Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Hamil dengan Mantan Bosku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Perjalanan Menjadi Dewa
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Cerita dewasa
Di sebuah pemakaman militer sedang diadakan upacara pemakaman. Terlihat peti mati yang diselimuti bendera kebangsaan telah berada di atas tanah merah yang telah digali, dengan ditopang oleh beberapa bilah kayu.
Di sisi kanan dan kiri peti mati telah berjejer beberapa anggota militer yang akan bertugas melakukan tembakan salvo sebagai bentuk penghormatan terakhir pada jenazah rekan mereka.
Semua pelayat maupun peserta yang hadir di pemakaman terlihat hening menunggu para anggota militer itu selesai dengan persiapan mengebumikan janazah. Namun tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara helikopter membuat sejenak para pelayat itu mengalihkan perhatian dari peti jenazah yang ada di hadapan mereka.
Awalnya mereka mengira kalau helikopter itu membawa salah satu pejabat militer untuk menghadiri pemakaman. Ternyata mereka salah karena helikopter itu justru mendarat di sebuah bukit yang tidak cukup dekat namun juga tidak cukup jauh dari lokasi tempat pemakaman militer itu dilaksanakan.
"Siapa?" bisik seorang pejabat militer yang hadir pada pria berpangkat Jenderal yang juga merupakan ayah dari mendiang jenazah yang akan dimakamkan.
Dilihat dari tanda kepangkatan yang tertera pada seragam mereka, rupanya mereka adalah perwira militer yang cukup tinggi pangkat dan kedudukannya.
Pria yang ditanya melirik ke arah bukit ilalang tempat di mana helikopter tadi berhenti. Bukan helikopter militer melainkan helikopter komersil. Wajahnya datar lalu ia menggeleng pelan.
Tak mendapat jawaban yang memuaskan darinya, rekannya itu lantas mengalihkan perhatian darinya dan kembali menatap helikopter yang berada nun jauh di atas sana. Sementara ia sendiri menghela napas.
'Kamu kembali, Cakra,' batin orang tua itu.
Sementara itu, di tempat yang mereka lihat, di bukit ilalang tersebut, terlihat dari arah yang berlawanan dengan tempat pemakaman militer, seseorang baru saja turun dari pintu helikopter itu dengan disambut oleh beberapa anggota militer.
"Selamat datang, Panglima Perang! Selamat datang!!" sambut mereka dengan suara yang lantang sambil memberi hormat.
Meski begitu suara mereka tetap saja kalah oleh suara baling-baling helikopter yang menderu menimbulkan angin yang membuat rata hamparan padang ilalang.
Helikopter itu tak berhenti lama. Begitu sang Panglima menjejakkan kedua kakinya di permukaan bukit, helikopter itu pun kembali take on meninggalkan tempat itu, membuat orang-orang di area pemakaman militer itu kembali memusatkan perhatiannya pada helikopter militer yang kembali terbang setelah terlihat menurunkan seseorang.
Siapa kira-kira yang akan mendarat dibukit gundul yang hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon itu? Jika orang yang diturunkan di sana adalah anggota militer yang ingin ikut menyaksikan pemakaman, kenapa tidak bergabung saja? Kenapa harus mendarat di bukit yang masih jauh dari lokasi dan dibawa oleh pesawat komersil? Namun jika itu warga sipil, apa yang sedang dilakukannya di bukit yang tak ada apa-apanya itu?
Begitulah kira-kira yang ada dipikiran para pelayat di pemakaman itu. Atau jangan-jangan itu adalah pasukan musuh yang mengintai dan akan menyerang mereka ketika sedang khidmat? curiga mereka.
"Jenderal, sepertinya ada mata-mata yang datang ingin mengacau pemakaman Letnan Kolonel Septian," bisik pria yang tadi bertanya pada Jenderal Pramudya Wasesa.
Pramudya menatap ke arah bukit ke beberapa titik hitam yang dia tahu itu adalah sosok manusia yang baru turun dari helikopter.
"Perlukah kita menunda pemakaman Letkol Septian dan mengutus anggota kita mengecek ke atas sana?" usul Letnan Jenderal Darmono.
Pramudya menggeleng.
"Itu tidak perlu, Darmono. Mari kita lanjutkan pemakaman ini kembali," kata Pramudya mengabaikan usulan itu.
"T-tapi, tapi ... bagaimana kalau ..."
Pramudya mendengus kemudian memberi aba-aba pada protokoler acara untuk melanjutkan acara pemakaman.
Darmono, lagi-lagi diabaikan. Kesal diabaikan ia kemudian membuang wajah untuk melampiaskan rasa kesalnya.
Acara kemudian berlanjut setelah mereka yang ada di sana yakin bahwa tak ada gangguan seperti yang mereka khawatirkan.
"Kepada ... jenazah mendiang Letnan Kolonel Septian Pradana Wasesa, hormat senjataaaaa .... Graaaak!!" seru komandan upacara yang dipimpin oleh rekan Pramudya.