Cinta yang Membara: Tidak Bisa Melupakanmu
Penulis:Sancho Pintus
GenreRomantis
Cinta yang Membara: Tidak Bisa Melupakanmu
"Apa maksudmu?" Diana kebingungan.
'Sejak kapan aku punya kekasih masa kecil?' Dia bertanya-tanya.
Ricky menatapnya tajam. "Apa kamu pikir aku tak akan tahu jika kamu menyukai orang lain?"
Diana terkejut dan sakit hati mendengar Ricky menuduhnya seperti itu. "Satu-satunya pria yang kucintai adalah ...." Dia mengatupkan giginya, menelan kembali kata-katanya, karena dia tahu bahwa hal itu hanya akan menjatuhkan harga dirinya.
Sebenarnya, dia ingin mengatakan pada Ricky bahwa dialah satu-satunya pria yang pernah dan akan selalu dicintainya seumur hidup.
Namun, dia memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Karena Ricky tak membalas cintanya, maka tak perlu mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Dia bukanlah seorang wanita murahan.
'Setelah Lili meneleponnya tadi malam, dia meninggalkanku sendirian di rumah walaupun saat itu sudah larut malam. Dia juga tak pulang semalaman, kok dia masih berani bilang bahwa aku mencintai orang lain? Benar-benar sulit dipercaya!' keluh Diana dalam hati.
"Kenapa kamu tidak menyelesaikan kata-katamu? Apa kamu takut kalau aku akan membuatnya terkena masalah?" Ricky mencibir. Ucapannya yang tak berperasaan itu seperti bilah pisau yang mengoyak hati Diana.
Akan tetapi, Diana tetap memasang ekspresi datar dan berpura-pura tenang. "Berhentilah bersikap kasar seperti itu. Kamulah yang meminta cerai duluan. Aku hanya mengabulkan keinginanmu!" Kemudian dia berbalik badan dan bergegas kembali ke kamarnya, karena takut air matanya akan menetes jika dia berjalan lebih pelan lagi.
"Diana!" Terdengar suara yang tidak asing dari arah belakang, dia terdengar panik.
Tiba-tiba Diana berhenti di tengah jalan dan merasa mual. Dia buru-buru masuk ke kamar mandi dan muntah-muntah. Dia merasa seluruh organ di dalam tubuhnya bergejolak. Perasaan mual menguasainya dan hampir membuatnya pingsan.
Butuh beberapa saat sebelum akhirnya dia membuka pintu kamar mandi.
Saat Diana keluar, Ricky telah tak ada di sana. 'Apa yang kamu harapkan, Diana? Apakah kamu sebodoh itu?' tanya Diana dalam hati.
Saat Ricky turun ke bawah, dia melihat beberapa pelayan tengah sibuk dengan pekerjaannya.
"Diana sakit. Apa kalian bermalas-malasan mengurusnya?" Dia memastikan suaranya terdengar keras dan memasang ekspresi tegas. Para pelayan langsung gugup saat mendengar intonasi suaranya yang tegas.
"Um ... tadi malam ... Nyonya Fuadi masih baik-baik saja."
Memikirkan Diana yang muntah-muntah di dalam kamar mandi membuat Ricky mengernyitkan dahi.
"Masakkan sup bergizi tinggi untuknya dan gandakan nutrisinya!" perintahnya.
"Baik, Tuan."
Tiba-tiba ponsel Ricky berdering. Dia mendengar suara Joko saat menjawab panggilan itu.
"Tuan Fuadi, terjadi sesuatu pada proyek itu. Sepertinya, Anda harus mengatasinya sendiri."
Saat panggilan itu berakhir, sopir yang menyetir mobilnya sudah sampai di pintu gerbang vilanya. Diana berdiri di depan jendela, memperhatikan Ricky pergi. Wajahnya pucat pasi dan hatinya sakit.
