/0/23058/coverorgin.jpg?v=4c0ec1f46fbfddc72bcf6894813f78e9&imageMogr2/format/webp)
Dina menatap keluar jendela, memperhatikan tetesan hujan yang menderas dari langit kelabu.
Suara gemuruh dari kejauhan seolah membenarkan suasana hatinya yang sedikit galau sore itu.
Bekerja sebagai desainer di kota besar memang menjadi impiannya sejak dulu, tapi ada sesuatu yang terasa kurang.
Ada lubang kecil di hatinya yang tak pernah terisi, seolah-olah ia meninggalkan sesuatu yang penting di masa lalu.
Sambil mengaduk kopi yang sudah mulai dingin, Dina mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan yang menumpuk di mejanya. Namun, pikirannya terus melayang ke masa lalu, ke sebuah kampung kecil di pinggiran kota, tempat ia tumbuh besar.
Di sanalah ia menghabiskan masa kecilnya bersama seorang sahabat yang selalu membuatnya tertawa-Arga. Sosok laki-laki yang dulu lebih sering membuat masalah daripada menyelesaikannya.
"Dinaaa, kamu kenapa ngelamun lagi?" Suara lantang dari telepon di meja kerjanya memecahkan lamunannya. Dina tersentak, buru-buru mengangkat telepon itu.
"Ya, Ma?" jawab Dina dengan nada lelah.
"Kamu tuh, kalau di rumah nggak usah kebanyakan mikir! Kerja boleh, tapi jangan lupa istirahat. Kamu kelihatan capek terus," ujar ibunya dari ujung telepon. Dina tersenyum tipis, merasa hangat mendengar perhatian ibunya.
"Iya, Ma. Dina cuma lagi banyak proyek aja," jawabnya sambil menghela napas pelan. Ibu selalu tahu bagaimana membuatnya merasa lebih baik, bahkan dari kejauhan.
Setelah menutup telepon, Dina memutuskan untuk keluar sebentar, mencari udara segar yang mungkin bisa menghilangkan kepenatannya. Ia mengenakan jaket dan mengambil payung yang tergantung di dekat pintu.
Saat membuka pintu, hujan sudah mulai mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang selalu membuatnya bernostalgia.
Tanpa tujuan yang jelas, Dina berjalan menyusuri trotoar yang basah, pikirannya terus melayang ke masa-masa bersama Arga. Mereka adalah duo yang tak terpisahkan, seperti gula dan kopi. Arga selalu berhasil membuatnya tersenyum, bahkan di hari-hari tersulitnya. Tapi, waktu memang tak berpihak pada mereka.
Setelah lulus SMA, mereka memilih jalan hidup yang berbeda-Dina ke kota besar untuk mengejar karir, sementara Arga tetap di kampung, meneruskan bisnis keluarganya.
Langkah Dina terhenti di depan sebuah kafe kecil yang baru dibuka. Di depannya, sebuah papan tulis menampilkan tulisan yang membuatnya tersenyum lebar: "Kopi Gratis untuk Mereka yang Patah Hati."
"Lucu juga," gumamnya sambil membuka pintu kafe itu.
Suara lonceng kecil menyambutnya ketika ia melangkah masuk. Kafe itu kecil tapi nyaman, dengan aroma kopi segar yang langsung memenuhi hidungnya
Sambil melihat-lihat, matanya tertuju pada seorang pria yang duduk di sudut, sibuk dengan laptopnya. Ada sesuatu yang familiar pada sosok itu, meskipun dari belakang. Rambutnya sedikit acak-acakan, dengan jaket kulit yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya.
"Hmm... siapa ya?" pikir Dina sambil memperhatikan pria itu. Tapi ketika ia melangkah lebih dekat, matanya membelalak kaget.
"Arga?!" serunya tanpa sadar. Pria itu langsung menoleh, dan seketika senyum lebarnya muncul.
"Dina! Ya ampun, lama nggak ketemu!" Arga berdiri, memeluk Dina dengan hangat. Dina tertawa, merasa nostalgia tiba-tiba menyeruak begitu kuat di dalam hatinya.
"Apa kabar? Ngapain kamu di sini?" tanya Dina sambil melepaskan pelukan mereka.
"Bisnis keluarga, perlu ekspansi ke kota. Jadi, aku mutusin buat pindah ke sini sementara," jawab Arga sambil tersenyum. "Kamu gimana? Udah jadi desainer terkenal ya sekarang?"
"Ah, nggak juga. Masih berjuang aja," jawab Dina sambil tersenyum malu.
Mereka pun duduk, memesan kopi, dan mulai mengobrol panjang lebar tentang kehidupan masing-masing. Dina merasa seperti kembali ke masa lalu, saat segala sesuatunya begitu sederhana dan penuh tawa. Arga, dengan gayanya yang santai dan sedikit konyol, masih sama seperti dulu.
Bahkan, beberapa kali Dina tertawa hingga lupa betapa stresnya hari-hari terakhir ini.
Namun, di tengah tawa dan cerita, ada sedikit rasa canggung yang tak terelakkan. Dina menyadari bahwa ada sesuatu yang telah berubah.
Mereka bukan lagi remaja yang bisa bebas dari tanggung jawab. Ada beban dan masa lalu yang kini membentang di antara mereka.
/0/20152/coverorgin.jpg?v=46f5de228f2cd33a115f91471d66a24a&imageMogr2/format/webp)
/0/24280/coverorgin.jpg?v=cbf38d4ab134064acce215c1cbe5a562&imageMogr2/format/webp)
/0/19691/coverorgin.jpg?v=697aadf68d41fe77dac4fb9909e70655&imageMogr2/format/webp)
/0/4053/coverorgin.jpg?v=4611eb4715991ae118af1d3d0798752d&imageMogr2/format/webp)
/0/24713/coverorgin.jpg?v=d5ec8a1ab9d841d707913428394d96b4&imageMogr2/format/webp)
/0/13104/coverorgin.jpg?v=bdd767dfe4ccbcd919c9d423c9e4c222&imageMogr2/format/webp)
/0/17042/coverorgin.jpg?v=af865f836fe11745c48654c258bea8af&imageMogr2/format/webp)
/0/2841/coverorgin.jpg?v=f985878837adf7ea89879cdbb243c038&imageMogr2/format/webp)
/0/10773/coverorgin.jpg?v=b5db46b4894f9e45289dad0a48feb797&imageMogr2/format/webp)
/0/12236/coverorgin.jpg?v=7871fe7a3d64f52a503783eeea777dee&imageMogr2/format/webp)
/0/23840/coverorgin.jpg?v=62ff247ea06d0a120068ce0aca9caff2&imageMogr2/format/webp)
/0/22424/coverorgin.jpg?v=8d13794c3842638d260fd84e20ae3edc&imageMogr2/format/webp)
/0/16564/coverorgin.jpg?v=1fea2c047e0199e457c5dfea4689e55f&imageMogr2/format/webp)
/0/16416/coverorgin.jpg?v=560de0e137b8432e8497c457086f68b1&imageMogr2/format/webp)
/0/6602/coverorgin.jpg?v=88214d6b45570198e54c4a8206c1938e&imageMogr2/format/webp)