Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
CINTA SETEDUH SENJA

CINTA SETEDUH SENJA

Terabita

5.0
Komentar
10
Penayangan
1
Bab

Elina Karyani dan Garvi Indarwan Chipta berpacaran selama setahun sebelum akhirnya memutuskan menikah. Pernikahan impian Elina terwujud dan dia merasa hidupnya sempurna. Namun kenyataan pahit didapatinya ketika dia akhirnya sadar Garvi bukan suami yang bertanggung jawab. Suaminya adalah pria manja dan lemah. Namun yang paling melukainya adalah kenyataan bahwa Garvi masih mencintai mantan pacarnya yang tidak direstui ibunya. Di lain sisi, Elina dibuat terkagum-kagum pada Dipta Indarwan Chipta, abang Garvi yang menjadi tulang punggung keluarga Cipta. Elina diterpa dilema. Haruskah dia mempertahankan rumah tangganya bersama Garvi? Ataukah dia menerima tawaran Dipta untuk berdua hidup bahagia selamanya?

Bab 1 PERNIKAHAN IMPIAN

Setahun yang lalu, ketika cuaca ibu kota sedang mendung, Elina untuk pertama kalinya bertemu dengan Garvi. Mereka berkenalan di banking hall tempat gadis muda itu bekerja sebagai customer service bank. Garvi terpikat pada senyum manis Elina dan sepasang matanya yang bulat bening. Sementara Elina saat itu tidak merasakan perasaan apa pun. Baginya Garvi hanya satu dari sekian ratus orang nasabah yang harus dilayaninya setiap hari. Keistimewaan Garvi hanya satu. Yaitu saldo di rekeningnya.

Setahun setelah perkenalan itu, Elina dan Garvi menikah. Elina mengundang seluruh teman sekerjanya. Mereka semua bilang Elina beruntung. Bagaimana tidak? Dia menikah dengan putera bungsu keluarga Chipta, salah satu keluarga yang bertahun-tahun menjadi nasabah prioritas di bank tempat Elina bekerja.

Garvi mewujudkan pesta pernikahan yang Elina impikan. Mereka menikah di ball room hotel bintang lima. Elina memilih memakai gaun pengantin seharga rumah di pinggir Jakarta, satu set perhiasan dari rumah mode Cartier, dan stiletto Louboutin. Bahagia menyelimuti hatinya.

Elina nyaris tidak bisa berhenti tersenyum menjelang detik-detik pernikahannya. Malam sebelum dia dan Garvi menikah, Susiani, ibu Garvi mengundang om dan tante Elina untuk dinner di restoran hotel tempat berlangsungnya resepsi. Fresh seafood dan wagyu steak disajikan untuk mereka malam itu.

"Jadi, orang tua Elina sudah meninggal dunia?" tanya Susiani pada pasangan suami isteri yang duduk semeja dengannya.

"Betul," kata Irwan. "Almarhum ayah Elina adalah abang saya. Jadi dalam hal ini saya bertindak sebagai pengganti ayahnya."

Susiani tersenyum puas. Dia menyukai gadis muda yang duduk di samping putera bungsunya. Ya memang, calon menantunya itu tidak berasal dari keluarga konglomerat. Dia hanya gadis pekerja biasa. Tapi dia cantik dan sopan santunnya tidak tercela. Cukup dengan sedikit polesan, gadis ini akan menjelma sebagai bintang di kalangan sosialita. Dan yang terpenting dia bisa menerima Garvi.

"Semoga nanti Pak Irwan dan Bu Devi nggak keberatan jika Elina tinggal di rumah kami," kata Susiani sambil tersenyum pada pasangan itu.

Devi tersenyum kecil. "Kami senang sekali jika keluarga Ibu bisa menerima keponakan kami. Cukuplah Elina diperlakukan dengan baik, kami akan sangat berterima kasih."

"Elina ini nggak ada kurangnya untuk diterima di keluarga kami," ujar Susiani. "Garvi sedikit pemalu jika berurusan dengan lawan jenis. Saya cemas kalau dia enggan menikah, seperti abangnya. Tapi sepertinya Elina adalah jawaban do'a saya."

"Oh, jadi abangnya Garvi belum menikah?" tanya Bu Devi heran. Dia yang hidup sederhana tidak habis pikir dengan orang-orang kaya yang sepertinya kesulitan menemukan pasangan hidup. Apa sih susahnya? Siapa yang tidak mau menjadi pendamping hidup orang kaya?

Garvi tersenyum kecut. "Belum. Bang Dipta selalu sibuk mengelola usaha keluarga kami. Lihat aja, malam ini dia bahkan nggak datang ke sini. Katanya dia ada rapat dengan Menteri Perdagangan di J.W. Marriott. Dia menganggap dunia bisa kiamat kalau dia berhenti bekerja."

Elina melirik Garvi. Sepertinya Garvi tidak terlalu menyukai Dipta. Padahal sejauh yang Elina tahu, Susiani hanya sekali dua kali menyebut nama Dipta. Itu pun hanya sekadarnya saja. Bukan pujian yang muluk-muluk.

Semua orang di meja itu bisa menanggap dengan jelas kalimat bernada sinis yang Garvi ucapkan. Namun semua memilih untuk diam. Mereka takut salah bicara.

