Getaran ponsel menyeterum-nyeterum kecil paha seorang pria berambut gondrong dan berbrewok sambil punggungnya bersandar pada mobil mewah hitam keluaran merk ternama dari perusahaan otomotif terkenal di Eropa. Seketika siulannya terusik dan teralihkan ke benda yang ada di dalam kantung celana hitam panjang berbahan katun.
“Ada apa?” tanya Ben setelah mengusap layar ponselnya untuk menerima panggilan masuk. Nada suaranya mengenteng sembari memandang-mandangi tingginya bukit-bukit di sekelilingnya dengan kepala mendengak.
“Kau di mana?” balas Chris bertanya dengan memburu dan langsung menusuk kuping Ben. “ Kau bersama Nn. Winterdust, ‘kan?”
“Aku asisten pribadinya. Mana mungkin bisa jauh-jauh dari dia.” Matanya terputar sekelibat dan tampak mencebik bibirnya. “Memangnya ada apa? Aku sekarang lagi di daerah Wanlockhead.”
“Tn. Goodfellow dan Nn. Winterdust siang tadi ribut besar. Aku lihat Nn. Winterdust terus murung dan gusar.” Chris tetap bernada seperti mencerminkan sifatnya yang tegas, tertata, dan kaku. Dia sebenarnya sedang gelisah dan hatinya mencium sesuatu yang tidak beres dari perangai kekasih Tn. Goodfellow itu. “Pastikan kau terus bersamanya. Aku tidak mau ada kabar aneh dan kejadian yang bukan-bukan terjadi,” lanjut asisten pribadi Tn. Goodfellow itu.
“Ba-baik.” Ben berdeham-deham, suaranya sedikit hilang dikarenakan kebiasaannya bernyanyi-nyanyi lagu rock di kamar mandi akhir-akhir ini.
Ponselnya diselipkan kembali ke kantung celana. Ben membiarkan Chris saja yang mengakhiri panggilannya. Dia lalu berlari-lari kecil dan sedikit berbelok pada sebuah kelokan melengkung untuk mencari Nn. Winterdust. Wanita itu seingatnya hanya menitip pesan agar menunggu di mobil saja, dan sebagai seorang asisten tentunya dia hanya bisa manut tanpa bertanya-tanya lebih dalam. Namun, peringatan dari Chris seakan-akan membuat gamang pikirannya. Ben takut terjadi apa-apa pada wanita yang terakhir kali dia lihat menjinjing sebuah tas cangklong dengan motif-motif bunga berukaran besar, berwarna krim lembut, dan isinya tidak diketahui secara pasti.
Ben terpaku. Netranya membeliak heran ketika melihat wanita berusia tiga puluh tahun telah terbaring di pinggiran aliran sungai dan rerumputan hijau yang tak begitu semak sebagai kasurnya.
“Nn. Winterdust?” Ben mendesis setelah mendekati wanita yang terbujur kaku sambil mendekap sebuah buntalan gaun putih berhiaskan berlian-berlian di tangan kirinya, dan tas congklang tampak dia amati tertimpa di balik gaun itu.
Ben mulai panik, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan berganti-gantian dengan ritme tergesa-gesa. Tidak ada seorang pun di sekitaran dataran tinggi berbukit-bukit Desa Wanlockhead. Ben juga tidak tahu harus berbuat apa dengan keadaan Nn. Winterdust yang tertatap meredup sinaran matanya disertai lumuran busa keluar dari mulutnya.
Lutut Ben kemudian menekuk jongkok. Tanpa berlama-lama dan seakan terhanyut dalam pikiran kalutnya dikarenakan senja yang mendung terlihat tak bersahabat. Kiriman gerimis-gerimis semakin lama semakin memberondongi sekujur tubuhnya dan Nn. Winterdust.
Kedua tangan Ben mengangkat wanita berambut hitam kecokelatan itu seperti gendongan penganting baru yang tengah berbahagia, tapi tanpa kalungan tangan melingkari leher sang pria. Tentu Nn. Winterdust tidak bisa melakukan itu, karena tangannya lunglai tak bertenaga dan telapak tangan kanannya terbuka lemas sambil menjatuhkan botol kaca berwarna cokelat seukuran jempol yang cairan racun di dalamnya berhasil membuat kondisi wanita berwajah sendu itu menjadi begitu mengenaskan.
Konsentrasinya tidak tertuju ke benda apa pun selain tubuh tak berdaya Nn. Winterdust, gaun, dan tas kain. Ben tidak tahu botol racun sianida itu menggelinding dan hampir bermuara di pinggir aliran sungai.
***
Pintu mobil berhasil dibukanya dan dengan tangkas meletakkan Nn. Winterdust di kursi sebelah supir. Mata Ben agak menjuling ketika hendak menutup pintu ke arah bawah area sepatu kulitnya. Dia kemudian mengutip benda berkilau yang rupanya bagian rumpunan hiasan berlian dari gaun milik Nn. Winterdust.
Ben mengitari mobil berjenis MPV itu sesudah mengantungi berlian dan menutup pintunya. Di depan kemudi setir, Ben termegap-megap sambil terus berpikir apakah dia menelepon Chris saja untuk mengonfirmasi kejadian yang sedang menderanya. Namun, dia segera menganulir niatan itu lantaran inisiatifnya untuk kembali ke Glasgow mungkin jauh lebih tepat.
“Tidak ada waktu. Lebih cepat lebih baik,” gumam Ben sembari menghidupkan mesin mobil dan menggasnya hingga menderap kencang.
Mobil tetap konsisten pada kecepatannya. Alat penyeka air hujan tak lupa dia aktifkan agar mengusap-usap kaca mobil dari kerumunan rerintikan hujan yang tiada berkesudahan sehingga pandangan mata terhadap jalan desa yang beraspal sempit tidak akan mengganggunya.
Kedua alis Ben terajut dan raut wajahnya tercorak keheranan menatap dari kejauhan sekitar beberapa mil saja tampak seorang perempuan bersimpuh di pinggiran jalan sepi dengan kepala wanita tua menumpang tak bergerak di atas pahanya. Awalnya Ben hanya cuek dan tidak terlalu peduli, tapi setelah melewatinya beberapa jengkal, hatinya terketuk dan menghentikan mobil.
Ben terbirit-birit menghampiri wanita malang itu sambil tangan kananya terbentuk seperti teduhan buatan di depan dahinya.
“Kau tidak apa? Kenapa dengan orangtua itu?” tanya Ben dengan menekan otot tenggorokannya agar suara seraknya sedikit terminimalisir.
“Dia terjatuh begitu saja dan pingsan.” Perempuan itu menangis. Air matanya seakan menyatu dengan buliran air hujan.
Tanpa banyak basa-basi lagi, Ben segera membantunya. Dia mengangkat wanita berambut serba putih karena termakan usia itu menuju mobil milik majikannya. Dia lalu menempatkannya pada kursi belakang, dan sekaligus mempersilakan perempuan yang sedikit reda tangisnya agar mendampingi si wanita tua.
“Kita akan ke rumah sakit di Glasgow, karena aku juga sekalian ….” Untaian kalimatnya mengambang. Ben berpikir ulang untuk menyebut Nn. Winterdust yang juga dalam keadaan sekarat.
“Thank you. Thank you, Sir.” Perempuan itu menyibakkan rambutnya ke samping sehingga mengumbarkan jelas wajahnya.
“What?” Pekik Ben dalam benaknya sembari terpelongo menatap paras perempuan berwajah persegi, hidung mancung ramping, bibir tipis, dan beralis panjang itu mirip seperti Nn. Winterdust.
Jari-jari Ben menekan tuas pintu mobil hingga tergeser otomatis dan perlahan-lahan menutup.
/0/5387/coverorgin.jpg?v=4b1291c542576f076b8cb9d8ddab4096&imageMogr2/format/webp)
/0/13073/coverorgin.jpg?v=9738aeefae8728de2c3a472f07b77504&imageMogr2/format/webp)
/0/15747/coverorgin.jpg?v=b6b9887edb1e39c8c97b06cd7125b84a&imageMogr2/format/webp)
/0/3432/coverorgin.jpg?v=fee85a94d1d533e18312db22f31348b5&imageMogr2/format/webp)
/0/3465/coverorgin.jpg?v=9767702e9981d977baf1854fdb1d1a2b&imageMogr2/format/webp)
/0/17169/coverorgin.jpg?v=45534e54ad36109b6f207435dbe4052f&imageMogr2/format/webp)
/0/13816/coverorgin.jpg?v=dcd375df5c7eb6ce2b672d32a556e176&imageMogr2/format/webp)
/0/3411/coverorgin.jpg?v=fd765f710e707383010bae55f6cac4c7&imageMogr2/format/webp)
/0/18874/coverorgin.jpg?v=ee9d422b526d303c7530741041a3c165&imageMogr2/format/webp)
/0/15126/coverorgin.jpg?v=3a995cbe5ea1f22ba4cc08577ec6dd32&imageMogr2/format/webp)
/0/19827/coverorgin.jpg?v=42e4246edc332ad131b87f0fec77c2f4&imageMogr2/format/webp)
/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)
/0/9295/coverorgin.jpg?v=a0f7c3bac77f643079e98db620e8b81a&imageMogr2/format/webp)
/0/29128/coverorgin.jpg?v=678a54cfd5d890246a6ff81bb3bc8de9&imageMogr2/format/webp)
/0/29173/coverorgin.jpg?v=1dcb4e2f61ac8c9239f0cd7c6807ea17&imageMogr2/format/webp)
/0/17365/coverorgin.jpg?v=6db8622c3069ac6f74d1e2e5fb155f63&imageMogr2/format/webp)
/0/17095/coverorgin.jpg?v=715776ef2540a158c0179afa5f34f3a7&imageMogr2/format/webp)
/0/16463/coverorgin.jpg?v=83f6dd3af71ea3068b6d2868bc1debf9&imageMogr2/format/webp)