suara gemericik di genangan air dan di atas genteng. Ranting pohon bergoyang-goyang mengikuti arah angin, dedaunan pun berguguran mengotori halaman rumah majikanku. Aku segera keluar dari kamar anak majikanku untuk membersihkan halaman rumah.
"Loh, antingku di mana?" Aku baru menyadari antingku hilang setelah sedetik keluar dari kamar majikanku. Aku berbalik, memasuki kamar itu lagi. Kutelusuri lantai kamar dan ranjang tapi tidak ada. Padahal tadi waktu aku membereskan kamar Den Alfian masih ada.
"Nah, ketemu." Hatiku lega, setelah 30 menit mencari akhirnya aku bisa melihat kilauan emas di kaki ranjang. Aku segera mengambilnya. "Masih rezekimu, Nurmala." gumamku pada diri sendiri sembari memungut antingku.
BRAAAAAKKKK
Baru saja ku raih antingku, aku di kejutkan dengan suara dentuman pintu yang memekakkan telinga di banting sangat keras oleh Den Alfian. Tubuhku langsung berdiri tegap. Aku takut dan merinding melihat tatapannya yang tajam. Pria yang selalu bersikap dingin berusia 27 tahun itu menyeringai, ada kilatan birahi di matanya.
DEG
Jantungku berdegup tak karuan ketika Den Alfian mengunci pintu kamarnya. Dia berjalan mendekatiku. Membuat aku gugup setengah mati, tubuhku gemetar hebat.
"Den sa-saya mau keluar. Tolong bu-buka pintunya." Dia tak menghiraukan perkataanku. Aku bergeser merapatkan tubuhku ke dinding untuk menjauhinya. Aku berlari secepat mungkin, tapi sebelum berhasil meraih pintu, langkahku tertahan. Dia mencengkram pergelangan tanganku dengan erat. Matanya gelap penuh dengan kilatan gairah. Aku berusaha melepaskan cekalannya.
"Tolooong hemmmm..." Aku menjerit dengan kencang. Namun, dia membekap mulutku dan menyeretku dengan paksa, lalu melemparku ke ranjang. Tangisku pecah kala itu juga. Air mataku tumpah, aku menangis tersedu-sedu dan memberontak memukuli dadanya, berusaha melepaskan diri. Dia tak peduli dengan tangisanku. Mata hatinya sudah tertutup kabut. Aku semakin kalut. Air mataku semakin deras mengucur di saat bibirnya sibuk menjelajah, satu tangannya mencekal kedua tanganku ke atas.
Kehormatan yang selama ini aku jaga telah hilang di renggut secara paksa. Kesucian telah direnggut oleh laki-laki biadab ini. Masa depanku hancur. Aku hanya bisa menangis meratapi nasibku, di bawahnya. Sebesar apapun aku memberontak percuma, kehormatanku telah hilang, tak akan bisa di perbaiki.
***
Matahari mulai bersembunyi dari peraduan, malam semakin pekat di iringi awan mendung. Suara guntur bersahut-sahutan. Langit gelap tak berbintang. Langit ikut menangis, menurunkan gumpalan hujan dengan volume besar. Aku mengerjapkan mata, perlahan mataku mulai terbuka. Mataku memindai setiap sudut kamar. Saat ini aku sudah berada di dalam kamarku dengan pakaian baru. Puing-puing ingatan kejadian lalu mulai bermunculan di ingatanku. Aku berharap apa yang aku alami hanyalah mimpi buruk belaka, tapi untuk sebuah mimpi itu terasa begitu nyata.
"Mbak, udah bangun," terdengar suara seseorang di sisi ranjangku. Aku menoleh dengan lemah. Ternyata Sarah, adik dari Alfian Laksmana. Dia tersenyum hangat padaku dengan mata yang sembab. Aku berusaha duduk dari tidurku walaupun kesulitan, badanku terasa remuk. Aku memegang bagian intiku, terasa sakit. Tenyata semua itu bukan mimpi, itu nyata terjadi. Air mataku kembali tumpah dengan deras. Ini terlalu menyakitkan, tangisku kembali pecah. Aku tidak menyangka akan mengalami hal senista Ini dalam hidupku. Angan-angan tentang masa depan, kini telah sirna hanya tertinggal rasa keputusasaan.
Dari luar kamar, terdengar perdebatan sengit antara anak dan orang tua. Membuat hatiku kian tersayat perih. Kebahagiaanku bagai di cincang dengan belati, hati dan kehormatanku hancur tak tersisa. Kejadian tadi benar-benar menghantam hatiku, hingga hancur menjadi puing-puing. Hatiku sakit, sakit sekali.
"Papa nggak mau tahu! Pokoknya kamu harus tanggung jawab! Kamu harus nikahin dia!" suara Pak Lukman terdengar lantang terdengar sampai ke kamar. Dari celah jendela, aku dapat melihat perseteruan anak dan orang itu.
"Dia nggak hamil. Kenapa harus tanggung jawab? Cukup beri uang sebagai kompensasi, beres 'kan! lagi pula, apa kata orang-orang dan kerabat kita nanti jika aku menikah dengan pembantu di rumah ini. Mau di taruh mana mukaku nanti." suara Alfian terdengar santai. Namun, terasa sangat menyakitkan di hatiku. Tega sekali Alfian menyamakanku dengan wanita murahan. Setelah apa yang ia lakukan padaku, tak nampak ia menyimpan penyesalan walau hanya secuil.
"Alfian, jaga bicara kamu. Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk jadi pecundang dan bajingan yang tak tahu diri. Harusnya kamu pikirkan dulu konsekuensi yang kamu lakukan sebelum memperk*sa anak orang." Pak Lukman semakin meraung. ia terlihat begitu murka pada anaknya yang bajingan itu.
"Dia cuma pembantu, Pa. Kenapa kalian terlalu membesar-besarkan masalah ini." Alfian berucap dengan entengnya. Seolah-olah hal yang menimpaku adalah hal yang biasa baginya.Mendengar perkataan Alfian, hatiku kian teriris bagai di sayat sembilu. Tega sekali ia mengatakan hal seburuk itu tentangku. Aku tak butuh tanggung jawab dari Alfian.
"ALFIAN, CUKUP. MAMA KECEWA SAMA KAMU!" kini Ibu Ayu yang berbicara keras lantaran tak bisa menahan kekecewaan terhadap putranya.
"Memang benar 'kan yang aku katakan."
"Alfian, kamu jangan keras kepala."
"Papa yang jangan keras kepala. Kalau mau, kenapa tidak Papa sendiri yang nikahi dia."
PLAAAK
Satu tamparan yang sangat keras mendarat di pipi Alfian.
"Mbak jangan khawatir, Mas Alfian pasti akan tanggung jawab dan nikahi Mbak Nur." Sarah menghapus air mataku. Namun langsung kutepis.
Perbuatan bej*t Alfian sudah memberikan luka yang begitu dalam. Luka itu kian menganga mendengar penghinaan Alfian. Aku segera turun dari tempat tidur, mengambil tas dan memasukkan semua pakaian dan barang-barangku dengan asal-asalan ke dalam tas.
"Loh, Mbak Nur mau kemana?" Sarah menarik tanganku. Namun, tangan Sarah langsung di tepis olehku.
"Loh, Mbak jangan pergi. Tolong maafin Kak Alfian. Kak Alfian pasti akan tanggung jawab." Sarah berusaha mengambil alih tasku, tapi langsung kudorong.
Tangisku seketika pecah. Air mata yang sejak tadi berusaha aku tahan tumpah ruah. Aku menangis sejadi-jadinya. Hatiku terlalu sakit, dadaku terasa sesak melebihi apapun. Ya Tuhan, kenapa hatiku sakit sekali! Aku tak pernah menyangka akan mengalami hal sehina ini.
Sarah menangis dan berusaha memelukku, tapi segera kudorong dadanya hingga ia menjauh. Kakaknya sudah tega menghancurkan hidupku, bujuk rayunya tidak akan mengembalikan kesucianku. Hidupku sudah hancur karena kakaknya.
Dengan langkah terseok-seok menahan rasa sakit di area inti, aku keluar dari kamar. Aku berjalan melewati pintu samping, karena aku tak siap untuk bertemu Alfian yang sedang berdebat dengan keluarganya. Sarah menarik tas di genggaman tanganku, hal itu menghentikan langkahku. Aku tak mau bertahan di rumah terkutuk ini.
"Lepas. Aku tidak sudi hidup bersama bajingan itu di rumah ini."