Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
When I Fell in Love with My Fictional Character

When I Fell in Love with My Fictional Character

Vhir Zahira

5.0
Komentar
28
Penayangan
9
Bab

Menjadi tokoh antagonis di dalam takdirku sendiri. Di mana aku terjebak ditengah-tengah cinta fiksiku dan cinta sejatinya. Aku ingin memilikinya sepenuhnya, akan tetapi berapa hati yang nantinya akan menanggung dukanya? Mencintai seseorang itu mudah bahkan hal yang sudah biasa. Namun, bagaimana kita bisa setiap hari jatuh cinta kepada orang yang sama seumur hidup? Mencintai memang bukan hal yang salah. Mencintai itu hak seseorang, karena memang hakikatnya cinta dan perasaan seseorang pengendalinya adalah Tuhan. Tapi, cinta akan menjadi salah jika sudah dikuasai oleh nafsu. Hingga akhirnya menjadi egois, merusak, menyakiti! Dalam novel ini penulis bercerita untuk mengedukasi mereka yang saat ini berada di titik cerita ini. Penulis juga menyisipkan edukasi tentang Law of Attraction, bagaimana cara kerja semesta ini terhadap takdir manusia, serta bagaimana membangun sebuah hubungan rumah tangga yang sehat. Bagaimana cara berkorban melepaskan seseorang yang dicintai hingga nantinya dapat meraih titik tertinggi dalam kebahagiaan hidup.

Bab 1 Aku, Willy dan Pernikahan Impian

Aku benar-benar sudah terjebak dengan perasaanku sendiri. Perasaan yang aku tumbuhkan setiap hari dengan selalu menerima kebaikan Ben.

"Come on Fhir! Jangan jadi pendosa! Laki-laki yang kamu cintai sudah beristri. Di mana logikamu?" Pikiranku terasa sangat berisik. Tapi, tiba-tiba bayangan Willy hadir dan merusak kebisingan otakku.

"Haii Fhir, Are you okay?" Terdengar suara Ben yang ternyata sudah berada di sampingku beberapa menit yang lalu.

"Beeeen!" Aku terperanjat melihat sosoknya yang sudah duduk di sebelah kursiku.

"Why? Kenapa? Aku dari tadi perhatiin kamu nggak fokus. Oh, nggak nggak bukan tadi but, sejak beberapa minggu belakangan," katanya dengan bahasa yang biasa digunakannya.

Aku selalu merasa nyaman bersama dengannya. Tutur katanya selalu lembut dan terasa candu dalam pendengaranku. Dia juga selalu tersenyum ramah terhadap siapa saja yang menjadi kawannya. Tapi, Ben bukan tipeku. Dia juga sudah berkeluarga. Jadi, mana mungkin aku mencintainya. Otakku masih terus mengelak dan bertarung dengan otak kecil di dalamnya.

Nggak apa-apa Ben. Mungkin aku hanya sedikit lelah. Karena kamu tahu sendiri ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini," jawabku sekenanya.

"Yakin, aman?" Dia meyakinkanku.

"Yes, sure. Semuanya aman kok," jawabku.

Ternyata Ben hanya memesan satu cup kopi kesukaannya. Dan kemudian bergegas pergi kembali ke kantornya.

Ya, entah sejak kapan aku menjadi lebih senang mengerjakan pekerjaanku dengan WFC. Cafe yang selalu aku datangi sebenarnya tidak menyediakan menu favoritku. Tapi memang tempatnya yang estetik dan nyaman untukku menulis, aku menjadi ketagihan mendatangi tempat ini. Selain itu, Ayudia Coffee ini juga merupakan rekomendasi dari Ben. Oh no! God, lagi-lagi tentang Ben.

Dengan diiringi lagu Bukti milik Virgoun, namun alunannya yang lirih membuat aku begitu hanyut dalam waktu. Kulirik arloji silver kesukaanku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 20.00 sejak aku datang di jam 14.00 sore tadi.

"Wah, udah malem ternyata," ucapku lirih. Lalu buru-buru aku mengemas laptop dan beberapa peralatan lainnya memasukkan dalam tas.

