Anakku Tak Butuh Ayah Sepertimu
/0/28887/coverbig.jpg?v=6c753f3324156b292aa56efefccd1588&imageMogr2/format/webp)
hujan dan sesekali gemerisik daun yang memecah kesunyian. Namun, jauh di balik pepohonan, ti
ikan dia nggak bisa lari," bisiknya, suaranya serak. Daffa mengangguk pelan, menatap api unggun dari kejauhan. Iqbal,
kuduknya meremang. Hatinya berdebar, naluri bahaya yang samar mulai berdesir di dalam dada. Ia menata
bayangan muncul. Raka dan kedua
ana, tetapi suaranya ten
kedua sisi. "Lepaskan aku!" teriak Alana, mencoba menendang dan menangkis. Tangannya berjuang keras,
gan buat masalah," geramnya. Daffa mencoba menahan tubuh Alan
ru akan dimulai. Dengan kekuatan yang tersisa, ia menendang Raka tepat di perut, membuatnya terhuyung ke belakang. Ia kemudian
lagi, tatapannya dipenuhi kemarahan. "Kau nggak akan kabur beg
entang-tulang pohon dan batu menutupi dasarnya. Ia tersandung akar pohon yang menonjol, tubuhnya terpelanting ke udara, da
sa lemah, tubuhnya dipenuhi memar dan luka. Ia mencoba menggerakkan kepala, tapi rasa pusin
lana menegakkan sedikit kepalanya, mencoba mencari sumber suara. Dari kegelapan, soso
ulu," katanya sambil menahan tubuh Alana yang hampir jatuh lagi. Tangannya kasar
kau?" gumam Alan
am sorot matanya yang membuat Alana merasa aman-meski sedikit takut juga. Arga meng
n ketakutan yang menumpuk. Ia bertanya-tanya, mengapa seseorang sep
bantuku?" suaranya singkat. Namun nada suaranya tak sepenuhnya dingin; ada sesuatu
n sederhana-bambu dan daun membentuk atap, api kecil menyala di
kata Arga, matanya terus mengawasi hutan di luar. "Mereka...
. "Mereka... mereka bisa membunuhk
bisa. Tapi kalau kau belajar... bagaimana caranya bertahan... mungkin lain ce
menjadi tekad. "Aku... aku tidak akan membiarkan mereka menang," gumamny
rang-meski hanya sedikit-untuk tetap bertahan hidup. Sementara Arga, pria yang keras dan penuh rahasia, mulai menya
ra korban dan penyelamat. Alana yang lemah tapi masih hidup, dan Arga, pria yang dikejar masa lalu, kini berada di j
Alana hilang dan tak bisa melawan lagi. Mereka tak tahu,
, bisikan hutan seakan be
membuat dunia tampak samar, seolah berada di antara nyata dan mimpi. Alana membuka mata perlahan. Tubuhnya
. Wajahnya setengah tertutup bayangan pepohonan, tapi mata tajamnya terus memperha
membuatnya menekuk lutut. "Aku... masgerak. Tubuhmu butuh waktu untuk sembuh. Tapi kalau kau m
intu persembunyian yang hanyalah celah bambu, memikirkan Raka, Daffa, dan Iqbal. "Mereka..
lau kau ingin selamat, kau harus belajar lebih dari sekadar lari atau sembunyi. Kau
. Arga mengajarinya cara bertahan hidup di hutan-membuat api tanpa korek, mencari
ntuk pertahanan diri, merangkak melalui tanah basah, dan bahkan menembus rimbunnya semak belukar tanpa menim
igil di bawah mantel tipis yang diberikan pria itu. "Kenapa kau membantuku? Kau
aranya. Tapi aku tahu, ada yang pantas diselamatkan. Kau... kau mungkin salah satunya,"
embuatnya merasa aman-tetapi juga menimbulkan rasa penasaran. Siapa sebenarnya pr
ejauhan, aroma manusia di udara, bahkan jejak kaki yang samar di tanah basah. Arga mulai mela
tihan mereka. "Cukup untuk hari ini," katanya, suaranya berat. "Sekarang k
"Mereka... siapa? Kau maks
bukan tentang menyerang mereka secara spontan. Kalau kau salah langkah,
arang disertai tekad yang menguat. Ia ingin membalas dendam, in
u memulainya?
t. Kedua, kau harus tahu musuhmu. Ketiga, jangan bia
hnya. Ia tahu jalannya masih panjang, tapi u
medan yang ekstrem: meniti tebing curam, merangkak melalui semak berduri, dan menyeberangi sun
mengatur intimidasi, dan menggunakan lingkungan sekitar sebagai alat. Alana mulai menyada
sebuah tas kecil berisi peta dan catatan. "Ini... sesuatu yang mungk
rapa jalur pendakian dan pos yan
mpul dan jalur yang mereka gunakan. Kau harus mempelajari
h Raka, Daffa, dan Iqbal, dan api dendam mulai menyala le
orang yang saling memahami luka masing-masing. Alana mulai memperhatikan sisi lain dari Arga-sebuah kesedihan yang ters
ta Kopassus, tentang operasi-operasi yang telah ia jalani, dan kesalahan yang membuatnya harus me
erhenti mencari. Dan ketika mereka menemukan jejak Alana, pertemuan itu tidak akan se
asi yang lebih tinggi, sebuah batu besar yang menghadap lembah. Dari sana, Alana
gan, tapi dari otak dan hati," kata Arga. "Kalau kau bisa
menahan tekadnya yang membara. Ia membayangkan rencana yang mulai terbentuk di kepal
ng akan lolos dari dendamnya, dan tidak
lagi gadis lemah yang ia selamatkan dari jurang. Ia telah menjadi sesuatu yang be
ersiap menghadapi badai yang akan datang. Dan badai itu, tidak hanya berasal dari alam, tapi j