Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Orang gila ... orang gila ...!” teriak beberapa anak laki-laki sembari melempar kerikil pada seorang pria yang sudah cacat mental.
“Ayo, kita lempar lagi!” seru anak perempuan, yang merupakan teman bermain Mira.
“Dasar orang gila busuk!” hina anak satunya.
Anak-anak itu terlihat sangat menikmati kenakalan yang mereka ciptakan sendiri. Sambil bertepuk tangan, mereka tidak berhenti meneriaki pria yang sudah mulai meneteskan air mata itu.
Orang dengan gangguan jiwa tersebut hanya bisa menutupi wajahnya sembari menunjukkan ekspresi ketakutan, tapi ia enggan untuk berlari. Sepertinya, orang itu kelaparan. Terdengar jelas teriakan dan ejekan anak-anak di sekitar tempat tinggal Mira. Namun, tidak ada satu pun yang membantu pria malang itu. Sangat menyedihkan. Mereka menghina sesuka hati, karena pria itu berpakaian compang-camping, rambut panjang tak terurus, dengan tubuh yang sudah dipastikan tidak mandi selama berbulan-bulan.
Teriakan anak-anak kecil itu, membuat Mira yang masih berumur tujuh tahun itu merasa iba. Ia selalu berpikiran, bahwa manusia itu sama di hadapan Tuhan dan tidak seharusnya saling menghina. Dalam benaknya terpikir, di mana keluarganya? Kenapa mereka membiarkannya begitu saja? Menjadi bahan ejekan dan hinaan para warga. Bukankah itu sangat tidak manusiawi?
Dengan perasaan kesal, Mira meninggalkan tempat bermainnya, ia tidak sanggup mendengar hinaan teman-temannya pada laki-laki yang sudah hilang akal itu. Bibi Mary yang saat itu hendak memanggil Mira untuk makan siang, tersenyum dan merasa bangga melihat tingkah keponakannya itu. Karena sikap Mira tersebut, membuktikan bahwa ia benar-benar menjadi sosok yang sangat peduli dengan orang sekitarnya.
Mira memang diajarkan untuk selalu menghargai dan tidak menghina kekurangan orang lain. Ia yang hanya tinggal bersama sang bibi, janda tua yang sudah berumur, tidak pernah merasa kekurangan perhatian dan kasih sayang. Bahkan wanita yang kini sudah berumur empat puluh tahunan itu, selalu mencontohkan hal-hal yang positif pada Mira.
“Kamu sedang memikirkan apa, Mira? Dari tadi bibi lihat bengong aja. Apa makanannya kurang enak?” tanya bibi Mary sembari memperhatikan Mira yang tidak berselera dengan makanannya. Gadis kecil itu hanya mengaduk-aduk isi dalam piringnya sedari tadi.
“Apa bibi kenal dengan orang gila tadi?” Mira sudah tidak bisa membendung perasaannya. Hatinya sakit, melihat laki-laki itu diperlakukan seperti sampah.
Bibi Mary terdiam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Mira. Ia harus mencari jawaban yang tepat, agar gadis kecil di depannya puas dengan jawabannya.
“Bibi, kenapa diam saja? Kenapa mereka melemparinya? Mereka sama sekali tidak punya hati.” Mira bersedih. Mengingat laki-laki menyedihkan tadi, membuat air matanya keluar begitu saja.
“Bibi tidak mengenalnya. Mungkin dia orang pendatang, yang kebetulan lewat sini. Dan untuk perbuatan teman-temanmu tadi, jangan ditiru ya! Itu tidak terpuji,” jelas bibi Mary.
Mira mengangguk. Pikirannya masih tertuju pada pria malang tadi,” Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk membantunya?” tanya Mira lagi.
“Itu bukan wewenang kita, Sayang. Kita hanya perlu melapor ke aparat desa, nanti dari sana akan dibawa ke dinas sosial. Jadi, mereka yang akan mengurusnya,” jelas bibi Mary sembari mengelus rambut Mira. Gadis kecil itu benar-benar membuatnya tersentuh.
“Kalau begitu, ayo kita lapor, Bi!” Mira sangat antusias.
“Sudah, Nak. Pak RT sudah melapor, dan sudah dibawa ke dinas sosial. Sekarang, habiskan makananmu!” ucap bibi Mary.
Mira pun menurut, dan ia tidak perlu lagi memikirkan nasib pria dengan sebutan orang gila tadi.
Malam harinya.
“Bibi, kenapa kita harus pindah ke kota? Bukankah di desa lebih nyaman dan terhindar dari polusi? Seperti yang dikatakan bu guru.” Mira baru selesai dengan pendidikan TK-nya di tahun ini dan bibi Mary akan segera membawanya ke kota.
“Di kota, pendidikan lebih terjamin, fasilitasnya lebih maju dan lengkap dibandingkan dengan di desa. Sekarang bibi mau tanya, kamu cita-citanya mau jadi apa?” Bibi Mary yang saat itu sedang menidurkan Mira, malah bertanya pada anak polos di pangkuannya.
“Aku ingin menyembuhkan orang,” jawab Mira dengan semangat. Kejadian tadi siang membuatnya bertekad ingin menjadi seseorang yang bisa berguna bagi orang lain, ia tidak ingin melihat orang yang tidak berdaya ditindas begitu saja.
“Kamu mau jadi dokter? Itu cita-cita yang sangat mulia.” Bibi Mary menatap bangga pada keponakannya. Kemudian ia membetulkan posisi berbaring keponakannya.
“Aku ingin menyembuhkan orang gila, Bi. Apa nantinya aku harus bekerja di dinas sosial juga?” Mira bertanya dengan polosnya.
Bibi Mary tersenyum. Sekarang ia pun paham, ternyata Mira si anak banyak tanya itu, ingin menjadi psikiater yang bisa menyembuhkan penyakit kejiwaan. Pernyataan polos Mira mengingatkannya pada seseorang yang sudah lama tidak ia temui.