Drrrrtttt.... Drrrrrrtttt..... Drrrrtttt

Berkali-kali ponselku bergetar. Panggilan masuk dari Willy.

"Halo, iya Wil." Aku mengangkat panggilan dari Willy. Suara Willy terdengan putus-putus. Mungkin karena saat ini dia berada di

pedesaan. Sehingga signal di sana koneksinya sangat buruk. Dan kemudian sambungannya terputus. Aku masih menunggunya menelvon kembali tapi ternyata tidak. Aku juga tidak dapat melakukan panggilan karena ponselnya tidak lagi dapat dihubungi.

"Astaga Willy, kamu selalu kayak gini. Telvon, putus endingnya nggak nelvon lagi. Dan aku harus menunggu beberapa hari lagi untuk tahu kabar kamu gimana. Gerutuku. Lalu aku segera bergegas pergi dari cafe menuju apartemen. Sesampai di kamar apartemen dengan segera kubaringkan badanku di atas kasur. Berasa begitu nyaman dan lembut kasur ini. Badanku terasa begitu lelah seharian harus duduk di depan laptop.

Jam 21.00 aku selesai mandi dan kembali mengecek beberapa email yang masuk dari prospekanku. Sejak satu tahun ini aku iseng membangun sebuah bisnis di kota yang kutinggali saat ini. Aku memang sudah mandiri sejak masih berada di bangku SMU. Aku hampir tidak pernah tinggal bersama orang tuaku. Hanya sesekali aku bisa bertanya kabar kepada mereka by phone saja.

Hanya saja, Willylah yang selalu setia menemaniku sepanjang hubungan kami berjalan hingga kini. Aku melihat buku scriptingku yang sudah hampir lapuk. Aku kembali membukanya satu per satu halamannya. Aku tersenyum karena sudah banyak goal yang aku tulis menjadi kenyataan. Dan aku begitu sangat bersyukur atas kebaikan Tuhan yang diberikanNya melalui semesta di saat yang selalu tepat menurutku.

Selain pebisnis, aku juga penulis. Menulis adalah hobi terbesarku. Tidak ada hari tanpa scripting dan menulis. Bagiku menulis adalah nafas yang mana jika di hari aku tidak menulis, aku merasa seperti kehilangan sedikit dari nafasku.

Tiba di tengah halaman, terlihat tulisan yang mencengangkanku. Tertera di dalamnya tulisan 4 tahun lalu. Dream Wedding, "Married Willy" aku menatap lekat tulisan itu. Aku kembali mengflash back memory di 4 tahun silam. Pertama kali aku bertemu dengan Willy yang kala itu aku sedang bertugas wawancara dalam kegiatan jurnalistik di kampus.

****

"Selamat pagi kak, halo." Sapaku ramah pada customer service di Rumah Sakit Bunda Asih.

"Iya, ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang perempuan yang usianya kira-kira 2 tahun lebih tua dariku. Wajahnya sangat manis dan paling ramah diantara yang lainnya.

"Kenalin, saya Fhir. Kebetulan saya dan tiga teman saya, kami tim dari komunitas jurnalistik di kampus kami. Jadi, saya mau deadline untuk wawancara dengan beberapa dokter muda di Rumah Sakit ini. Gimana, bisa?" Aku menjelaskan maksudku dan Yolanda.

"Bisa, tapi tidak untuk hari ini ya mbak. Nanti saya akan konfirmasikan dulu ke beberapa pihak yang bersangkutan," katanya menjelaskan.

"Oh, oke mbk. Bisa minta kontaknya ya, eeee..... kaaaakkk....???"

"Erlis." Sahutnya.

"Iya kak Erlis."

Setelah itu, aku kembali bergegas bersama Yolanda.

"Akhirnya ya Fhir, kita bisa ketemu tuh sama cogan-cogan calon dokter muda," kata Yolanda. Dasar Yolanda, dia memang selalu seperti itu. Karakternya yang sok cute, centil selalu membuatku terhibur. Karena vibesnya yang selalu ceria.

