Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
“Sekali lagi, aku ucapkan selamat untuk pernikahanmu, Diaz.”
Demikian perkataan seorang pria bernama Jeno. Dia dan ketiga temannya tengah berkumpul di sebuah klub malam.
Ardiaz, Delvin, Jeno, dan Adam. Keempatnya adalah sekumpuan pria tampan yang sukses di bidangnya masing-masing. Mereka sudah terbiasa berlangganan tempat VIP di Honey Night, sebuah klub malam yang terletak di lantai teratas sebuah hotel mewah. Para wanita mengantre untuk bisa satu kamar bersama mereka.
Namun, kali ini, tidak ada satu pun gadis yang menemani sebab mereka tengah merayakan pesta bujang untuk salah satu anggotanya, Ardiaz.
“Masih terlalu cepat untuk mengucapkannya,” ujar Diaz, mencoba tidak terlalu meninggi meski bibirnya tidak berhenti menahan senyum.
“Ngomong-ngomong, kudengar Nenekmu akan memberikan setengah dari sahamnya di perusahaan sebagai hadiah pernikahanmu?” sahut Adam, tampak takjub.
Perkataan itu membuat Diaz semakin tersenyum puas. Dia sedang berada di puncak kejayaannya. Ia akan segera menikah, dan ia mendapat hadiah besar dari neneknya. Itu hanya permulaan. Neneknya juga menjanjikan Diaz yang akan menjadi pewaris jika dia berhasil mendapatkan seorang istri.
“Kau benar-benar berhasil. Biar aku tuangkan satu gelas lagi untukmu.” Delvin, pria yang tidak kalah tampan dengan kemeja putihnya yang kasual, itu mengangsurkan sebotol minuman.
Diaz dengan senang hati menerima tawaran itu. Delvin mengisi gelas sahabatnya itu, kemudian keempatnya mengangkat gelas.
“Untuk pernikahan dan kesuksesan Diaz.” Mereka bersulang, dan Diaz tersenyum puas.
Besok, dia benar-benar akan berada di puncak kegemilangannya. Dengan seorang istri dan jabatan yang menjanjikan.
Sementara itu, beberapa lantai di bawah mereka, seorang gadis tampak tengah berlari dengan terburu-buru.
“Kamar nomor berapa?” tanya Shenna, seorang gadis dengan rambut pendek sebahu dan bertubuh kecil, tetapi lincah itu.
“Nomor 406!” jawab sahabatnya melalui telepon. “Lagi pula, bagaimana bisa kau meninggalkan alat make upmu dan membuatnya tertukar dengan milik pengantin?”
“Aku tidak sengaja melakukannya!” jawab Shenna, kemudian mulai bergegas menuju nomor kamar yang disebutkan.
“Masih untung pengantinnya langsung sadar dan meninggalkannya di kamar hotel. Jika dia membawanya ke Hawai untuk bulan madu, bisa tamat riwayat kamu, Shenna!” ujar Aul, sahabat Shenna.
“Aku sudah menemukan kamarnya. Akan kuhubungi nanti!” seru Shenna, kemudian langsung memutus panggilan telepon tersebut.
Di hadapannya, terlihat pintu kamar bertuliskan nomor 406. Shenna mencoba membukanya dan matanya langsung berbinar saat pintu itu tidak dikunci. Tanpa menunggu lama, dia memasuki kamar tersebut.
“Kau terlihat tidak baik, Ardiaz,” ujar Jeno saat mereka tengah bersenang-senang. Tiba-tiba tatapan Ardiaz terlihat sayu dan napasnya terdengar berat.
“Mendadak kepalaku terasa pusing,” ujar Ardiaz dengan pucat, “Sepertinya, aku akan langsung kembali ke kamar.”
“Aku akan mengantarmu,” tutur Delvin sambil menaruh gelasnya yang berisi minuman, tetapi Diaz cepat-cepat menggeleng.
“Kau lanjutkan saja. Aku bisa kembali sendiri. Berapa nomor kamarnya?” tanya Ardiaz. Kepalanya terasa semakin berat dan pusing.
“406,” jawab Delvin dan Ardiaz langsung berlalu pergi dengan tubuhnya yang terasa semakin limbung.
Di sisi lain, Shenna merasa curiga saat mendapati kamar itu dalam keadaan gelap, seperti tak berpenghuni. Pemiliknya memang sudah pergi untuk berbulan madu beberapa menit lalu, tetapi Shenna tidak menyangka jika kamarnya akan ditinggal dalam keadaan gelap gulita, padahal Shenna sudah berpesan akan datang cepat.
“Dia bilang barangnya di meja rias di kamar,” gumam Shenna pada dirinya sendiri seraya berjalan menuju kamar. Namun, dia tidak menemukan apa pun di sana.
Gadis itu mengernyitkan alis, kemudian mulai mencari-cari. Dia hanya menyalakan lampu di kamar tersebut sebagai penerangan, tetapi nihil. Alat riasnya tidak ditemukan di mana pun.