/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)
"Bar, kamu ini kapan menikahnya sih, Nak? Mama sudah kepingin sekali menggendong cucu dari kamu. Michellia saja anaknya sudah mau dua. Masa kamu kalah sama adikmu? Umur kamu sudah tiga puluh tahun, lho."
Oryza Sativa Dewangga menegur putranya yang sedang duduk santai menonton televisi. Sebagai seorang ibu, ia resah karena putranya ini sama sekali tidak menunjukkan niat ingin menikah. Padahal usianya sudah sangat matang untuk berumah tangga.
"Mama kadang heran, papamu itu Don Juan sejati. Pacarnya tersebar merata di seluruh penjuru kota. Di setiap tikungan kompleks saja ada. Lah kamu, umur segini pacarannya cuma satu kali. Itu pun pada masa kuliah bertahun-tahun yang lalu. Perempuan di dunia ini tidak semuanya sama seperti Diandra, Nak. Nggak semuanya materialiatis seperti si Dian itu. Atau kamu mama jodohin saja ya?"
Ory yang duduk di seberang sofa mendekati putranya. Ia berusaha memudahkan jalan putranya untuk berumah tangga dengan cara menjodohkannya. Ia mempunyai banyak sahabat yang memiliki anak gadis cantik-cantik dengan akhlak yang baik-baik pula. Siapa tahu kelak ia bisa berbesanan dengan salah seorang dari sahabat-sahabat baiknya. Insya Allah.
Akbar pada masa kuliahnya dulu pernah berpacaran dengan Diandra Sasmita, teman sekampusnya selama hampir tiga tahun. Saat memasuki tahun ke tiga itulah, Diandra tiba-tiba saja meminta putus dari Akbar. Kabar terakhir Diandra menikah dengan seorang duda seusia ayahnya karena faktor harta. Semenjak kejadian itu Akbar menutup diri dari masalah asmara. Ia tidak bergeming walau didekati oleh wanita secantik apapun. Akbar seperti mati rasa. Ia dan suaminya sudah capek menasehati Akbar agar mau kembali membuka diri. Tetapi hasilnya tetap nihil. Akbar tetap teguh dengan pendiriannya.
"Menikah itu gampang kok, Ma. Yang susah itu cari jodohnya. Lagi pula menikah itu bukan masalah secepat-cepatnya Ma, tetapi setepat-tepatnya. Nikah kok main cepet-cepetan. Memangnya lomba lari?" Akbar menjawab santai pertanyaan ibunya sambil membuka laptop yang ada di samping sofa. Pekerjaannya menggunung sementara waktu satu hari dua puluh empat jam itu seakan-akan tidak cukup untuknya. Dan seperti biasa ia segera tenggelam dalam kesibukannya sendiri.
"Kalau kamu memang kesulitan mencari jodoh, Mama saja yang mengaturnya untuk kamu mau, Nak?" Akbar menghela nafas panjang. Kalau mamanya sudah mulai menambahkan kata Nak dalam kalimatnya, itu artinya ada permintaan yang tidak terbantahkan oleh wanita yang telah melahirkannya ke dunia tiga puluh tahun yang lalu ini.
"Ya sudah, Mama atur saja. Tetapi ingat, Mama tidak boleh memaksa kalau Akbar tidak sreg dengannya ya, Ma? Karena pernikahan itu kan sifatnya komitmen. Seumur hidup lagi. Jadi tidak mungkin Akbar menikah kalau Akbar merasa tidak cocok dengannya. Oke, Ma?" Akbar merasa sekali-sekali menyenangkan hati mamanya kan tidak salah? Masalah dia mau atau tidak menikah dengan wanita pilihan mamanya, itu kan bisa diatur. Yang penting telinganya selamat dulu dari nyanyian siang malam mamanya tentang jodohnya yang selalu tidak pernah terlihat hilalnya.
"Kamu itu sukanya wanita yang seperti apa, Nak?" Ory gembira sekali. Di kepala cantiknya sudah tersusun nama-nama kandidat wanita yang akan menjadi calon menantunya. Tinggal Akbar saja yang memilih salah satu di antara mereka.
"Akbar tidak ada type khusus, asal wanita itu bukan si Tria. Tidak lucu juga saat nanti Akbar minta dibikinin kopi atau sarapan pagi, kopinya malah diaduk pakai pisau dan nasi gorengnya dimasak dengan pedang alih-alih spatula. Akbar paling tidak suka wanita yang menyalahi kodratnya."
Akbar teringat dengan sosok gahar adik perempuan Tama, Naratria Abiyaksa yang sebenarnya dulu sempat ditaksirnya. Hanya saja selain Tria sudah memilih laki-laki lain, dandanan Tria juga kerap membuatnya sakit mata. Semakin dewasa Tria, penampilannya semakin gahar saja. Ia ilfeel melihatnya. Ngomong-ngomong soal Tama, setengah jam lalu sahabatnya itu baru saja curhat soal batalnya pernikahannya. Ternyata pacarnya berselingkuh dengan Raphael, pacar Tria, adik kandungnya. Double jack pot banget sakitnya kan? Itulah perempuan dengan segala keabsurbannya. Diberikan laki-laki yang baik, malah memilih bad boy. Apabila sudah tersakiti, baru lah mereka berkoar-koar mengatakan bahwa semua laki-laki sama saja. Aneh bukan?
"Lho kenapa dengan Tria, Bar? Anak Om Aksa dan Tante Lia itu kan cantik sekali?" Ory mengerutkan keningnya. Akbar sepertinya antipati sekali terhadap Tria. Padahal Tria itu anak yang baik dan cantik. Mirip sekali dengan ibunya. Termasuk juga hobbynya yang menggemari balap mobil dan ilmu bela diri.
"Cantik? Iya. Baik? Mungkin saja. Tapi Akbar sangat tidak suka melihat ketomboyannya. Tria itu tidak pernah sekalipun memakai rok kan, Ma? Sikapnya juga tidak ada manis-manisnya. Tria itu kasar seperti preman pasar. Akbar ilfeel dengan type wanita yang seperti itu. Akbar sampai merasa kalah gagah dari Tria."
Kalimat Akbar membuat Ory tertawa geli. Tria ia memang tomboy sampai ke partikel syarafnya. Tapi mau bagaimana lagi, si Lia juga seperti itu penampakannya. Tidak heran kalau putrinya menuruni sifatnya.
"Ya sudah. Kalau kamu tidak suka dengan yang type tomboy begitu, Mama akan mencari wanita yang lemah lembut seperti putri keraton. Duh Mama jadi tidak sabar ingin mengendong cucu dari kamu, Bar!" Mata Ory berbinar-binar saat membayangkan ia akan mendapatkan cucu-cucu yang lucu dari Akbar.
"Astaga Mama... Mama... jodohnya saja belum kelihatan hilalnya, ini Mama malah sudah membayangkan menggendong cucu segala." Akbar menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eh Akbar keluar sebentar ya, Ma? Akbar mau ke rumah Benny. Ada beberapa berkas yang ketinggalan di rumahnya. Mungkin Akbar pulang agak malam. Soalnya Akbar harus membahas masalah pekerjaan di sana." Akbar meraih kunci mobil di meja buffet dan menyalami mamanya.
"Akbar berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam. Hati-hati di jalan, Bar. Ini sudah malam." Akbar menjawab pertanyaan mamanya dengan menunjukkan jempolnya. Akhirnya ia selamat dari topik perjodohan yang memusingkan kepalanya.
==================================
Tria mengendarai HONDA NSX GT3-nya dengan kecepatan maksimal. Ia galau dan depresi berat. Ia masih sulit mempercayai kalau Raphael sanggup menghianatinya seperti ini. Hatinya remuk saat memergoki Rahpael tengah bercumbu mesra dengan calon kakak iparnya sendiri, Karina Winardi. Padahal kurang dari sebulan lagi kakaknya, akan menikahinya.
Bayangan yang ia saksikan di apartemen tadi tidak bisa lepas dari kepalanya. Pemandangan saat Rapha dan Karina yang buru-buru mengenakan pakaian saat terciduk kembali mengait emosinya. Ia memukul stir mobil berkali-kali. Mencoba melampiaskan emosi yang tak kunjung reda. Tetapi bayangan itu tidak bisa hilang juga. Ia dan Raphael sudah berpacaran hampir setahun lamanya. Ia sudah terbiasa dengan kebersamaan mereka yang semakin hari sepertinya semakin serius. Raphael juga telah memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya.
Yang membuatnya berbesar hati adalah kedua orang tua Raphael tidak pernah mempersoalkan penampilan tomboynya. Mereka berdua wellcome-wellcome saja. Bu Miranti, ibu Rapha bahkan sudah sering menyinggung-nyinggung kapan ia bersedia dilamar. Bayangkan, seperti apa hancurnya perasaannya tadi saat melihat peristiwa yang setitik debu pun tidak pernah diduganya. Sebenarnya ia tadi hanya ingin mengambil bindernya yang tertinggal di apartemen Raphael. Ia memang sudah tahu password apartemen Rapha yang merupakan gabungan dari tanggal lahirnya sendiri. Makanya ia pun masuk ke dalam kamar begitu saja. Dulu Rapha mengatakan itu adalah sebagai tanda cintanya kepada dirinya. Cinta? Cinta taik kucing. Cuihh!
Walaupun tadi ia shock, untungnya ia masih sempat merekam aktifitas kedua penghianat menjijikkan itu walau hanya beberapa menit. Tetapi setidaknya ia sudah memiliki bukti. Saat itu juga ia mengirimkan video menjijikkan itu pada kakaknya.
Ia tahu kakaknya pasti mengamuk saat melihat video yang ia kirimkan. Karena ia melihat Karina tiba-tiba saja menerima panggilan telepon dan menghiba-hiba memohon maaf pada kakaknya. Ia yang tidak ingin melihat drama receh itu lebih lama lagi, segera meninggalkan apartemen. Ia menulikan telinganya dari Raphael yang terus saja berusaha meminta maaf dengan suara terbata-bata.
"Gue minta maaf Tri, gue khilaf. Gue terbawa suasana. Beri gue kesempatan untuk memperbaiki kesalahan gue, Tri. Gue berjanji nggak akan mengulanginya lagi." Raphael yang terus mengekori langkahnya di sepanjang lorong apartemen mulai berprilaku sama seperti Karin tadi. Menghiba-hiba memohon maaf. Seperti inilah kelakuan para pecundang. Mati-matian mencari alasan dan terus saja menyalahkan keadaan. Sampah!
"Lo bilang apa tadi Raph? Khilaf? Lo kira gue anak SD yang bisa lo kibulin mentah-mentah? Desahan uh ah oh yes oh no gitu lo bilang khilaf? Kalo mau ngibul all out dong, Raph. Jangan nanggung! Jadi keliatan banget kan gobloknya? Denger ya Raph, mulai hari ini kita putus! Dan inget, lo jangan deket-deket gue lagi kalo lo nggak kepengen junior lo gue bikin sate!"
/0/2631/coverorgin.jpg?v=eaa6718167fd3ce990121f25fa01a958&imageMogr2/format/webp)
/0/2624/coverorgin.jpg?v=e6f881395758d217272b9b32d202169e&imageMogr2/format/webp)
/0/2861/coverorgin.jpg?v=4cb1622da09fa516b5e1b4b7dfd2247e&imageMogr2/format/webp)
/0/17563/coverorgin.jpg?v=7266e4075eb37c48a5309bd3afef1cfe&imageMogr2/format/webp)
/0/24645/coverorgin.jpg?v=91b6eb3fa45ac33f191824f709ee3b72&imageMogr2/format/webp)
/0/18757/coverorgin.jpg?v=45534e54ad36109b6f207435dbe4052f&imageMogr2/format/webp)
/0/2832/coverorgin.jpg?v=98e6c4c98c752164cf20c222a90d35ae&imageMogr2/format/webp)
/0/2596/coverorgin.jpg?v=2c7522c9f3ed3a9911a4df0ee2fccf0a&imageMogr2/format/webp)
/0/8908/coverorgin.jpg?v=800e60c90f2919a853d22d5ca40b66b0&imageMogr2/format/webp)
/0/5593/coverorgin.jpg?v=fe6e852727fb0cd06f392a8b50df6ff5&imageMogr2/format/webp)
/0/7113/coverorgin.jpg?v=c33b0f5fd43cfe98097da6b6cebf6198&imageMogr2/format/webp)
/0/16199/coverorgin.jpg?v=970aed5fb0497637d2eb4a6e422a511d&imageMogr2/format/webp)
/0/17410/coverorgin.jpg?v=cca9c90c68212c5cc1597d5bad5e3f0a&imageMogr2/format/webp)
/0/2115/coverorgin.jpg?v=e4ae29ff6d52435c428aad2b450be390&imageMogr2/format/webp)
/0/5105/coverorgin.jpg?v=b82df08457b67fdcf0f6700562d10443&imageMogr2/format/webp)
/0/9053/coverorgin.jpg?v=943ff6f42d41ba2954e161eeb8af226a&imageMogr2/format/webp)
/0/13761/coverorgin.jpg?v=51175a6ef2d460edacd26710dab0aa36&imageMogr2/format/webp)
/0/21420/coverorgin.jpg?v=1084bf2b1d67a1b873d602531be6eead&imageMogr2/format/webp)
/0/8703/coverorgin.jpg?v=e51ed7fec47989034f7631dc60a2851f&imageMogr2/format/webp)