/0/28887/coverbig.jpg?v=6c753f3324156b292aa56efefccd1588&imageMogr2/format/webp)
Di Pos Dua Gunung Lawu, tiga pemuda-Raka, Daffa, dan Iqbal-mencoba menyerang seorang gadis muda bernama Alana saat ia sedang berkemah sendirian. Alana berhasil melawan, tetapi dalam upayanya melarikan diri, dia terperosok ke dalam jurang yang curam dan hampir kehilangan nyawanya. Saat itu, seorang pria misterius muncul, Kapten Arga, mantan anggota Kopassus yang kini menjadi buronan karena kasus yang menjeratnya. Arga menyembunyikan diri di hutan Gunung Lawu, hidup dari alam liar sambil menenangkan luka batinnya. Dia menemukan Alana dalam kondisi lemah dan sekarat, dan membawanya ke tempat persembunyiannya. Di sinilah konflik mulai berkembang: Alana harus pulih dari trauma dan memutuskan apakah ia akan menyerah atau bangkit untuk membalas dendam. Sementara itu, kedekatannya dengan Arga, pria misterius dan keras namun penuh perhitungan, mulai menimbulkan ketegangan emosional-antara kepercayaan, rasa aman, dan emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Hujan rintik-rintik menembus kabut tipis di Pos Dua Gunung Lawu. Aroma tanah basah dan dedaunan yang lembap memenuhi udara, menimbulkan sensasi dingin yang menusuk tulang. Alana menggigil, meski jaket tebalnya menempel di tubuhnya. Ia menatap api unggun yang hampir padam, mencoba menghangatkan tangan yang gemetar. Malam itu sepi-terlalu sepi, bahkan untuk gunung yang biasanya ramai oleh para pendaki akhir pekan.
Ia menundukkan kepalanya, menyesap teh hangat dari termos kecil yang dibawanya. Hanya suara hujan dan sesekali gemerisik daun yang memecah kesunyian. Namun, jauh di balik pepohonan, tiga sosok lelaki bergerak perlahan, seperti bayangan hitam yang bersembunyi menunggu mangsanya.
Raka, yang paling berani dari ketiganya, menatap Alana dengan mata yang licik. "Aku bilang, malam ini kita harus pastikan dia nggak bisa lari," bisiknya, suaranya serak. Daffa mengangguk pelan, menatap api unggun dari kejauhan. Iqbal, yang paling muda tapi paling nekat, tersenyum tipis. "Ini kesempatan sekali seumur hidup, bro. Jangan sampai lepas."
Alana tidak tahu apa yang menunggunya. Ia hanya merasa ada yang mengintai, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Hatinya berdebar, naluri bahaya yang samar mulai berdesir di dalam dada. Ia menatap sekeliling-hutan lebat yang menelan cahaya bulan-dan merasa ada mata yang mengamati gerak-geriknya.
Tiba-tiba, dari balik pepohonan, bayangan muncul. Raka dan kedua temannya melesat ke arah Alana.
"Hei! Tunggu!" teriak Alana, tetapi suaranya tenggelam oleh gemuruh hujan.
Ia berlari, kaki menapaki tanah licin. Namun ketiga lelaki itu lebih cepat, mereka mengapitnya dari kedua sisi. "Lepaskan aku!" teriak Alana, mencoba menendang dan menangkis. Tangannya berjuang keras, menggapai batu dan akar pohon untuk menstabilkan diri, tapi rintangan di sekitarnya terlalu banyak.
Raka meraih lengan Alana, menekannya dengan kasar. "Diam! Jangan buat masalah," geramnya. Daffa mencoba menahan tubuh Alana dari belakang, sementara Iqbal menutup jalan lari di depan.
Alana menatap wajah mereka, rasa takut dan kemarahan membara di matanya. Ia tahu, jika ia menyerah sekarang, mimpi buruknya baru akan dimulai. Dengan kekuatan yang tersisa, ia menendang Raka tepat di perut, membuatnya terhuyung ke belakang. Ia kemudian menendang Daffa yang mencoba mendekat, dan melompat ke samping, menabrak Iqbal yang tak siap menghadapi serangan tiba-tiba itu.
