/0/12218/coverorgin.jpg?v=5514558b29fa101734c6702af9de4e2b&imageMogr2/format/webp)
Naya keluar dari kamarnya dengan mulut yang menguap. Tangannya terangkat untuk menggaruk rambutnya sambil berlalu masuk ke dapur. Di sana, Naya melihat Ibunya sudah berkutat dengan adonan kue yang akan dijual nanti.
"Nay, ini kuenya Ibuk yang anter ke kampus atau kamu?" tanya Ibu Naya tanpa menatap anaknya. Tangannya masih sibuk memeras santan dari kelapa. Meskipun ada santan instan, tapi Ibu Naya tetap menggunakan cara yang alami. Baginya, cara seperti ini akan mempertahankan cita rasa dari resep turun-temurun milik keluarganya.
"Aku aja, Buk."
"Kamu kan nggak ada kelas hari ini." Naya bersandar pada pintu kulkas sambil meminum air putihnya.
"Nanti aku mau ke kampus, mau ngurus proposal magang."
Ibu Naya berbalik dan terkejut melihat penampilan anaknya. Daster batik lusuh yang sudah sobek di ketiak, rambut acak-acakan, dan wajah yang jauh dari kata menarik.
"Ya Allah, Nak!" Ibu Naya ingin menangis melihat penampilan anaknya yang tidak mencerminkan seorang wanita yang anggun. "Ini udah siang! Kenapa masih kecut?!"
Naya tersenyum lebar, "Baru tidur subuh tadi, Buk. Habis maraton film."
"Mandi sana! Umur kamu itu udah 21, masih aja kelakuan kaya bocah! Kaya gini katanya mau dapet suami kaya"
Naya berdecak, "Apaan sih, Buk! Aminin kek aku dapet suami kaya. Kan lumayan bisa buatin Ibu toko kue."
"Bantah kamu?!"
Melihat Ibunya yang sudah memegang sendok besar, Naya pun berlari masuk ke kamarnya. Dia tidak mau jika sendok itu akan menghantam kepalanya keras.
Naya sadar di usianya yang sudah kepala dua ini seharusnya dia bisa bersikap dewasa. Namun entah kenapa sisi liarnya masih mendominasi. Apalagi di rumah ini hanya ada dia dan ibunya, siapa lagi yang akan meramaikan rumah jika bukan dirinya?
Saat sampai di dalam kamar, bukannya mandi Naya malah kembali duduk di meja belajarnya, berhadapan dengan layar laptop yang menampilkan hasil video yang sudah dia edit semalaman. Dia berbohong pada ibunya tadi. Naya tidak menonton film semalaman, melainkan bekerja. Ya, dia menyebutnya sebagai pekerjaan karena mendapat uang dari hasil jerih payahnya itu. Untung saja Naya memiliki bakat mengedit sehingga bisa meringankan beban ibunya.
"Halo, Lif?" sapa Naya saat panggilan teleponnya diangkat. "Video lo udah jadi, nih. Nanti ketemu ya di kampus."
"Jam dua ya, masih ada kelas nih. Ini langsung gue transfer ya bayarannya."
"Nggak lo periksa dulu? Kali aja ada yang perlu diubah."
"Nggak, gue udah percaya sama lo."
"Oke sip, ntar gue telpon kalo udah di kampus."
"Oke, makasih, ya."
Naya mematikan teleponnya dan tersenyum melihat notifikasi uang kiriman dari Alif, salah satu teman kampusnya yang sering menggunakan jasa edit-nya.
"Alhamdulillah, dapet cuan. Lumayan buat beliin Ibuk Mini Cooper."
***
Naya masuk ke kantin kampus dan menghampiri salah satu penjual di mana dia sering menitipkan kue-kue buatan ibunya. Dia tersenyum saat melihat Mas Nolan tampak sibuk menggoreng udang tepung di wajan besar.
"Gimana Mas jualannya kemarin?" tanya Naya mulai menata kue baru di atas meja.
"Eh, Neng Naya. Tumben kok siang nyetoknya?"
"Lagi nggak ada kelas, Mas. Makanya hari ini bawa cuma sedikit."
Mas Nolan mendekat dengan uang di tangannya, "Alhamdulillah, kemarin kue-mu habis. Ini hasilnya, bagianku udah aku diambil."
"Mantap!" Naya menerima uang itu dengan perasaan lega. Lagi-lagi kue jualannya habis. Tuhan memang tidak pernah salah dalam memberi rezeki.
"Kalo gitu aku ke ruang dosen dulu ya, Mas."
"Iya, Neng. Kalo ada apa-apa kabarin Mas Nolan aja."
Naya tertawa geli, "Mas Nolan, Mas Nolan. Nama Mas Noto aja dipanggil Nolan," celetuknya dan berlari pergi sebelum Mas Nolan meneriakkinya.
***
"Kamu ngajuin kapan ini, Nay?" tanya Ibu Ningsih, selaku kaprodi jurusannya.
"Libur semester nanti, Bu."
"Berapa bulan?"
"Dua bulan, Bu."
Bu Ningsih mengangguk dan langsung memberikan tanda tangannya tanpa banyak bertanya.
"Langsung kamu apply ke perusahaan, biar cepet dikabari."
"Siap, Bu!” Naya tersenyum senang. Setidaknya proposal yang dia buat tidak perlu revisi.
"Oh ya, Nay. Kamu bawa kue jualan kamu nggak?" tanya Ibu Ningsih mulai berdiri dari duduknya.
"Udah saya kasih ke Mas Nolan, Bu."
"Ibu bisa minta tolong? Ambil semua kuemu di Noto dan anter ke ruang rapat. Saya mau rapat sama Pak Dekan."
/0/2943/coverorgin.jpg?v=a78b677a45f4cb6b8c710caee13989e4&imageMogr2/format/webp)
/0/2507/coverorgin.jpg?v=3d41dd4a74edb9b6160b222837220aa3&imageMogr2/format/webp)
/0/6161/coverorgin.jpg?v=f4d4548a2b093fb7445f9595cd8a6811&imageMogr2/format/webp)
/0/5931/coverorgin.jpg?v=29fa21b34b75e1c45c85269cf5126231&imageMogr2/format/webp)
/0/2622/coverorgin.jpg?v=56435d3903b95a407666f2cfdbce6cdc&imageMogr2/format/webp)
/0/14601/coverorgin.jpg?v=903079e80e1d7f88dcfce04a81c351fe&imageMogr2/format/webp)
/0/2662/coverorgin.jpg?v=01b14c6d7af7cd05447318af8fafabd8&imageMogr2/format/webp)
/0/5344/coverorgin.jpg?v=5ce329ffa048f11dbbec013da77b69eb&imageMogr2/format/webp)