Di meja itu hanya tersisa satu kursi kosong. Kursi yang seharusnya diduduki Dipta. Diam-diam Susiani berharap putera sulungnya datang sebelum acara makan malam itu selesai.

Baru saja Elina menyuap potongan daging, secara tiba-tiba Susiani berdiri dari duduknya. Dia tersenyum lebar ke arah pintu masuk restoran.

"Lihat siapa yang datang," kata Susiani riang.

Semua mata di meja itu tertuju pada seorang pria jangkung yang berjalan tegap mendekati mereka. Raut wajahnya tampak serius. Sorot matanya tajam. Dan dia terlihat amat percaya diri dalam setiap ayunan langkahnya.

Pria itu menatap Elina selama beberapa detik. Seketika itu juga Elina merasa waktu terhenti. Udara di sekitarnya seperti mengandung medan magnet yang bermuatan listrik. Jantung Elina berdegup seperti rebana yang ditabuh riuh.

"Selamat malam semua," ucap pria itu.

Elina menunduk menatap piring makannya. Dia berusaha menutup rasa gugupnya dengan memotong daging steak.

"Ini Dipta, anak sulung saya," Susiani tersenyum memperkenalkan puteranya pada pasangan suami isteri Irwan dan Devi. Juga pada Elina yang selama ini hanya mendengar Dipta dari cerita singkat Garvi.

Dipta tersenyum sopan kemudian menyalami setiap orang di ruangan itu. Elina menjadi orang terakhir yang disalami Dipta.

"Maaf, saya terlambat," kata Dipta. Dia duduk di sebelah Garvi. Matanya sekali lagi tertuju pada Elina yang duduk di samping adiknya.

"Nggak apa-apa. Hari pernikahanku nggak penting-penting amat kok," ucap Garvi ketus.

"Tentu aja penting," ujar Dipta. "Kalau nggak penting, aku nggak akan mengizinkan kalian menikah di sini."

Susiani tersenyum kikuk pada tamu-tamunya. "Bisa nggak, kalian fokus pada makanan dulu? Besok hari penting untuk kita semua. Tahan diri ya?" pintanya lembut.

"Terkadang abang-adik memang bertengkar. Kami juga punya dua anak laki-laki. Kalau bertemu selalu bertengkar. Tapi kalau jauh, mereka saling mencari," Devi berkata sambil tersenyum menatap Dipta dan Garvi. Keduanya sama-sama ganteng, ucapnya dalam hati.

Susiani merasa tenang dengan tanggapan Devi yang penuh pengertian. Makan malam itu berlangsung hangat. Jam setengah sembilan malam, mereka meninggalkan restoran itu.

Demi meyambut keluarga Elina, Susiani menyiapkan dua kamar untuk keluarga Irwan. Malam itu Devi dan Elina tidur sekamar. Sedangkan Irwan tidur bersama kedua putera mereka yang beranjak remaja.

Di kamarnya yang bagus dan luas, Elina berbaring di samping Devi.

"Tante senang kamu menikah dengan anak dari keluarga kaya," ujar Devi jujur. "Barangkali kamu menganggap ucapan Tante terlalu blak-blakan. Tapi percayalah, pada akhirnya sebuah keluarga nggak cukup dibangun hanya dengan cinta. Nanti kamu akan paham ucapan Tante."

Elina menoleh pada Devi. "Tapi Tante lihat nggak? Sepertinya Garvi nggak terlalu suka pada abangnya."

"Itu biasa. Setiap keluarga ada masalahnya masing-masing. Kamu lihat 'kan? Tante dan Om memang jarang bertengkar. Anak-anak kami, Eros dan Bagas, sehat dan pintar. Tapi secara keuangan, kami serba pas-pasan. Gaji Om-mu sebagai guru bahasa Inggris hanya cukup untuk biaya hidup sebulan. Tanpa tabungan. Itulah sebabnya Om Irwan menerima pekerjaan tambahan sebagai penterjemah novel fiksi luar negeri. Setidaknya dengan begitu kami punya tabungan untuk kuliah Eros dan Bagas."

Elina menatap plafond yang dihias lampu kristal. Indah sekali. Dalam hati dia membenarkan ucapan Devi. Keluarga Om Irwan tinggal di apartemen biasa dengan tiga kamar tidur. Kedua sepupunya tidur di kamar sempit yang hanya muat diisi ranjang dan lemari pakaian. Sering kali keduanya menjadikan meja makan sebagai tempat untuk mengerjakan tugas sekolah. Tapi dia juga sering mendengar Tante Devi bersyukur karena apartemen itu sudah lunas cicilannya.

"Tidurlah," sambung Devi. "Besok kamu harus pagi."

Elina mengiyakan ucapan Devi. Dia memejamkan matanya. Tapi baru sedetik, matanya kembali terbuka. Sebab wajah Dipta secara tidak terduga muncul dalam benaknya.

Tidak boleh! Bentak Elina pada dirinya sendiri.

Besok pagi, Dipta akan menjadi abang iparnya. Elina tidak boleh menghadirkan Dipta di hatinya. Gavin. Sepantasnya hatinya hanya untuk pria itu. Gavin, si pria baik hati yang sudah mengangkat derajat hidupnya dari seorang anak yatim piatu menjadi nyonya muda keluarga Chipta. Kurang baik apa lagi, coba?

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku