Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Yogyakarta, 26 Maret 2018
Apa yang terlintas dalam pikiran orang-orang disaat mendengar kota Yogyakarta? Kota Wisata? Kota Gudeg? Kota seniman? Ataukah kota pelajar? Benar. Semua julukan tersebut benar dan memang di tujukan untuk Kota yang memiliki keistimewaan tersebut. Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, Yogyakarta memang dikenal dengan sebutan kota pelajar karena memang sistem pendidikan disana dikenal baik dan teratur.
Memiliki sebutan sebagai kota pelajar membuat Yogyakarta selalu menempati peringkat pertama dalam daftar peminat pendidikan dan tentu saja hal tersebut menjadi anugrah bagi para pelajar yang memang terlahir di tanah Keraton itu. Terutama bagi mereka yang memiliki impian dan cita - cita besar dalam hidupnya.
Seperti gadis ini. Gadis yang baru berusia 19 tahun dan baru enam bulan menempuh pendidikan S1 nya, termasuk seorang yang beruntung karena terlahir di kota yang diminati oleh para pelajar Indonesia. Tapi sepertinya, gadis ini tidak merasa seberuntung itu karena Ia memiliki tantangan tersendiri dalam hidupnya. Ia benar-benar merasa muak dengan kehidupannya yang selama bertahun-tahun serba diatur dan terkekang hanya dengan alasan Ia adalah anak terakhir dalam keluarganya dan dituntut oleh kedua orang tuanya untuk mengikuti jejak sang kakak. Terkadang Ia ingin memberontak namun Ia sadar bahwa semua tak ada gunanya.
“Sisi. Sarapan dulu sini nak.” Sang mamah yang sudah duduk di meja makan bersama dengan Suami dan anak pertamanya pun memanggil Sisi -si anak bungsu itu- yang baru saja turun dari tangga.
Sisi yang sudah membalikkan badan ingin segera berangkat ke kampusnya pun berhenti sejenak dan menatap sang mamah dalam jarak yang cukup jauh. “Sisi nggak laper.”
“Tapi, Si.”
“Sisi berangkat.”
“Kamu naik apa? Mau dianter sama Ayah atau bareng sama Mas? Mobil yang biasa buat anter jemput kamu masih di bengkel, Si.”
Sisi membalikan badannya dan melangkah menuju pintu. “Ngesot mah!”
‘BRAK’
Mendengar jawaban ketus Sisi yang kemudian disertai suara bantingan pintu utama rumah sontak membuat semua yang ada di meja makan terdiam dan memilih melanjutkan sarapannya kembali. Seolah tidak peduli dan tidak mau tahu apa yang membuat Sisi seperti itu.
- stairs in the north -
Sisi duduk disebuah taman yang tak jauh dari komplek perumahannya. Ia terdiam sendiri sambil menikmati suasana sunyi yang ada disekitarnya. Sisi melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
07.15
Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kampusnya, mengingat mata kuliah pertamanya akan dimulai pukul 08.30 nanti. Mungkin sebagian orang yang memiliki waktu sebelum berangkat yang masih cukup lama seperti Sisi, mereka akan menggunakannya untuk bersantai terlebih dahulu di rumahnya. Namun Sisi memilih pergi dan berangkat dengan cepat karena sejujurnya, Ia malas berada dalam ruang lingkup yang sama dengan keluarganya yang setiap hari hanya bisa men-judge dirinya bahkan menceramahi Sisi habis habisan dengan topik yang sama. Yaitu, Ia harus menjadi seorang Sarjana Ekonomi dengan alasan, Ia dan kakaknya akan menjadi penerus perusahaan keluarga. Sisi benar benar muak dengan itu semua hingga tanpa sadar, Ia seperti kehilangan dirinya sendiri karena terlalu mengikuti apa yang keluarganya katakan.
Karena hidupnya yang serba diatur dan ditekan, membuat Sisi menjadi sosok yang dingin dan kasar pertanda itu adalah pemberontakannya. Namun sepertinya satupun tidak ada yang memahami kecuali satu orang yang selalu datang disaat Sisi benar-benar merasa terpojok.
Tumben deh nih anak belom nge chat gua. Batin Sisi.
TRING
Notifikasi dari Handphone Sisi berbunyi menandakan sebuah pesan masuk dan membuyarkan lamunan Sisi. Dengan segera Sisi mengambil Handphone nya dan membuka pesan tersebut.
Bima : Ngapain sendirian woe? Kesambet demit tau rasa luh. Sini buruan! Gua ada di seberang taman.
Sisi tersentak kaget saat membaca pesan tersebut. Bagaimana bisa Ia tahu bahwa Sisi sedang sendirian di taman itu? Dukun kali ya nih orang?
Dengan segera, Sisi pun memakai tas nya dan bergegas menuju ke seberang taman.
- stairs in the north -
‘BRUK’
Sebuah bundelan besar yang berisikan berbagai macam sketsa gambar rancangan rumah modern digelindingkan begitu saja oleh laki-laki berlesung pipi itu ke kolong tempat tidurnya. Bundelan itu rupanya barang yang sangat Ia benci dan juga Ia harapkan supaya menghilang saja dari dunia ini, meski rasanya mustahil. Oleh karena itu Ia memilih menjebloskannya ke kolong tempat tidur.
Biarin dimakan tikus deh. Anggap aja sedekah sama tikus.
“Sarwa.” Panggil seorang wanita yang berwajah keibuan setelah membuka pintu kamar Sarwa -laki laki itu-. Sarwa yang masih berjongkok pun lantas segera berdiri dengan wajah terkejutnya.
“Iya Mih?”
“Buruan berangkat. Papih nungguin tuh dibawah.”
Sarwa memutar bola matanya jengah. “Sarwa udah gede mih. Sarwa bisa berangkat sendiri.”
“Tapi Papih kamu-”
“Takut kalau Sarwa ke studio musik?”
“Sarwa-” Belum selesai Mamihnya berbicara, Sarwa langsung mengeluarkan kunci motornya dan mencium tangan sang ibu.
“Sarwa berangkat mih. Assalamualaikum.” Pamit Sarwa lalu keluar dari kamarnya.
“Sarwa. Dengerin mamih dulu.” Mamih pun menyusul Sarwa yang sudah menuruni anak tangga. “Nanti papih akan marah lagi sama kamu kalau kamu susah diatur.”