Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
"Jangan egois, Kim Liu. Kalau ibumu pergi, kamu yang akan menyesal," hardik Paman Shin dengan rahang mengeras.
Liu hanya bisa menutup telinga dengan kedua tangannya, ia benar-benar sudah menangis kali ini. Tangis yang sedari tadi ditahannya di dalam ruangan.
"Teganya Paman berkata tentang kematian ibu di hadapanku di saat ibu masih bernafas di dalam sana? Pantaskah Paman menyebut diri Paman sebagai seorang adik ipar? Paman dan Bibi ternyata sama saja," cerca Liu kesal.
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk kakak iparku. Jangan munafik, semua orang tahu bahwa waktunya tak lama lagi."
Liu terdiam. Benar, waktu ibunya memang tak lama lagi. Ibunya sudah berkali-kali kritis, minggu ini saja sudah empat kali ia dipanggil karena ibunya kejang-kejang. Dokter bahkan sudah meminta para keluarga untuk bersiap merelakannya.
Ia pun segera beranjak, meninggalkan paman egois yang sekarang sibuk dengan ponselnya. Liu menemui sang ibu lagi yang kini sudah tertidur pulas di kamar rumah sakitnya. Entah tertidur lelap atau memang sedang tak sadarkan diri karena menahan sakit, Liu tak tahu.
“Ibu, kenapa ibu setega ini?” lirihnya.
“Aku sudah cukup tersiksa selama ini, Bu. Tidak cukupkah dengan menjadikanku boneka selama dua puluh lima tahun ini? Kenapa sesulit ini permintaanmu? Ibu tidak pernah memberikanku pilihan, aku selalu hidup dalam hukum mutlak yang ibu buat sendiri.”
Digenggamnya tangan sang ibu yang masih tepasang infus. Liu baru sadar, tangan itu sudah kurus kering seperti tulang yang terbalut kulit saja. Tumor otak yang ibunya derita memang terlambat didiagnosis karena ibunya sibuk bekerja, begitupun dirinya. Rasa sesal tiba-tiba menyeruak di dadanya, membuatnya kembali bimbang dan dilema dengan permintaan terakhir sang ibu.
“Ibu... aku harus apa?” bisik Liu sambil mencium tangan ibunya.
Ia sebetulnya kesal, tapi ia juga mencintai ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Karena ibunyalah satu-satunya keluarga dekat yang ia punya. Ayah Liu sudah meninggal saat ia berusia tiga tahun. Ibunya tak pernah suka jika Liu membicarakan sang ayah.
Sejak kecil, Liu tak pernah berkata tidak pada ibunya, ia terbiasa . Mulai dari memilih tempat bersekolah, mengikuti sembilan jenis les diuar pelajaran, memilih jurusan hukum saat berkuliah, hingga memilih pekerjaan sebagai seorang pengacara, semuanya diatur oleh sang ibu. Liu hanyalah boneka hidup.
Keluarga besar yang cukup dekat dengan sang ibu hanyalah Paman dan Bibi Shin yang menurut Liu hanya memanfaatkan kesempatan di balik dilema perjodohannya. Pasalnya, menurut Bibi Shin, lelaki yang akan dijodohkan dengannya adalah seorang anak konglomerat primadona seluruh negeri. Tapi, Liu tak peduli. Kata “menikah” bahkan tak ada di kamus hidupnya.
“Bibi dan Paman Shin pasti berniat menguras harta laki-laki malang itu,” gumam Liu.
---
“Maaf, Bibi Shin, tapi aku sudah katakan kalau aku menolak perjodohan ini. Aku mohon, pulanglah,” protes Liu pada sang bibi yang baru saja memberikan nomor telepon laki-laki yang akan dijodohkan dengannya pada selembar kertas.
“Bodoh, dia bisa menjamin hidupmu dan bahkan hingga anak cucumu tujuh turunan sekalipun. Kamu munafik sekali, Liu.”
Bibi Shin memelankan suaranya saat seorang perawat menatap mereka dengan tatapan sinis.
“Aku tidak tertarik,” jawab Liu yang kini menyandarkan kepalanya di sisi ranjang sang ibu.
“Dia bukan sembarang orang, Liu. Julukannya adalah ‘CEO 1 Miliar Won’ dari TJ Gr-“
“Aku tidak tertarik,” potong Liu lagi, kembali menarik perhatian perawat yang kini menyuruh mereka untuk tenang dengan gerakan tangan.
Bibi Shin mendecih kesal, ia meraih tangan Liu dengan paksa dan menyerahkan selembar kertas itu di tangannya. Kim Liu bersikap masa bodoh, dirematnya kertas itu yang langsung ia kantongi di saku jaketnya.
“Oke, sudah aku terima, kan? Sekarang lebih baik Bibi pulang, restoran pasti ramai.”
Restoran itu adalah milik ibu Liu, namun dikelola oleh paman dan bibinya sejak ang ibu jatuh sakit. Sedangkan Liu sendiri sibuk bekerja menjadi seorang pengacara publik yang hari-harinya dipenuhi dengan kasus-kasus para klien.
“Kak Hyesu, jangan khawatir. Akan aku pastikan Kim Liu menikah dengan pria itu,” bisik Bibi Shin di telinga ibu Liu yang masih terpejam.