Ketiganya terkejut, tapi tak menyerah begitu saja. Raka bangkit lagi, tatapannya dipenuhi kemarahan. "Kau nggak akan kabur begitu saja!" teriaknya, suaranya pecah di udara malam yang basah.
Alana berlari sekuat tenaga, tapi tanah yang licin membuatnya kehilangan keseimbangan. Di depan matanya, jurang gelap membentang-tulang pohon dan batu menutupi dasarnya. Ia tersandung akar pohon yang menonjol, tubuhnya terpelanting ke udara, dan tubuhnya jatuh bebas ke jurang yang curam. Hatinya melonjak, udara terhisap dari paru-parunya. Semua gelap dalam sekejap.
Ketika Alana membuka mata, rasa sakit menyebar di seluruh tubuhnya. Tangan dan kakinya terasa lemah, tubuhnya dipenuhi memar dan luka. Ia mencoba menggerakkan kepala, tapi rasa pusing memaksanya kembali menutup mata. Air hujan menetes ke wajahnya, mencampur darah dan tanah.
"Hei... kau baik-baik saja?" suara itu terdengar jauh, berat, tapi penuh perhatian. Alana menegakkan sedikit kepalanya, mencoba mencari sumber suara. Dari kegelapan, sosok seorang pria muncul, tubuhnya besar dan tegap, wajahnya setengah tertutup bayangan.
Pria itu menunduk, memeriksa tubuhnya dengan cekatan. "Tahan... jangan bergerak dulu," katanya sambil menahan tubuh Alana yang hampir jatuh lagi. Tangannya kasar namun lembut, dan Alana merasakan kekuatan yang mengerikan sekaligus menenangkan.
"Siapa... siapa kau?" gumam Alana, suaranya lemah.
"Sebut saja... Arga," jawab pria itu, menatapnya dengan mata tajam. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Alana merasa aman-meski sedikit takut juga. Arga mengangkat Alana dengan mudah, membopongnya melewati rimbunnya pepohonan dan tanah licin.
Sepanjang perjalanan, Alana hanya bisa menunduk, merasakan sakit dan ketakutan yang menumpuk. Ia bertanya-tanya, mengapa seseorang seperti Arga ada di sini, di tengah hutan Gunung Lawu, menyelamatkannya?
"Kenapa kau membantuku?" suara Alana gemetar.
Arga menatapnya sekilas. "Kau butuh pertolongan... itu cukup," jawabnya singkat. Namun nada suaranya tak sepenuhnya dingin; ada sesuatu yang sulit dijelaskan, campuran kesedihan, kelelahan, dan ketegangan.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di sebuah tempat persembunyian sederhana-bambu dan daun membentuk atap, api kecil menyala di tengah-tengah. Arga meletakkan Alana di atas alas tidur seadanya.
"Kau harus tetap di sini. Jangan mencoba bangun atau lari," kata Arga, matanya terus mengawasi hutan di luar. "Mereka... orang-orang yang mengejarmu, mereka mungkin masih mencari."
Alana menatapnya dengan mata lebar. "Mereka... mereka bisa membunuhku..." suaranya nyaris tak terdengar.
Arga duduk di dekatnya, menyalakan api lebih besar. "Kalau kau lemah, mereka bisa. Tapi kalau kau belajar... bagaimana caranya bertahan... mungkin lain ceritanya." Nada suaranya rendah, hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri.
Alana merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya-rasa takut yang berubah menjadi tekad. "Aku... aku tidak akan membiarkan mereka menang," gumamnya. Arga menatapnya lagi, sorot matanya tajam tapi ada sekilas rasa kagum.
