/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Aku tidak tau dorongan dari mana yang menyuruhku untuk datang ke kantor suamiku. Mungkin, instingku benar-benar meyakinkan diriku kali ini.
Aku datang.
Tetapi, aku tak pernah masuk ke dalam kantor suamiku. Aku hanya berdiam diri di dalam mobil dalam diam. Memperhatikan pria yang seharusnya suamiku sedang menciumi wanita yang selalu membuatku merasa tak aman.
Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan saat melihat semesra apa mereka di lahan parkir yang sepi, seolah tak perduli jika ada mata manusia yang melihat.
Pelukan, pagutan, ciuman yang membuatku sakit.
Namun, aku tak mampu mengalihkan pandanganku!
Rasanya ... aku bahkan tak berkedip meski aku bernafas karena itu hal wajar untuk kulakukan.
Bernafas!
Brukk!!
Aku bahkan baru sadar jika sudah berdiri di salah satu lobi hotel saat tubuhku menabrak sesuatu atau mungkin seseorang, entahlah.
Aku seperti di sini tapi otakku melayang entah kemana. Bahkan, suara ramai kesibukan terasa samar di telingaku.
Udara dingin yang terasa menusuk berkat pendingin ruangan tak berpengaruh apapun padaku yang diam terpaku, menatapi lobi tanpa perduli saat berpasang-pasang mata menatapiku heran.
Mungkin mereka berpikir aku orang tersesat. Tapi, tak ada yang mendekat sekedar untuk bertanya. Mereka hanya menatapiku yang berdiri masih mencerna apa yang sedang aku lakukan.
'Mariot Hotel?'
Ah, aku berada di salah satu hotel mewah yang membuatku merasa salah tempat, karena bukan hotel yang ingin kutuju tapi kantor suamiku.
'Sedang apa aku di sini?'
Tubuhku langsung kaku saat kesadaranku kembali. Mungkin, wajahku sudah seperti lembaran kertas putih yang pucat sampai seseorang menyapaku.
Aku yang menoleh, bahkan tak jelas mendengar apa yang ia tanyakan sampai ia mengajakku duduk di sofa empuk yang rasanya membuat tubuhku menjerit dalam bisu.
Detik berganti.
Waktu berputar begitu lama dan mataku selalu memandangi lift yang berbunyi, berharap suamiku ada di antara lift yang terbuka.
Namun, suamiku tak ada di sana begitupun wanita yang datang bersamanya.
Wanita yang sejak pertama kali aku melihat potretnya di dalam kediaman suamiku, membuat diri merasakan perasaan tidak enak.
Wanita dengan kecantikan yang akan membuat semua mata menoleh dengan rasa iri dan kagum.
Wanita yang bisa memiliki segalanya hanya dengan menunjuk apa yang ia mau.
Aku terus menunggu, tidak perduli pada tatapan resepsionis yang sesekali bertukar pandang dengan satpam.
Mungkin, di hotel ini aku bukan wanita pertama yang menunggu suaminya turun setelah selesai dengan apa yang mereka lakukan.
Mungkin dua orang yang saling melirik itu juga menungguku menyerah, atau mungkin mereka menunggu waktu yang tepat untuk mengusirku sebelum aku melakukan hal yang akan membuat hotel mewah ini malu.
Tapi, aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan karena aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kurasakan kini. Kecuali tanganku bergetar dalam pangkuan.
"Minumlah."
Suara itu membuatku menoleh. Tapi, aku bahkan tak melihat wajah orang yang meletakan sebotol air mineral di tanganku. Yang kutahu, tangannya besar dan terlihat bisa diandalkan.
'Apa aku mengucapkan terima kasih?'
Kurasa iya, karena ia mengangguk dengan senyum yang membuatku bisa melihat baris giginya yang rapi saat ia tersenyum lalu berdiri.
Manusia yang wajahnya jadi tak jelas mondar-mandir silih berganti. Tapi, orang yang kutunggu tetap tidak keluar dari dalam lift yang berkali-kali terbuka dengan bunyi yang sudah kuhafal.
Ding!
Namun, aku terus menunggu, bahkan saat langit cerah menggelap. Aku tetap duduk di tempat sama. Memegangi botol air mineral yang masih tersegel.
PING!
Suara ponselku terdengar, dengan mata tak yakin aku membaca sebaris pesan yang dikirim suamiku.
Yang, aku tidak pulang malam ini. Maaf ya ibuk mendadak minta aku pulang. Have a sweet dream. Love you.
Tanganku bergetar, tapi jemariku tetap memenceti layar ponsel karena aku tahu suamiku masih memegangi ponselnya. Ia tahu aku sudah membaca pesannya.
Send.
