Anakku Tak Butuh Ayah Sepertimu
ti menghirup jarum es. Namun kali ini, Alana tidak lagi merasa lemah. Ia melangkah dengan mantap, tongkat kayu di tangan, matanya me
Kau harus memperhatikan semuanya: langkah, suara, bahkan arah napas mereka. Ini bu
ad. Sejak terakhir kali mereka melihat ketiga lelaki itu di Pos Dua, Alana terus memikirkan ba
s jejak kaki. Raka, Daffa, dan Iqbal masih berkeliaran di wilayah ini, belum menyadar
g lalu. Kau harus hafalkan pola mereka. Jejak kaki, arah langkah, bahkan cara m
dipelajarinya akan menjadi alat untuk balas dendam. Dalam hatinya, kemarahan
on, membentuk "target" bergerak. "Kau harus menembak atau melempar dengan tepat," katanya, memberi Alana pisau kecil dan busur
ergoyang di angin. Setiap kali lemparan atau panah meleset, Arga menegurnya dengan tegas, tapi jugaah tepat sasaran. Ia tersenyum tipis, rasa percaya diri mulai tumbuh. Arga menatapnya, s
belajar bagaimana bergerak tanpa suara, mengenali pola langkah manusia, dan memahami psikologi mus
, mereka melihat cahaya api unggun-tanda bahwa ketiga lelaki itu sedang berkemah.
dan Iqbal. Ia melihat Raka, yang selalu menjadi pemimpin, tersenyum sinis sambil menyalakan ap
rlalu banyak," bisik Arga. "Kau harus sepert
ncana pertama: cara membuat mereka lengah, cara memancing kesalah
eras, merangkak di semak berduri, dan meniti tebing licin. Alana jatuh berkali-kali, tubuhnya penuh lu
p. Mereka tidak akan menunggu. Jika mereka me
ala. "Aku... aku siap. Aku akan menghanc
menapaki jalur pendakian yang sama. Alana menahan napas, hatinya berdentum keras
rang dulu. Amati. Pelajari. Kita belum sia
al mengikuti. Ia memperhatikan cara mereka berjalan, bagaimana mereka berbicara, bahkan c
, setiap kebiasaan ketiga lelaki itu dicatat dengan teliti. Ia mulai merencanakan langkah demi langkah, bagaiman
lemah yang jatuh ke jurang dulu. Kau menjadi predator yang cerdas. Tap
tekad. "Aku tahu. Tapi aku tidak ak
, menyiapkan jebakan sederhana, dan membaca tanda-tanda manusia serta alam. Hubungannya dengan Arga semakin dalam,
Alana dengan serius. "Kau harus tahu... membalas dendam itu berbahaya. Sekali kau m
m pikirannya. "Aku sudah kehilangan hampir segalanya. Sekarang aku hanya pu
s ini tidak bisa dihentikan. Ia hanya bisa membimbingnya, menyiapkan setiap l
idup kini tampak hening, hanya terdengar suara ranting patah di kejauhan dan aliran sungai yang bergemuruh. Alana berdi
berdiri di belakang Alana, tangan terlipat di dada, tubuhnya
"Aku sudah siap.
ah. "Ingat, ini bukan hanya soal kekuatan. Kau harus memperhatikan pola langkah mer
tampak menikmati perjalanan mereka, sama sekali tidak menyadari bahwa Alana sedang mengamati. Ala
kau bukan gadis yang jatuh ke jurang du
digenggamnya, sementara Daffa sibuk menyesuaikan tali ransel, dan Iqbal melirik ke kanan-kiri dengan mata waspada. A
bisa ia pahami. Setiap cabang patah, setiap jejak kaki yang ter
g pohon untuk membuat perangkap yang bisa memperlambat atau menakuti musuh. "Ini bukan untuk membunuh, tapi untuk
g. Ia tahu ini adalah langkah pertama, dan kegagalan bisa berarti bencana. Tapi ada ras
an percaya diri, sesekali menoleh ke Daffa dan Iqbal untuk memastikan semuanya berj
suara keras. Alana menegang. Arga menepuk bahunya, berbisik, "
ika Raka melangkah ke titik jebakan pertama, Alana menarik tali dengan lembut, membuat ranting patah
ffa dan Iqbal menatap ke tanah, tampak bingung. Mereka ti
Langkah pertamanya berhasil-tidak untuk melukai, tapi untuk member
enciptakan ilusi bahwa hutan penuh dengan pengintai. Arga mengajarinya bagaimana menanamkan rasa takut tanpa t
dan Iqbal terjebak dalam kebingungan, merasa bahwa hutan ini menjadi musuh mereka sendiri. Ia
panjang dan sepi, dan setiap suara yang samar membuatnya teringat insiden di Pos Dua. Alana dudsuaranya rendah tapi tegas. "Tapi aku mengerti... rasa takut i
r kecil. "Aku... aku akan belajar. Aku t
i ingat, balas dendam itu berbahaya. Kau harus siap menghadap
k, hatinya bert
it yang menjadi jalur biasa ketiga lelaki itu. "Ini kesempatanmu untuk menguji jeb
ng di jalur mereka, menciptakan ilusi bahwa jalan licin dan berbahaya. Ketika Rak
pertanyakan jalannya sendiri. Alana menyaksikan dari kejauhan, hati berdebar kencang. T
gus. Kau mulai mengerti bagaimana cara memanfaatka
tekad yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Hutan yang dulu menakutkan kini menjadi sekutu, dan A
inari wajahnya, dan ia merasa dingin sekaligus bersemangat. Ia tahu, setiap langkah yang diambiln
tajamnya sulit dibaca. "Kau siap unt
ukis di wajahnya. "Aku siap. Tidak
a-bersiap menghadapi badai yang akan datang. Badai yang bukan hanya berasal dari alam