Malam itu, Alana belajar hal baru: tentang ketahanan, tentang rasa sakit, dan tentang pentingnya percaya pada seseorang-meski hanya sedikit-untuk tetap bertahan hidup. Sementara Arga, pria yang keras dan penuh rahasia, mulai menyadari bahwa gadis ini bukan sembarang orang. Ada api di matanya, api yang bisa membakar lebih dari sekadar rasa takut.
Di luar persembunyian, hujan mulai reda. Hutan Gunung Lawu tetap diam, menyimpan rahasia, menyaksikan pertemuan antara korban dan penyelamat. Alana yang lemah tapi masih hidup, dan Arga, pria yang dikejar masa lalu, kini berada di jalur yang sama-dua jiwa yang terluka, dua tujuan yang berbeda tapi saling terkait: bertahan hidup dan membalas dendam.
Raka, Daffa, dan Iqbal masih berkeliaran di hutan, mengira Alana hilang dan tak bisa melawan lagi. Mereka tak tahu, pertemuan Alana dengan Arga justru akan mengubah segalanya.
Dalam kegelapan malam itu, bisikan hutan seakan berkata: ini baru permulaan.
Hujan yang reda meninggalkan aroma tanah basah yang pekat. Kabut tipis masih menyelimuti hutan Gunung Lawu, membuat dunia tampak samar, seolah berada di antara nyata dan mimpi. Alana membuka mata perlahan. Tubuhnya masih sakit, tulang-tulangnya nyeri, tapi ia hidup-dan itu adalah hal pertama yang dirasakannya dengan lega.
Arga duduk di seberangnya, menatap api yang berkobar kecil di tengah persembunyian. Wajahnya setengah tertutup bayangan pepohonan, tapi mata tajamnya terus memperhatikan setiap gerak Alana. "Kau sadar lebih cepat dari yang kukira," ucapnya singkat.
Alana mencoba bangkit, tapi rasa nyeri membuatnya menekuk lutut. "Aku... masih sakit," gumamnya, suaranya gemetar.
Arga mengangkat satu alisnya. "Sudah kukatakan jangan bergerak. Tubuhmu butuh waktu untuk sembuh. Tapi kalau kau mau bertahan hidup, harus mulai belajar menahan rasa sakit."
Alana menatapnya dengan mata lebar, hatinya masih diliputi ketakutan. Ia menoleh ke arah pintu persembunyian yang hanyalah celah bambu, memikirkan Raka, Daffa, dan Iqbal. "Mereka... mereka masih ada di hutan. Mereka ingin... membunuhku," katanya, suaranya hampir berbisik.
Arga mengangguk, tanpa berkata banyak. Tatapannya kembali fokus pada api unggun. "Kalau kau ingin selamat, kau harus belajar lebih dari sekadar lari atau sembunyi. Kau harus mengerti hutan ini, mengerti bahaya, dan mengerti orang-orang seperti mereka."
Hari demi hari berlalu. Alana mulai pulih, meski rasa sakit tak sepenuhnya hilang. Arga mengajarinya cara bertahan hidup di hutan-membuat api tanpa korek, mencari sumber air bersih, membaca tanda-tanda alam, dan mengenali hewan yang berbahaya.
Setiap latihan fisik membawa nyeri, tapi juga menumbuhkan kekuatan. Alana belajar mengayunkan tongkat kayu untuk pertahanan diri, merangkak melalui tanah basah, dan bahkan menembus rimbunnya semak belukar tanpa menimbulkan suara. Arga selalu ada di sampingnya, menilai, menegur, tapi juga memberi pujian ketika Alana berhasil.
Suatu malam, saat hujan rintik kembali turun, Alana duduk di samping Arga, menggigil di bawah mantel tipis yang diberikan pria itu. "Kenapa kau membantuku? Kau bisa saja membiarkanku mati," ucapnya, mencoba memahami pria yang misterius ini.
Arga menghela napas panjang. "Dulu aku pernah menjadi seperti mereka... hanya berbeda caranya. Tapi aku tahu, ada yang pantas diselamatkan. Kau... kau mungkin salah satunya," jawabnya, suaranya rendah tapi tegas. Ia menundukkan kepala, menatap api yang menyala.
