HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN! BUKU INI MENGANDUNG ADEGAN DEWASA 21+
"Apa ini yang kau lakukan setelah meninggalkanku? Menjadi seorang pelacur?"
Wanita dalam balutan gaun tipis berbahan sutera itu menatap tajam pada pria yang menjadi tamunya malam ini. Ada rasa nyeri yang menyusup di dalam hatinya, tapi ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya.
"Aku benar bukan?" Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Mendekat pada wanita yang tak bergeming. "Ternyata nilaimu tidak lebih rendah dari wanita kotor di jalanan."
"Kau tidak berhak menilaiku. Jika kau tak ingin, aku pergi."
Pria bermanik hitam pekat itu segera mencekal wanita yang selalu membuat emosinya naik turun dengan begitu cepat.
"Siapa bilang kau berhak memutuskan?" desis Nathan dengan amarah yang bertakhta. Seringai liarnya terbit hingga membuat wanita itu gemetar. "Kau harus memuaskanku malam ini dan aku tidak mengijinkan kau pergi sebelum aku puas."
Nayla hanya membalas seringai liar itu dengan tatapan dingin. Ia bersumpah akan membuat pria itu menggelepar tak berdaya di atas ranjang.
"Ini bukan yang pertama dan aku pasti bisa melaluinya," batin Nayla penuh tekad. Yang ia tidak tahu, malam ini mengantarkan takdir yang akan membuat dirinya terjerat semakin dalam.
DUA MINGGU YANG LALU ...
"Nay, sepertinya kita tidak bisa pulang hari ini. Investor yang seharusnya kita temui hari ini membatalkan pertemuan."
Nayla menoleh sesaat. "Lalu?"
"Terpaksa kita harus menginap dua malam. Mereka baru menemui kita lusa nanti dan itu pun pada saat malam hari."
Sepasang manik bening Nayla membulat. Jika benar begitu, maka ia akan mengecewakan gadis kecil yang saat ini sedang menunggunya kembali.
"Kau tenang saja. Kita akan dapat bonus besar dari perusahaan dan libur satu minggu. Dengan begitu, kau bisa membawa Lily liburan."
Helaan napas Nayla berembus kasar. Saat ini ia tidak bisa membayangkan apa pun selain raut kekecewaan Lily.
"Atau aku bilang ke Pak Nicko agar kau diperbolehkan pulang dulu. Bagaimana?" usul Jayden yang sejak kemarin menemaninya. "Aku masih bisa kau andalkan untuk menyelesaikan ini semua."
Nayla langsung menggeleng. "Tidak perlu. Bagaimanapun proyek ini cukup penting dan seharusnya aku ikut bertanggung jawab." Matanya memejam sesaat seraya memijit pangkal hidungnya yang berdenyut. "Aku akan bicara dulu dengan Lily."
"Baiklah. Aku akan kembali ke kamarku dan kau bisa menghabiskan dua hari ini untuk meneleponnya."
Pintu kamar Nayla ditutup dan tanpa berpikir apa pun, ia langsung mengambil ponselnya, dan mencari kontak sang bibi.
"Ibu."
Nayla tersenyum begitu melihat wajah ceria Lily, gadis kecil yang selalu menguatkan dirinya dalam situasi apa pun. "Sedang apa?"
"Aku baru saja sarapan," jawab Lily dengan riang. "Kalau ibu?"
"Ibu juga baru selesai sarapan," jawab Nayla dengan senyum yang semakin mengembang. Melihat keceriaan Lily membuat semangatnya menjadi bertambah.
"Apakah Ibu akan pulang besok pagi?" Saat bertanya Lily mengedipkan matanya berulang kali.
Senyum Nayla memudar. Ia menggeleng pelan. "Sepertinya ibu harus menginap dua hari lagi. Pekerjaan ibu belum selesai."
"Apakah Ibu tidak ingat jika besok hari ulang tahunku?" tanya Lily dengan mata berkaca-kaca dan bibir merengut. Raut wajahnya pun berubah murung.
"Lily ...." Nayla tercekat. Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah cantik putrinya yang kini mulai terisak.
"Ibu sudah berjanji akan merayakan ulang tahunku." Suara Lily tersendat-sendat dan tak begitu jelas, tapi Nayla mengerti apa yang diucapkan putrinya.
"Maaf, Sayang."
"Apa sekarang pekerjaan ibu lebih penting daripada aku?" tanya Lily bertubi-tubi menyudutkan Nayla. Meskipun baru berumur tujuh tahun, gadis kecil itu sangat cerdas hingga terkadang Nayla akan kalah berdebat dengannya.
"Sayang, ibu tidak bermaksud ...."
