/0/13428/coverorgin.jpg?v=f5f1ee039192fbc2be110670d4476ba9&imageMogr2/format/webp)
Kara menatap langit senja dari jendela sempit apartemennya. Sinar oranye kemerahan menembus celah-celah gorden lusuh, menyinari wajahnya yang letih. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, penuh dengan perjuangan. Pekerjaan paruh waktunya di kafe tidak cukup untuk menutupi tagihan bulanan, apalagi kebutuhan sehari-hari. Dompetnya tipis, dan kantong-kantongnya kosong. Namun, yang paling menyakitkan adalah rasa putus asa yang terus menghantuinya; rasa bahwa hidup ini seolah-olah menolak memberinya jalan keluar.
Di atas meja, tergeletak secarik kertas yang baru saja diterimanya dari sahabatnya, Nadia. Pesan itu sederhana tapi penuh maksud: "Aku punya rencana, tapi aku butuh kamu. Bisa nggak kamu bantu aku?" Kara menghela napas panjang. Sejujurnya, dia tahu rencana Nadia tidak akan sederhana. Tapi saat melihat angka-angka di rekeningnya yang terus menipis, pilihan itu seolah-olah tidak ada.
Nadia, sahabatnya sejak kecil, selalu punya rencana-selalu percaya bahwa ada cara untuk menyelesaikan masalah, meskipun caranya terkadang kontroversial. Kali ini, rencananya lebih berani daripada sebelumnya. Nadia ingin menjaga keluarganya tetap utuh. Ayahnya, Ryan, yang sudah bercerai dari ibu Nadia bertahun-tahun lalu, hendak menikah lagi dengan seorang wanita muda yang dikenal matrealistis, penuh ambisi, dan-katanya-tidak benar-benar mencintai Ryan.
"Dia harus dihentikan sebelum terlambat," kata Nadia saat mereka bertemu di sebuah kafe yang ramai beberapa hari lalu. Matanya bersinar dengan tekad yang sama seperti ketika mereka masih remaja, berencana "menyelamatkan" dunia mereka sendiri dari ketidakadilan kecil.
Kara menunduk saat Nadia menyodorkan tawaran itu: membantu memikat Ryan, mendekatinya, dan membuatnya ragu terhadap calon istrinya. Imbalannya? Uang yang cukup besar untuk menutup semua hutang Kara dan memberinya sedikit kebebasan dari kehidupan yang serba kekurangan.
Awalnya, Kara menolak. Bagaimana mungkin dia tega bermain dengan hati seseorang, apalagi ayah sahabatnya sendiri? Tapi, saat pulang dan melihat tagihan listrik yang menumpuk, telepon yang terus berdering tanpa jawaban, dan perutnya yang lapar, tawaran itu mulai terdengar... masuk akal.
"Aku nggak punya pilihan lain, Nadia," gumam Kara pada dirinya sendiri di malam itu. "Ini... satu-satunya cara."
Keesokan harinya, Kara bertemu Ryan di sebuah taman kota, tempat Nadia sengaja memilih agar suasana lebih santai. Ryan, pria paruh baya yang tampan dengan aura tenang dan penuh wibawa, sedang duduk di bangku sambil membaca koran. Rambutnya sedikit beruban di pelipis, wajahnya tegas namun lembut. Kara merasa jantungnya berdegup kencang saat pertama kali melihatnya dari dekat.
"Pak Ryan?" Kara memulai dengan suara sedikit gemetar.
Ryan menoleh, menatapnya dengan mata cokelat hangat. "Ya, kamu siapa?" tanyanya ramah tapi waspada.
Kara mengulurkan tangan, mencoba tersenyum sehangat mungkin. "Nama saya Kara. Saya... teman Nadia."
Senyuman tipis muncul di wajah Ryan. "Oh, Nadia. Aku dengar tentangmu. Duduklah."
Kara duduk, berusaha menenangkan pikirannya. Setiap kata yang ia ucapkan kini penuh dengan maksud tersembunyi, tapi dia harus terlihat alami, tak menimbulkan kecurigaan. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan-cuaca, taman, bahkan kopi yang baru dibeli Kara di kafe terdekat. Namun, di balik kata-kata itu, Kara berusaha memahami Ryan: apa yang membuatnya tersenyum, apa yang membuatnya marah, apa yang paling ia hargai dalam hidup. Semua ini bagian dari rencana Nadia.
Hari-hari berikutnya, Kara sering berada di dekat Ryan, baik secara kebetulan maupun sengaja, menyapanya di kafe, menemani saat dia berolahraga, atau sekadar berbincang di taman. Setiap interaksi kecil diperhitungkan, setiap senyum atau tawa dimanfaatkan untuk membangun kedekatan. Kara mulai merasakan sesuatu yang aneh-bukan hanya rasa bersalah karena bermain-main dengan hati Ryan, tapi juga perasaan hangat yang mulai muncul di dalam dirinya sendiri.
/0/28888/coverorgin.jpg?v=4e31289b508bd6e19661a8b1cabe847f&imageMogr2/format/webp)
/0/15583/coverorgin.jpg?v=e4c064d3995495e203092c6ed94c750c&imageMogr2/format/webp)
/0/16556/coverorgin.jpg?v=49aa86a01fa047040419da639a6677e7&imageMogr2/format/webp)
/0/11012/coverorgin.jpg?v=5024265e26eab16316b7331e9393091d&imageMogr2/format/webp)
/0/22847/coverorgin.jpg?v=ab41c27c6f894b1bf6eab8aaae88001f&imageMogr2/format/webp)
/0/21618/coverorgin.jpg?v=a7b5668813765121b2e786b3df0b999a&imageMogr2/format/webp)
/0/15160/coverorgin.jpg?v=67322a6b9774f084cd89dd3bd3030239&imageMogr2/format/webp)
/0/20470/coverorgin.jpg?v=22c5d8ad1727cb6933d7c40772c3b5da&imageMogr2/format/webp)
/0/18417/coverorgin.jpg?v=29bdf11298807a8f463bb7bf9341408d&imageMogr2/format/webp)
/0/24710/coverorgin.jpg?v=419e7815a6a1deec6566a9af79300d93&imageMogr2/format/webp)
/0/16559/coverorgin.jpg?v=e2071e6c7a02478e542e0f7ba23df599&imageMogr2/format/webp)
/0/16645/coverorgin.jpg?v=ef346df3b63e19bf964828ca82a1a7a0&imageMogr2/format/webp)
/0/10912/coverorgin.jpg?v=05752965a9db2860cd3d89c35693dae9&imageMogr2/format/webp)
/0/27317/coverorgin.jpg?v=88f8db35377f1ad3234f3fa796b61b18&imageMogr2/format/webp)
/0/19139/coverorgin.jpg?v=1ed13e1d4e43a9e8bf857b90d37b476e&imageMogr2/format/webp)
/0/23402/coverorgin.jpg?v=956d1bff272bfc1af42c4423b22a8af3&imageMogr2/format/webp)
/0/3066/coverorgin.jpg?v=1968055e65003abae00f1e114a907847&imageMogr2/format/webp)
/0/4896/coverorgin.jpg?v=e4d73480546b66939e583eeaf04cb2d9&imageMogr2/format/webp)