Alana menelan ludah, hatinya berdentum keras. Ada sesuatu dalam suara Arga yang membuatnya merasa aman-tetapi juga menimbulkan rasa penasaran. Siapa sebenarnya pria ini? Dan mengapa ia memilih menyendiri di hutan, menjauh dari dunia yang normal?
Seiring waktu, Alana mulai memahami pola hutan. Ia bisa merasakan ketika ada suara asing di kejauhan, aroma manusia di udara, bahkan jejak kaki yang samar di tanah basah. Arga mulai melatihnya untuk lebih tajam lagi: membaca ekspresi, mengatur napas, dan memprediksi gerakan musuh.
Suatu pagi, ketika kabut masih menyelimuti pepohonan, Arga menghentikan latihan mereka. "Cukup untuk hari ini," katanya, suaranya berat. "Sekarang kau harus mulai merencanakan... apa yang akan kau lakukan terhadap mereka."
Alana menatapnya bingung. "Mereka... siapa? Kau maksud Raka, Daffa, dan Iqbal?"
Arga mengangguk. "Ya. Kau ingin membalas, kan? Tapi dengarkan aku... ini bukan tentang menyerang mereka secara spontan. Kalau kau salah langkah, mereka akan menang. Kau harus cerdas, sabar, dan... brutal jika perlu."
Alana menghela napas panjang. Rasa takutnya masih ada, tapi sekarang disertai tekad yang menguat. Ia ingin membalas dendam, ingin merasakan keadilan atas apa yang nyaris merenggut hidupnya.
"Bagaimana aku memulainya?" tanya Alana.
Arga menatapnya dalam-dalam. "Pertama, kau harus kuat. Kedua, kau harus tahu musuhmu. Ketiga, jangan biarkan emosi menguasaimu. Emosi akan membuatmu lemah."
Alana mengangguk, menahan rasa sakit di tubuhnya. Ia tahu jalannya masih panjang, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada kendali.
Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan fisik yang lebih keras. Arga menantang Alana dengan medan yang ekstrem: meniti tebing curam, merangkak melalui semak berduri, dan menyeberangi sungai deras. Alana jatuh berkali-kali, tangannya terluka, lututnya memar, tapi ia selalu bangkit.
Di malam hari, Arga mengajarinya taktik bertahan hidup psikologis: membaca ekspresi lawan, mengatur intimidasi, dan menggunakan lingkungan sekitar sebagai alat. Alana mulai menyadari bahwa membalas dendam bukan sekadar kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan dan kesabaran.
Suatu malam, ketika mereka duduk di dekat api unggun, Arga membawakan sebuah tas kecil berisi peta dan catatan. "Ini... sesuatu yang mungkin berguna untukmu," katanya sambil menyerahkan peta itu kepada Alana.
Alana membuka peta, melihat beberapa jalur pendakian dan pos yang ditandai. "Apa ini?" tanyanya.
"Ini jalur mereka. Aku tahu di mana mereka biasanya berkumpul dan jalur yang mereka gunakan. Kau harus mempelajarinya, hafalkan, dan gunakan saat waktunya tiba," jelas Arga.
Alana menatap peta itu dengan tekad. Ia membayangkan wajah Raka, Daffa, dan Iqbal, dan api dendam mulai menyala lebih besar dalam dirinya. "Aku akan melakukannya," gumamnya.
Seiring waktu, kedekatan antara Alana dan Arga semakin erat. Bukan hanya sebagai guru dan murid, tetapi juga sebagai dua orang yang saling memahami luka masing-masing. Alana mulai memperhatikan sisi lain dari Arga-sebuah kesedihan yang tersembunyi di balik ketegasan, kerinduan akan dunia yang ia tinggalkan, dan rasa bersalah yang membuatnya mengasingkan diri.