Sejak Ricky membahas tentang perceraian kemarin, mereka belum berbicara secara normal. Diana akan mengurung diri di dalam kamar atau Ricky pergi dari rumah. 'Sepertinya kita tak akan bisa kembali ke masa-masa bahagia itu lagi,' pikirnya getir.
Malam hari.
Belajar dari situasi kemarin, Diana tak lagi menunggu Ricky pulang dan tidur lebih awal.
Saat Ricky pulang, dia sudah tidur. Akan tetapi, lampu di samping tempat tidur masih menyala. Diana selalu membiarkan satu lampu menyala setiap malam untuknya.
Ricky menutup pintu pelan-pelan lalu pergi ke ruang kerja.
'Diana sedang tidak enak badan. Sebaiknya aku tak mengganggunya,' pikirnya.
Ricky bekerja di ruang kerjanya sampai larut malam. Lalu dia berbaring di tempat tidur kecil di dalam ruang kerjanya. Namun, karena tak terbiasa tidur di sana, dia hanya bolak-balik gelisah di atas tempat tidur.
Akhirnya dia duduk, membuka ponselnya, dan menemukan sebuah pesan yang tadi diabaikannya. Pesan itu berasal dari salah satu pelayannya. Pesan itu berbunyi, "Tuan Fuadi, jangan khawatir. Nyonya Fuadi sudah minum supnya dan tidak muntah lagi hari ini."
Ricky merasa jauh lebih baik setelah membaca pesan itu.
Setelah merasa ragu-ragu selama beberapa saat, dia memutuskan untuk kembali ke kamar tidur. Dia berbaring di atas ranjang dengan pelan-pelan dan berusaha tak menimbulkan suara, lalu memeluk Diana.
Istrinya sudah tertidur pulas. Saat dia memeluknya, secara naluriah, tubuh Diana bergerak mendekat padanya dan menyesuaikan diri ke posisi tidur yang lebih nyaman.
Ricky menatap istrinya dalam diam.
Wajah Diana bersinar penuh energi. Kulitnya bercahaya dan bibirnya yang kemerahan membuatnya semakin memesona. Setiap kali Diana mengerucutkan bibirnya, lesung pipinya akan terlihat. Dia tidak menyadari betapa cantiknya Diana saat ini.
Karena tak bisa menahan pesonanya lagi, Ricky mendaratkan sebuah ciuman di keningnya.
"Selamat malam, Diana."
Mereka saling berpelukan di atas ranjang.
Sejak Ricky masih kecil, dia memiliki ketakutan tersendiri pada kegelapan. Berada di lingkungan yang gelap dan terpencil akan memicu teror di dalam hatinya. Ini adalah rahasia Keluarga Fuadi yang disimpan rapat-rapat.
Orang luar hanya tahu bahwa lampu-lampu di Keluarga Fuadi selalu menyala, membuat mereka mengira bahwa keluarga kaya raya ini sengaja melakukannya tanpa alasan yang jelas.
Melihat wajah Diana yang mengernyit karena terkena cahaya lampu membuat Ricky berpikir bahwa dia merasa tidak nyaman karena cahaya itu memengaruhi tidurnya.
Setelah merenung selama beberapa saat, dia memutuskan untuk mematikan lampu di samping tempat tidur.
Begitu kegelapan menerjang, perasaan bahaya yang mencekam langsung membanjiri hatinya. Kegelapan menguasai hatinya dan dia merasa ada sesuatu yang sedang tersembunyi di bawahnya yang akan segera muncul dan mengoyaknya.
Saat memeluk Diana, semua ketakutan yang meluluhlantakkan jiwanya mulai terurai. Sudah lama dia menyadari fenomena yang aneh ini. Setiap kali bersama Diana, dia tak takut lagi pada kegelapan. Seolah-olah, semuanya kembali normal.
Namun, beberapa saat kemudian, dia ingat bahwa orang yang menemaninya saat itu sebenarnya adalah Lili.