Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil.
Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.
“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.
“Anak-anak kemana semua sih? Pintu dibiarkan terbuka lebar gitu aja.” gumam Ibu Imelda dengan keheranan. Ibu Asih yang melihat pintu samping terbuka segera menyusul ke sana, perasaannya mulai tidak enak ketika melihat ada pot yang tumbang. Ibu Asih mendekat dan memekik kaget melihat Terryn terbaring di lantai teras samping yang basah.
“Anakkuuu!” pekiknya dengan sangat panik, ibu Imelda segera menyusulnya dan turut panik juga.
“Astagaaa … Terryn Sayang! Kenapa bisa jadi begini? Suamimu mana? Terryn?” ibu Imelda menepuk pelan pipi Terryn.
“Dartoooo! Dartoooo! Kesini cepaaaat … Kami ada di teras samping!” ibu Imelda berteriak memanggil sopir pribadinya. Tak lama laki-laki paruh baya itu datang dengan tergesa-gesa.
“Iya, Nyonya ada … Yaa Tuhan! Nyonya Terryn kenapa ini?” Darto pun terkejut melihat Terryn yang terbaring tak sadarkan diri.
“Bantu angkat ke mobil, bawa menantuku ke rumah sakit cepat!” ibu Imelda dan ibu Asih gemetar mereka takut terjadi sesuatu yang buruk pada Terryn dan kandungannya. Mereka tidak tahu sudah berapa lama Terryn terbaring di sana dengan wajah yang sudah sangat pucat itu.
Bergegas Darto mengangkat sendirian tubuh Terryn yang tidak terlalu berat, kedua ibu itu pun menyusul dengan cepat. Ibu Asih menutup dan mengunci semua pintu lalu buru-buru masuk ke dalam mobil.
“Ayo cepat Darto, cari rumah sakit terdekat, aku takut menantuku kenapa-kenapa!” ibu Imelda kembali mencoba menelpon ponsel Deva. Sementara yang punya ponsel sedang berkeliling mencari buah mangga pesanan istrinya di pasar buah.
“Adoooh … Kemana siih anak itu?! Aku sudah bilang jaga istrinya baik-baik, ini ditinggal sendirian, itu bi Ira kemana kok gak keliatan juga?” sungut ibu Imelda dengan kesal. Ibu Asih tidak banyak bicara dia hanya memeluk tubuh putrinya yang dingin.
Jalanan desa yang belum diaspal membuat mereka terguncang di atas mobil, ibu Asih mempererat pelukannya pada Terryn.
“Hati-hati Darto! Kamu tahu ‘kan kalau menantuku sedang hamil!”
“I-iya, Nyonya Besar, maaf jalanannya memang kurang mulus.” Jawab Darto takut-takut.
Mungkin sudah puluhan kali ibu Imelda mencoba menghubungi Deva tapi tak kunjung juga putranya itu menjawab panggilan ponselnya. Mobil mereka nyaris saja berpapasan, mobil Deva baru saja masuk arah jalan desa setelah beberapa menit yang lalu mobil ibu Imelda berbelok berlawanan ke arah rumah sakit pinggir kota.
“Yiiin! Aku udah pulang niih … Bukain dong pintunya, Sayang!” seru Deva berulang kali ketika ketukannya serta salamnya tidak dapat sahutan Terryn. Deva merogoh kantong celana serta kantong jaketnya, ponsel yang dicarinya tidak ditemukan. Mangga yang dibawanya diletakkan di lantai, dia bergegas mencari benda itu di dalam laci mobilnya. Dahinya berkerut ketika melihat dua puluh empat panggilan tidak terjawab dari ibunya.
“Halo, Bu. Kenapa telp—“
“Segera susul ibu ke rumah sakit dekat gerbang kota, istrimu kami bawa ke sana. Dia kami dapati tergeletak pingsan di teras samping rumah, sepertinya Terryn terpeleset dan jatuh. Cepat!”
Deg …
Jantung Deva rasanya tidak berdetak di tempatnya, Terryn terjatuh dan pingsan. Dia sudah tidak mendengar kata-kata ibunya lagi. Ponselnya di lempar ke jok mobil di sampingnya. Lalu melajukan mobilnya seperti orang kesetanan.
“Terryn Arunika … Aku baru meninggalkanmu sebentar saja dan sudah celaka seperti ini?” nafas Deva nyaris tertahan, beberapa penduduk desa berhenti di sisi jalan ketika melihat mobilnya melaju dengan kencang. Mereka sudah tahu siapa pemilik mobil itu tapi untuk melihatnya melaju seperti sedang balapan para penduduk itu menatap mobil Deva yang melintas kencang dengan heran.
Ibu Imelda dan ibu Asih menghembuskan nafas lega mereka setelah dokter menyatakan jika Terryn baik-baik saja. Namun, dokter menyarankan untuk tetap menginap dan melihat perkembangan janin dalam rahim Terryn yang sempat mengalami flek. Terryn tidak diperbolehkan banyak bergerak dan tekanan darah Terryn yang cukup rendah membuat Terryn harus istirahat total.