Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Sang Majikan
“Aku cuma mau papa," gumam anaknya.
Lily hanya tersenyum getir usai mendengar kalimat barusan. Permintaan sederhana yang ternyata sangat sulit untuk dia wujudkan. Wanita bersurai panjang itu terdiam cukup lama sembari memandangi buah hatinya yang tengah sibuk menyantap makan siang.
“Mau tambah lagi, hemm? Tempe goreng atau ikannya?” tanyanya dengan wajah yang terlihat kembali ceria.
“Enggak. Aku sudah kenyang,” tolak Farel pelan. “Mama denger tidak yang aku katakan tadi? Aku mau papa datang di pesta ulang tahunku.”
“I-iya. Akan mama usahakan ya, Sayang,” jawab Lily yang sebenarnya juga tak begitu yakin.
“Atau aku yang telepon papa saja ya? Aku sudah kangen.” Gelengan Lily membuat bocah yang usianya hampir mencapai empat tahun tersebut seketika cemberut. “Kenapa sih? Papa sudah tidak sayang aku?”
“Eh? Siapa bilang begitu? Papa lagi sibuk bekerja. Kamu sabar ya. Nanti mama yang hubungi papa kamu. Sekarang cepat selesaikan makannya, terus tidur siang. Oke?”
Anggukan Farel membuat Lily bernapas lega. Di dalam hati sungguh dia sangat merutuki sang mantan suami yang sudah lama tak memberi kabar. Ada rasa berkecamuk detik itu juga mengingat janji yang pernah diucapkan oleh pria tersebut. Sayangnya semua hanya ucapan belaka. Hampir setahun lamanya buah cinta mereka tidak mendapatkan kabar atau nafkah layak sebagaimana kesepakatan yang telah dibuat.
Usai memastikan kalau anaknya sudah masuk ke kamar, barulah Lily memberanikan diri menyambar ponselnya. Lantas melihat riwayat pesan yang sekitar dua bulan lalu tidak kunjung mendapatkan balasan hingga detik ini. Luka yang telah lama dia tutupi kini kembali terbuka.
Suara balasan dari layanan jaringan telepon membuatnya berdecak pelan. Sesuai dugaannya kalau nomor sang mantan suami akan sulit dihubungi. Tidak ada pilihan selain mencoba jalur yang terakhir. Jadilah Lily berbuat nekad.
“Ha-halo!” sapanya ketika mendengar panggilan tadi langsung tersambung.
[“Halo. Ini Nyonya Li-ly ya?”]
Senyum Lily langsung terulas tipis meskipun hatinya sedang dilanda sedikit kecemasan. “Iya, Mbok. Iya, aku Lily. Hemm ... Mas Adrian ada?”
Sayangnya harapan tadi langsung pupus ketika dia mendengar suara lantang dari seberang sana. Siapa lagi kalau bukan sang mantan ibu mertua yang merebut paksa telepon dari asisten rumah tangga tersebut.
[“Hei, kamu!! Masih berani telepon kemari, hah??”]
“Mami??” Napas Lily seketika tercekat usai mendengar suara hardikan barusan. Demi permintaan Farel dia kembali menjatuhkan harga dirinya lagi.
[“Kenapa? Kamu berharap kalau Adrian yang akan terima telepon ini? Jangan mimpi kamu! Mau apa? Kamu kekurangan uang? Iya? Enggak sanggup ngurusin anak kamu sendiri? Makanya jangan sok mampu kamu! Dengan yakinnya waktu itu ngomong kalau bisa besarin Farel. Butuh uang berapa kamu? Saya transfer sekarang!"]
Air mata Lily jatuh saat itu juga. Dia terisak karena lagi-lagi harus menerima perkataan kasar dari wanita yang menjadi penyebab hancur rumah tangganya barusan. “Mi, aku telepon bukan untuk minta uang.”
[“Terus apa coba? Kamu kerjanya cuma nyusahin anak saya saja. Beda sama calon mantu saya si Bella yang sekarang. Sudah cantik, baik, mandiri, dan pastinya berasal dari keturunan yang sederajat sama kami.”]
“Cukup, Mi. Aku hubungin ke nomor rumah karena hape-nya Mas Adrian enggak aktif udah sejak lama,” sergah Lily sembari menghapus kasar jejak air matanya. “Farel pengen jumpa papanya. Dua hari lagi dia ulang tahun. Dia cuma mau kehadiran Mas Adrian.”