Arga pun mulai membuka diri sedikit demi sedikit. Ia bercerita tentang masa lalunya sebagai anggota Kopassus, tentang operasi-operasi yang telah ia jalani, dan kesalahan yang membuatnya harus melarikan diri. Alana mendengarkan dengan seksama, merasa ada ikatan tak terucapkan di antara mereka.
Namun, mereka berdua tahu, waktu mereka terbatas. Raka, Daffa, dan Iqbal tidak akan berhenti mencari. Dan ketika mereka menemukan jejak Alana, pertemuan itu tidak akan sekadar kata-kata-itu akan menjadi perang yang menentukan siapa yang akan bertahan hidup.
Malam berikutnya, saat kabut menyelimuti hutan, Arga membawa Alana ke sebuah lokasi yang lebih tinggi, sebuah batu besar yang menghadap lembah. Dari sana, Alana bisa melihat hutan terbentang luas, dan jalur-jalur yang mungkin dilewati musuh.
"Kau harus tahu... kekuatan terbesar bukan hanya dari tangan, tapi dari otak dan hati," kata Arga. "Kalau kau bisa menguasai itu, kau akan menjadi pembalasan yang sempurna."
Alana menatap lembah, udara dingin menusuk wajahnya, tapi rasa dingin itu tak mampu menahan tekadnya yang membara. Ia membayangkan rencana yang mulai terbentuk di kepalanya, cara untuk menghancurkan ketiga lelaki itu, satu per satu, tanpa mereka menduga.
Di dalam hati, ia berjanji: tidak ada yang akan lolos dari dendamnya, dan tidak ada yang akan menghancurkan hidupnya lagi.
Di sisi lain, Arga menatapnya dengan mata waspada. Ia tahu, Alana sekarang bukan lagi gadis lemah yang ia selamatkan dari jurang. Ia telah menjadi sesuatu yang berbeda-sebuah api yang tak boleh diremehkan, dan suatu hari, api itu akan meledak.
Di kegelapan hutan Gunung Lawu, dua jiwa yang terluka, dua tujuan yang berbeda tapi selaras, bersiap menghadapi badai yang akan datang. Dan badai itu, tidak hanya berasal dari alam, tapi juga dari manusia-mereka yang telah merencanakan kehancuran, dan mereka yang bertekad membalas.
Bab 1 bayangan hitam yang bersembunyi
22/10/2025
Bab 2 Arga berjalan di belakangnya
22/10/2025
Bab 3 di bawah kaki hewan liar
22/10/2025
Bab 4 Kabut pagi Gunung Lawu
22/10/2025
Bab 5 Kekalahan kemarin
22/10/2025
Bab 6 dendamnya
22/10/2025
Bab 7 beberapa hari terakhir
22/10/2025
Bab 8 mengawasi musuh
22/10/2025
Bab 9 setiap keputusan yang mereka ambil
22/10/2025
Bab 10 hutan yang selama ini menjadi saksi perjuangan
22/10/2025
Bab 11 seorang peserta datang tergesa-gesa
22/10/2025
Bab 12 Kau merasakannya juga
22/10/2025
Bab 13 matanya penuh harapan
22/10/2025
Bab 14 kunjungan itu berlangsung
22/10/2025
Bab 15 Beberapa masih memikirkan insiden
22/10/2025
Bab 16 hari ini kita akan menghadapi ujian
22/10/2025
Bab 17 jangan mudah terprovokasi
22/10/2025
Bab 18 Dunia nyata selalu menuntut keputusan
22/10/2025
Bab 19 tetap bertindak benar
22/10/2025
Bab 20 rasa bangga yang dalam
22/10/2025
Bab 21 Setelah beberapa minggu persiapan
22/10/2025
Bab 22 tidak suka
22/10/2025
Bab 23 ketika kalian tetap bertindak benar
22/10/2025
Bab 24 Ada perselisihan
22/10/2025
Bab 25 menunggu di luar
22/10/2025
Buku lain oleh Husnan
Selebihnya