Apa yang kukirim padanya membuatku merasa kalah seketika. Mataku perih dan panas, penglihatanku jadi berbayang, bibirku bergetar dan aku tak lagi bisa menahan tangisku.
Meski, aku masih tidak paham dengan apa yang sedang kurasakan kecuali rasa sakit yang rasanya begitu menyesakkan, aku menangis tanpa perduli sedang di mana diriku.
Aku terisak memegangi ponselku karena balasan "terimakasih ,Sayang." Yang rasanya begitu tak berjiwa.
Di lobi hotel bintang lima, tidak perduli apa yang di pikirkan orang tentangku, aku tersedu sendirian, aku terisak sendirian, aku menangis sendirian.
Aku hanya terus menangis.
Tapi, tidak ada yang berani mendekatiku. Begitupun satpam juga resepsionis yang sudah berganti. Mereka hanya saling menatap, berkata dalam bisu dan aku hanya terus menangis sampai airmataku tidak lagi keluar.
Apa yang sudah kukirim pada suamiku adalah satu kata singkat yang membuatku merasa aku mengizinkannya melukaiku.
Apa yang kukirim pada suamiku adalah satu kata yang membuatku merasa aku mengizinkannya melakukan apa yang sedang ia lakukan dengan wanita yang potretnya selalu membuatku merasa kecil.
Apa yang kutangisi adalah karena aku mengirimkan balasan 'ya' untuk suamiku yang kini sedang bersama wanita itu.
Yang kutangisi adalah karena Aku seorang istri yang memberi izin suaminya untuk berselingkuh.
'Aku bodoh, bukan? aku bodoh sekali, bukan?'
Tapi, apa yang harus kulakukan? saat yang kumiliki hanya suamiku.
Aku adalah anak yang dibuang di tempat sampah saat bayi.
Aku adalah anak yang tumbuh di dalam panti asuhan sampai besar karena tak seorangpun ingin mengadopsiku.
Aku adalah wanita yang tidak diinginkan keluarga suaminya karena statusku tidak jelas.
Aku adalah wanita yang tidak pandai bersosialisasi dengan orang lain.
Aku adalah wanita yang tumbuh dengan berbagi segala hal bersama anak lain yang tinggal bersamaku.
/0/15719/coverorgin.jpg?v=04c774416462a5b042d2024508454c3d&imageMogr2/format/webp)
/0/16914/coverorgin.jpg?v=7d8a807bc586068f1c685c037a9eb1a5&imageMogr2/format/webp)
/0/3470/coverorgin.jpg?v=b4e4b68400d024c43edc280d29846d09&imageMogr2/format/webp)
/0/15682/coverorgin.jpg?v=309d2c68cdf00ae1a052e743831ec10a&imageMogr2/format/webp)
/0/18360/coverorgin.jpg?v=0b2e1603fbce88128ccb2ce7e9ed3e5d&imageMogr2/format/webp)
/0/6261/coverorgin.jpg?v=89aecf99963c4dc0679f05c775639dce&imageMogr2/format/webp)
/0/6715/coverorgin.jpg?v=17cb27d8f6b2bed7165645b85523623f&imageMogr2/format/webp)
/0/9030/coverorgin.jpg?v=883fe3c7ef3c952d8025ab444c7ba36a&imageMogr2/format/webp)
/0/7183/coverorgin.jpg?v=2c7413fa5623c226eb15c56a42383ec6&imageMogr2/format/webp)
/0/8464/coverorgin.jpg?v=bb2fa6976040b74967606847f472435d&imageMogr2/format/webp)
/0/10988/coverorgin.jpg?v=0faf1f56ce1b16ce51c1b7c328343121&imageMogr2/format/webp)
/0/2353/coverorgin.jpg?v=ca42abac3b8baf56298ef01259a92c41&imageMogr2/format/webp)
/0/19217/coverorgin.jpg?v=9bc5732d7d827855db7ee5fcf0b96fa5&imageMogr2/format/webp)
/0/8667/coverorgin.jpg?v=935dd95c4efc2172a56d213d05525c5d&imageMogr2/format/webp)
/0/15160/coverorgin.jpg?v=67322a6b9774f084cd89dd3bd3030239&imageMogr2/format/webp)
/0/15407/coverorgin.jpg?v=eb52c08fedf92d47e98ef432bf8299d3&imageMogr2/format/webp)
/0/13056/coverorgin.jpg?v=4c5c425d88c3802dc6d1aad5d5a417f1&imageMogr2/format/webp)
/0/20438/coverorgin.jpg?v=f4ce88162c20b83c898310594ebee030&imageMogr2/format/webp)
/0/21376/coverorgin.jpg?v=d949948fe5197ff19b88206efd1aef1c&imageMogr2/format/webp)