Belum sampai Nayla memberikan penjelasan, sambungan telepon mereka terputus. Lebih tepatnya dimatikan oleh Lily yang kini menangis tersedu-sedu.
Nayla menghela napas dalam-dalam guna menetralkan emosinya. Bohong jika saat ini ia tidak ingin segera pulang dan memeluk Lily yang akhir-akhir selalu menanyakan sosok ayah.
"Maafkan ibu, Sayang." Nayla mengusap layar ponselnya yang berubah gelap. Terpampang foto Lily yang berada dalam gendongannya saat anak itu berusia tiga tahun.
Melihat raut wajah Lily mendadak mengingatkan Nayla pada seseorang. Seseorang yang pernah memenuhi seluruh ruang di hatinya.
Malam pertemuan dengan klien pun tiba. Nayla yang telah bersiap keluar membawa dokumen di dalam tas kerja disambut oleh Jayden di depan pintu.
"Ayo, Nay. Dirut dari Pentagon akan tiba sepuluh menit lagi."
Nayla mengangguk dan berjalan di samping Jayden menuju restoran.
Sesampainya di restoran, Nayla dan Jayden diarahkan ke sebuah ruangan privat. Jayden menganga takjub, tapi tidak dengan Nayla. Ini bukan pertama kali ia harus bertemu dengan klien penting.
"Gila, Nay! Restoran ini mewah banget!" bisik Jayden antusias. Namun, hanya dibalas senyum tipis oleh Nayla.
"Kalau kau sering dapat kesempatan menangani proyek baru, kau akan sering berkunjung ke tempat yang bahkan tidak pernah ada dalam imajinasimu," ucap Nayla datar.
"Huh! Semoga saja setelah ini Pak Nicko memberiku kepercayaan."
"Makanya, kita harus meyakinkan Direktur Pentagon untuk menyetujui proposal ini," balas Nayla dengan suara memelan.
"Asalkan ada kau, semuanya pasti beres. Aku yakin kita bisa meyakinkan mereka tanpa kendala yang berarti."
Nayla hanya memutar bola mata malas dan tak menghiraukan kekaguman Jayden sepanjang pelayan membawa mereka menyusuri lorong.
Setelah dipersilakan masuk pada salah satu ruangan privat, Nayla duduk di salah satu sofa bersama Jayden. Sialnya, beberapa menit kemudian, Jayden berpamitan untuk ke kamar mandi.
Nayla yang sendirian membuka kembali I-Pad untuk memeriksa ulang proposalnya. Meskipun sudah memastikan, tentu ia harus lebih teliti, mengingat proyek kali ini cukup besar, dan itu berarti ia akan mendapat bonus lebih jika berhasil.
"Aku harus meyakinkan Tuan Rafael," gumam Nayla penuh tekad.
Sementara itu, seorang pria bersetelan jas abu-abu turun dari mobil mewahnya. Kedatangannya sudah ditunggu oleh sang asisten yang sejak 15 menit lalu sudah berada di tempat parkir restoran.
"Perwakilan dari perusahaan Pak Nicko sudah menunggu, Tuan."
Tak menyahut, pria bermanik hitam pekat itu merapikan jasnya sesaat lalu berjalan tanpa mengatakan apa pun. Sedang sang asisten mengekor dan memberikan penjelasan singkat mengenai pembahasan yang akan berlangsung sebentar lagi.
"Jangan terlalu cerewet, Dion! Kepalaku bisa meledak jika kau terlalu banyak bicara!"
"Maaf, Tuan."
Pemilik nama Nathan Ivander Syahreza itu berjalan tanpa menghiraukan sapaan beberapa pelayan. Bahkan ketika penjaga pintu ruangan menyambutnya dengan sebuah senyuman.
"Silakan, Tuan."
Nathan masuk disusul Dion. Namun, ia tak menemukan siapa pun di sana. Hanya ada sebuah tas kerja dengan I-Pad yang masih menyala.
"Kau bilang mereka sudah datang?" Suara Nathan terdengar dingin dan membuat Dion merinding.
"Seharusnya mereka memang sudah datang, Tuan. Saya akan ...."
"Tuan Rafael." Nayla yang baru saja masuk segera menyerukan nama itu.
Mendengar suara yang tak asing di telinganya membuat Nathan seketika membalikkan badan. Tatapan dari manik hitam pekat itu menghunjam Nayla.
"Nathan."
"Nayla."
Mereka saling melirih dan mengunci pandangan.
Bab 1 Bertemu Kembali
17/03/2023
Bab 2 Rindu yang Tak Terbalas
17/03/2023
Buku lain oleh AR_Merry
Selebihnya