"Eh, eh, no no no! Kita ketemu mereka buat wawancara ya. Bukan bucin-bucinan," kataku padanya sambil kucubit pipinya yang mulus.

"Iya, iya. Tapi nggak ada salahnya kali Fhir. Sambil menyelam minum air. Kali aja nanti kita ketemu jodoh kita di sini. Ya kan."

"Udahlah, yuk balik," ajakku sambil menggandeng tangannya dan sedikit memaksanya berjalan.

Saat itu, aku bersimpangan arah dengan Willy. Tapi memang kami belum saling mengenal. Dia bersama beberapa teman dokter muda yang akan bertugas.

"Waaaa. Fhir itu Fhir," Yolanda kembali membuat riweh.

"Kenapa Yol?" tanyaku.

"Itu tuh, dokter-dokter muda yang bakal kita wawancarai besok," kata Yolanda sambil menunjuk dan memandang mereka dengan gayanya yang centil.

"Ayok Yol, iya besok. Sekarang kita balik ke kampus yuk!"

Dihari yang sama tepat pukul 15.00, ponselku berdering dan ternyata ada nomor baru masuk.

"Siapa ya?" pikirku sejenak lalu kuangkat panggilan dari orang asing tersebut.

"Halo, betul ini dengan mbak Fhir? Ini saya Erlis. Mau ngasi tahu kalau hari Minggu teman-teman DM di RS kita bisa untuk diwawancarai," kata gadis yang berada diseberang sana.

Sontak aku langsung kegirangan mendengar perkataan Erlis.

"Alhamdulillah, oke mbak. Trima kasih ya mbak udah bantu kita. Makasih juga untuk waktunya." Aku berterima kasih pada Erlis atas keramahannya dan bantuannya yang tidak pernah terfikirkan kalau proses wawancara DM begitu mudah dan secepat ini.

Aku segera memberitahukan kabar baik itu ke Yolanda dan Abimanyu. Dan kami langsung membuat beberapa materi dan pertanyaan yang akan kami ajukan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Godaan Sang Mantan

Godaan Sang Mantan

Romantis

5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) "Ughh..." Marina melenguh sambil mencengkram pergelangan tangan Willem. "Sakit, Will." "Kamu mendesah barusan," bisik Willem. Marina menggigit bibirnya menahan senyum yang hendak terbit. Willem segera menegakkan punggungnya, menatap Marina dengan penuh cinta di bawah kendalinya. "Tapi sakit, jangan terlalu keras... ahhh," ucap Marina. Belum selesai ia berucap, tiba-tiba ia mendesah saat Willem menghentakkan pinggul dengan lembut. "Ahhh..." *** Seiring berjalannya waktu, Marina semakin yakin bahwa keputusannya untuk menghindari pertemuan dengan mantan kekasihnya, Willem Roberto, adalah langkah yang tepat. Luka yang dalam akibat keputusan Willem di masa lalu membuat Marina merasa hancur dan ditinggalkan begitu saja setelah ia menyerahkan segalanya kepadanya. Meski Marina berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi Willem, takdir mempertemukan mereka kembali setelah tujuh tahun berpisah. Pertemuan ini tidak bisa dihindari, dan Marina pun merasa tergoda oleh pesona mantan kekasihnya. Walaupun hatinya masih terluka, Marina terbawa dalam nostalgia dan hangatnya kenangan masa lalu. Keduanya larut dalam kenangan manis dan berbagi momen intim di dalam kamar hotel. Willem terus menggoda Marina dengan daya tariknya yang memikat, membuat wanita itu sulit untuk menolaknya. Marina pun berada dalam kebimbangan, diantara kerinduan akan cinta yang dulu dan ketakutan akan luka yang mungkin kembali menghampirinya. Kisah cinta Marina dan Willem kembali terjalin, namun kali ini dipenuhi dengan ketidakpastian dan keragu-raguan. Marina harus segera memutuskan apakah ia akan terus terjebak dalam kenangan yang menyakitkan atau memilih untuk bangkit, memperbaiki diri, dan menempatkan kebahagiaannya di atas segalanya.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku