Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Namanya Reina Fillosa, gadis cantik nan manis dengan lesung pipinya. Rambutnya yang hitam dan panjang selalu tergerai sempurna. Bulu mata lentik dari lahir, bibir tipis yang selalu tersenyum manis dan sorot mata yang selalu hangat.
Sayangnya wajah cantik itu tidak didukung dengan kemampuan otak yang memadai. Reina sangat lemah di hampir semua mata pelajaran. Gadis itu tidak suka menghitung, tidak suka teori yang panjang seperti Sejarah dan bahasa Indonesia. Tidak juga suka dengan olahraga, apalagi gurunya yang berkumis tebal.
Seperti pagi hari ini, seluruh siswa kelas dua belas IPS dua diminta untuk berlari mengelilingi lapangan basket sebanyak dua kali sebelum melakukan lempar cakram. Di antara mereka, Reina berada di urutan paling belakang. Bisa dikatakan gadis itu tidak berlari, sebab langkahnya nyaris seperti berjalan santai.
Priiiiiit!
“Reina! Lari!” seru pak Darma dari pinggir lapangan. Pria paruh baya berkumis tebal itu bercak pinggang menatap lurus pada Reina. Sudah sebal benar dengan tingkah muridnya itu.
Bukannya berlari Reina justru mendengus kesal. “Bapak tahu sendiri kalau saya enggak berbakat di bidang olahraga.” tutur Reina yang kini berjalan di tepi lapangan. Bulir-bulir keringat tampak di wajahnya. Reina mengusap pelipisnya yang berkeringat dengan punggung tangannya.
“Memangnya kamu mau nilai olahraga kamu dapat enam lagi?”
“Ya ampun Pak, tiap semester juga nilai olahraga saya selalu enam.” ucap Reina pasrah tapi, ucapannya itu memang benar. Nilai Reina sepertinya sudah tidak tertolong.
“Ahahahaha.” Teman-teman sekelas Reina langsung tertawa mendengar penuturan gadis itu. Mereka semua tahu bagaimana Reina yang tidak menyukai olahraga. Bahkan perdebatan Reina dengan pak Darma pun bukan lagi hal aneh bagi mereka.
Setelah mereka selesai memutari lapangan basket, kini mereka beristirahat sejenak sambil menunggu pak Darma mengabsen satu persatu sebelum maju untuk melakukan lempar cakram. Mereka duduk-duduk di tepi lapangan secara berkelompok.
“Abdi Arjuna Laksana.” panggil pak Darma mengabsen siswa pertama untuk melakukan praktik lempar cakram. Siswa bertubuh tinggi tegap itu segera berdiri mengambil benda bundar terbuat dari besi. cowok itu berdiri di garis putih sebagai tanda start untuk melempar cakram.
Lengan kaos olahraga yang pendek digulung sampai ke pundak menampakkan otot-otot kekar cowok itu. Rambutnya yang hitam pekat terlihat sedikit mengkilap karena sorotan matahari.
Siapa pun akan terpesona melihat sosok Abdi, apalagi saat ini dalam kondisi berkeringat. Itu membuatnya tambah seksi. Tak sedikit murid perempuan mengagumi Abdi.
Salah satunya Mia. “Rein, Abdi sudah punya pacar belum?” tanya Mia teman sekelas Reina. Cewek cantik bermata sipit itu memang menggemari cowok-cowok ganteng.
“Mana aku tahu, aku kan sukanya tempe.” jawab Reina acuh tak acuh. Paling malas memang jika ada temannya yang bertanya tentang Abdi.
“Ih, kamu itu kan sepupunya. Seharusnya tahu dong.”
“Iya, tapi aku enggak suka kepo. Gak suka ikut campur urusan tuh anak, urusan hidup aku saja banyak dan bikin aku pusing. Mana sempat mengurusi hidup Abdi.”
“Jadi curcol deh.” Seloroh Mia kesal.
Mereka kembali fokus pada Abdi yang melakukan lemparan sempurna. Semua siswa bersorak untuk cowok itu. Reina mulai merasakan sesuatu mulai mendesak untuk segera dikeluarkan. Gadis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Pak, ke toilet dulu ya, kebelet nih.”
“Kebiasaan banget setiap olahraga pasti kebelet. Sudah sana!”
“Terima kasih, Pak!”
Langsung saja Reina bergegas menuju kamar mandi. Dia berlari terburu-buru karena takut celananya basah. Sangat memalukan jika dirinya harus mengompol di saat usianya sudah menginjak remaja. Kebiasaan Reina yang ke kamar mandi dengan terburu-buru juga sudah terkenal.
Rambutnya dikepang kuda bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti hentakkan langkah kaki Reina yang tergesa. Reina benar-benar seperti anak kecil yang akan segera mengompol di celana.
Begitu sampai di pintu toilet gadis itu langsung saja masuk tanpa melihat tanda yang terpasang di depan pintu masuk. Reina kemudian masuk ke salah satu bilik di dalam kamar mandi tersebut. Duduk dengan tenang di atas kloset. Sesaat kemudian raut lega terlihat di wajahnya.
“Untung aja aku enggak sampai mengompol,” ucap Reina lirih.
Selesai dengan urusan daruratnya, Reina membuka pintu bilik, namun dia langsung terkejut begitu melihat seorang siswa sedang berdiri menghadap dinding khusus urinoar, sedang buang air kecil.
“Arrrgghhh!!!”
Sontak saja teriakan gadis itu membuat siswa itu buru-buru membenahi dirinya. Sama seperti Reina siswa itu pun terkejut bukan main karena ada siswi perempuan di kamar mandi khusus murid lelaki.
“Aku enggak lihat! Aku enggak lihat.” ucap Reina sambil menutup mata dengan kedua tangannya dan mundur perlahan-lahan tapi, dia mengintip wajah lawan bicaranya lewat celah-celah jari tangannya.
“Lihat apaan?” tanya siswa laki-laki itu dingin. Matanya yang hitam menatap Reina tajam. Membuat siapapun merasa terintimidasi olehnya.
“Punya kamu, eh? enggak.. enggak maksud aku lihat, eh! Bukan! Aku enggak lihat punya kamu. Sumpah aku enggak lihat!”
Kegugupan Reina itu justru membuat siswa laki-laki itu semakin yakin kalau Reina melihat sesuatu. Perlahan siswa itu mendekati Reina, lalu menarik lengan gadis itu dengan kasar sampai dia bisa melihat dengan jelas wajah Reina.
Reina yang gugup hanya bisa menutup matanya rapat-rapat. Tidak sanggup jika harus melihat wajah cowok itu secara langsung. Hembus nafas yang menerpa wajahnya saja sudah membuat Reina gugup.
Riga, cowok itu menatap Reina geram. Baru saja ingin melepaskan Reina, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.
“REINA! RIGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” teriak Bu Kumala Sari dari ambang pintu masuk ketika melakukan sidak selama jam pelajaran berlangsung karena biasanya para siswa akan menggunakan kamar mandi untuk alasan mereka bolos.
Sontak saja hal itu membuat Reina segera melepaskan tangannya dari Riga. Cewek itu mendekati guru dengan sanggul yang selalu menghiasi belakang kepalanya.
“Sa-saya tadi lihat punya dia, eh.. enggak! maksud saya tadi saya sama dia pipis bareng, Ya Tuhan! Bukan gitu Bu.” Spontan Reina memukul mulutnya sendiri yang tidak bisa menjelaskan dengan baik.
“Ikut ibu ke kantor SE-KA-RANG!” bu Kumala Sari melenggang pergi. Tak mau tahu dengan alasan yang Reina katakan. Tubuhnya yang terlihat montok itu seakan bergerak dibalik pakaiannya.
Reina merutuki dirinya sendiri yang mudah sekali gugup. Dia sangat kesal dengan kebodohannya sendiri ditambah lagi sepertinya cowok bernama Riga itu tak berniat sedikit pun untuk menjelaskan sesuatu pada guru tersayang mereka yang terkenal seperti pembunuh berdarah dingin.
Dengan wajah menunduk kesel Reina menyeret langkahnya mengikuti bu Kumala Sari. Tragis nasibnya hari ini.
***
“Kamu kenapa sih enggak jelasin apa-apa sama Bu Kumsar?” tanya Reina kesal sambil terus mendorong alat pel-nya maju mundur. “Bilang kalau itu kecelakaan, kita enggak ngapa-ngapain, kan setidaknya kita gak bakal berakhir berdua di toliet ditemani sama alat pel dan ember ini,”
Reina memasukkan alat pel ke dalam embernya secara asal, lalu mengeluarkannya dengan kasar. Cewek itu benar-benar kesal dengan kejadian yang menimpanya hari ini. Dia menghentikan kegiatannya, tubuhnya terasa panas dan berkeringat. Reina mengambil ikat rambut dari kantong seragamnya lalu mengikat rambutnya secara asal.
Sedangkan cowok bernama Riga itu hanya diam saja seolah pasrah dengan hukuman yang diberikan oleh guru mereka. Meski sebenarnya dia kesal bukan main pada Reina yang tak berhenti bersuara itu. Cowok satu itu tetap dengan alat pelnya, fokus dengan hukumannya.
“Kamu kenapa kok diam saja? Bisu?” Reina kembali bersuara dan Riga sama seperti sebelumnya tak menanggapi ucapan Reina. “Kayaknya kamu sungguhan bisu deh, masa dari tadi aku terus yang mengoceh sih, kan aku capek,”
Siapa juga yang suruh kamu mengoceh
Riga membatin. Sesaat cowok itu memperhatikan Reina yang tampak tak pernah lelah. Cowok itu yakin Reina pasti punya baterai cadangan di punggungnya agar tidak kehabisan daya untuk bicara.
“Harusnya tuh ya aku sudah di rumah, lagi makan masakan bunda yang super enak. Bukannya terdampar di kamar mandi kayak begini. Ih, sumpah baru kali ini aku sial,” Reina menjeda kalimatnya. Dia menghentikan kegiatannya seperti sedang memikirkan sesuatu. “Eh? Kalau nilai jelek itu termasuk sial enggak ya? Kalau iya, berarti hidup aku sial terus dong.” ucapnya pada diri sendiri.