Suamiku Menghamili Sahabatku

Suamiku Menghamili Sahabatku

Husnan

5.0
Komentar
Penayangan
26
Bab

Kara adalah seorang perempuan muda yang lelah menghadapi kehidupan serba kekurangan. Saat kesempatan tak terduga datang, ia menerima tawaran dari sahabatnya, Nadia, untuk mendekati Ryan, ayah dari sahabatnya yang sudah bercerai, agar Ryan membatalkan rencana pernikahannya dengan seorang wanita yang dikenal matrealistis. Kara membutuhkan uang, dan Nadia menginginkan keluarganya tetap utuh. Awalnya, semuanya tampak seperti kesepakatan sederhana: simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua pihak. Namun, ketika perasaan mulai terlibat dan hubungan yang seharusnya hanya permainan hati itu berubah menjadi nyata, persahabatan Kara dan Nadia pun terancam hancur. Cinta, pengkhianatan, dan ambisi saling bertabrakan, membuat semuanya menjadi taruhan yang berisiko tinggi.

Bab 1 kebutuhan sehari-hari

Kara menatap langit senja dari jendela sempit apartemennya. Sinar oranye kemerahan menembus celah-celah gorden lusuh, menyinari wajahnya yang letih. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, penuh dengan perjuangan. Pekerjaan paruh waktunya di kafe tidak cukup untuk menutupi tagihan bulanan, apalagi kebutuhan sehari-hari. Dompetnya tipis, dan kantong-kantongnya kosong. Namun, yang paling menyakitkan adalah rasa putus asa yang terus menghantuinya; rasa bahwa hidup ini seolah-olah menolak memberinya jalan keluar.

Di atas meja, tergeletak secarik kertas yang baru saja diterimanya dari sahabatnya, Nadia. Pesan itu sederhana tapi penuh maksud: "Aku punya rencana, tapi aku butuh kamu. Bisa nggak kamu bantu aku?" Kara menghela napas panjang. Sejujurnya, dia tahu rencana Nadia tidak akan sederhana. Tapi saat melihat angka-angka di rekeningnya yang terus menipis, pilihan itu seolah-olah tidak ada.

Nadia, sahabatnya sejak kecil, selalu punya rencana-selalu percaya bahwa ada cara untuk menyelesaikan masalah, meskipun caranya terkadang kontroversial. Kali ini, rencananya lebih berani daripada sebelumnya. Nadia ingin menjaga keluarganya tetap utuh. Ayahnya, Ryan, yang sudah bercerai dari ibu Nadia bertahun-tahun lalu, hendak menikah lagi dengan seorang wanita muda yang dikenal matrealistis, penuh ambisi, dan-katanya-tidak benar-benar mencintai Ryan.

"Dia harus dihentikan sebelum terlambat," kata Nadia saat mereka bertemu di sebuah kafe yang ramai beberapa hari lalu. Matanya bersinar dengan tekad yang sama seperti ketika mereka masih remaja, berencana "menyelamatkan" dunia mereka sendiri dari ketidakadilan kecil.

Kara menunduk saat Nadia menyodorkan tawaran itu: membantu memikat Ryan, mendekatinya, dan membuatnya ragu terhadap calon istrinya. Imbalannya? Uang yang cukup besar untuk menutup semua hutang Kara dan memberinya sedikit kebebasan dari kehidupan yang serba kekurangan.

Awalnya, Kara menolak. Bagaimana mungkin dia tega bermain dengan hati seseorang, apalagi ayah sahabatnya sendiri? Tapi, saat pulang dan melihat tagihan listrik yang menumpuk, telepon yang terus berdering tanpa jawaban, dan perutnya yang lapar, tawaran itu mulai terdengar... masuk akal.

"Aku nggak punya pilihan lain, Nadia," gumam Kara pada dirinya sendiri di malam itu. "Ini... satu-satunya cara."

Keesokan harinya, Kara bertemu Ryan di sebuah taman kota, tempat Nadia sengaja memilih agar suasana lebih santai. Ryan, pria paruh baya yang tampan dengan aura tenang dan penuh wibawa, sedang duduk di bangku sambil membaca koran. Rambutnya sedikit beruban di pelipis, wajahnya tegas namun lembut. Kara merasa jantungnya berdegup kencang saat pertama kali melihatnya dari dekat.

"Pak Ryan?" Kara memulai dengan suara sedikit gemetar.

Ryan menoleh, menatapnya dengan mata cokelat hangat. "Ya, kamu siapa?" tanyanya ramah tapi waspada.

Kara mengulurkan tangan, mencoba tersenyum sehangat mungkin. "Nama saya Kara. Saya... teman Nadia."

Senyuman tipis muncul di wajah Ryan. "Oh, Nadia. Aku dengar tentangmu. Duduklah."

Kara duduk, berusaha menenangkan pikirannya. Setiap kata yang ia ucapkan kini penuh dengan maksud tersembunyi, tapi dia harus terlihat alami, tak menimbulkan kecurigaan. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan-cuaca, taman, bahkan kopi yang baru dibeli Kara di kafe terdekat. Namun, di balik kata-kata itu, Kara berusaha memahami Ryan: apa yang membuatnya tersenyum, apa yang membuatnya marah, apa yang paling ia hargai dalam hidup. Semua ini bagian dari rencana Nadia.

Hari-hari berikutnya, Kara sering berada di dekat Ryan, baik secara kebetulan maupun sengaja, menyapanya di kafe, menemani saat dia berolahraga, atau sekadar berbincang di taman. Setiap interaksi kecil diperhitungkan, setiap senyum atau tawa dimanfaatkan untuk membangun kedekatan. Kara mulai merasakan sesuatu yang aneh-bukan hanya rasa bersalah karena bermain-main dengan hati Ryan, tapi juga perasaan hangat yang mulai muncul di dalam dirinya sendiri.

Sementara itu, Nadia terus memantau dari jauh. Kadang-kadang telepon Kara berbunyi, dan di ujung sana terdengar suara sahabatnya yang tegas: "Ingat tujuan kita, Kara. Jangan terjebak. Fokus pada rencana."

Namun, fokus itu semakin sulit dijaga. Kara melihat sisi lain Ryan-lembut, perhatian, bahkan humoris. Cara dia tertawa ketika melihat anak-anak bermain di taman, atau cara dia memperhatikan orang-orang di sekitarnya dengan penuh kepedulian, membuat Kara merasa terpesona. Hal-hal yang seharusnya hanya strategi kini mulai membuat hatinya terjerat.

Suatu sore, ketika hujan gerimis turun, Kara berteduh di bawah atap sebuah kafe kecil bersama Ryan. Suara tetesan hujan membentuk irama yang menenangkan, sementara percakapan mereka semakin pribadi. Ryan bercerita tentang masa lalunya, tentang perceraian yang menyakitkan, tentang rasa sepi yang ia rasakan meski dikelilingi orang. Kara mendengarkan dengan penuh empati, tapi hatinya berdebar kencang karena setiap kata yang keluar dari mulut Ryan menembus pertahanan dirinya sendiri.

"Aku selalu berpikir... cinta itu harus sederhana," kata Ryan dengan suara rendah, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi hidup ini... kadang terlalu rumit."

Kara tersenyum, hatinya menjerit dalam diam. Ia tahu kata-kata Ryan itu bisa saja digunakan sebagai alat dalam rencananya, tapi rasanya mustahil untuk berpura-pura acuh saat melihat kesedihan yang tulus di mata pria itu.

Malam itu, Kara pulang dengan pikiran yang kacau. Di satu sisi, ada rasa bersalah yang mendalam karena merencanakan manipulasi. Di sisi lain, ada rasa tak terduga yang tumbuh: kekaguman, kehangatan, bahkan... ketertarikan.

Hari demi hari, rencana Nadia berjalan. Ryan mulai menunjukkan tanda-tanda keraguannya terhadap calon istrinya. Ia lebih sering menelepon Kara, bertanya pendapatnya, bahkan meminta saran tentang hal-hal pribadi. Kara merasa berada di posisi yang berbahaya. Setiap senyum Ryan, setiap perhatian yang ia berikan, semakin menjerat hati Kara, membuatnya sulit kembali ke kenyataan bahwa ini hanyalah permainan.

Di sisi lain, Nadia mulai merasakan kegelisahan yang sama. Ia tahu Kara mulai berubah; dia bisa merasakan ketidakstabilan sahabatnya melalui pesan-pesan singkat yang tidak seperti biasanya. Suatu malam, Nadia mengirim pesan pendek: "Kara... jangan sampai ini merusak semuanya. Aku butuh kamu fokus. Jangan biarkan hati mengambil alih."

Kara menatap layar telepon, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ini peringatan terakhir dari Nadia, tapi rasanya mustahil. Hatinya sudah terlalu terlibat.

Pertemuan berikutnya dengan Ryan terjadi di rumahnya. Ryan mengundang Kara untuk membantu memilih buku-buku yang akan diberikan kepada seorang anak yatim piatu yang dekat dengannya. Saat berada di ruang tamu yang luas, Kara menyadari sesuatu: kedekatan mereka sudah melampaui sekadar "strategi". Sentuhan tangan mereka saat menyerahkan buku terasa begitu nyata. Tatapan mata mereka saling bertemu lebih lama dari yang seharusnya. Hati Kara berdetak cepat.

"Kara... aku senang kamu ada di sini," kata Ryan tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.

Kara tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaan yang mulai sulit ia kendalikan. "Aku juga... senang bisa membantu."

Namun, saat itulah Kara sadar: rencana yang awalnya tampak sederhana, kini telah berubah. Simbiosis mutualisme antara dirinya dan Nadia tidak lagi jelas. Perasaan yang seharusnya tertahan kini mulai menuntut perhatian. Persahabatan dan rencana Nadia berada di ambang kehancuran. Dan yang paling menakutkan, hati Kara sendiri sudah terjerat dalam permainan berbahaya yang bahkan ia tidak tahu bagaimana akhirnya.

Di luar jendela, hujan mulai reda, meninggalkan aroma tanah basah dan ketenangan yang palsu. Di dalam hati Kara, badai baru justru mulai terbentuk. Sebuah badai yang akan menguji batasan moral, persahabatan, dan cinta-sebuah badai yang mungkin akan menghancurkan semuanya jika tidak dijinakkan dengan hati-hati.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Husnan

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku