Sebagai seorang Ibu, hatiku terasa sakit melihat perubahan sikap anak sulung laki-laki ku setelah menikah. Dia lebih menyayangi istrinya daripada aku. Aku yang mengandung, melahirkan dan membesarkannya, tapi dia justru memberikan cinta seutuhnya untuk sang istri.
"Jangan yang itu, Bu!"
Tangan kananku seketika menggantung di udara, aku menoleh dan menatap Rudi, anak sulung ku, penuh tanda tanya.
"Itu punya Elsa, ibu makan yang ini saja," jelasnya sambil menggeser makanan ringan sisa perjalanannya tadi ke depanku, sepertinya dia mengerti arti tatapanku ini. Ku tarik tangan kananku dari udara, lalu meletakkannya di atas paha.
"Wah... Banyak banget, Bang...."
Elsa, istri Rudi, tiba-tiba masuk ke ruang tengah, entah dari mana dia tadi aku pun tidak tahu. Kebiasaannya yang suka bertandang ke rumah tetangga tak bisa berubah, meski aku sudah berkali-kali mengajarinya.
""Iya, Dek... Kan kamu minta dibawakan apel, jeruk, mangga dan alpokat. Ini Abang bawakan untukmu semua nya," sahut Rudi dengan bangga. Mataku tertuju pada buah mangga, Rudi tahu sekali kalau aku menyukai buah tersebut. Tapi dia tak memberikan izin kepadaku untuk mengambilnya barang satu buah saja. Aku terpaksa menelan air liur sambil menatap buah mangga yang jumlahnya sekitar delapan atau tujuh buah itu. Aromanya sangat kuat, menandakan isinya pasti sudah matang dan manis. Air liurku terbit membayangkan rasa manis yang mendominasi di balik kulit buah yang berwarna hijau dan berukuran besar itu.
"Terima kasih ya, Bang... Makin cinta deh sama Abang," ucap menantuku dengan gaya manja yang dibuat-buat.
"Ya sudah, kamu makan gih.. Jangan sampai anak kita ileran nanti, gara-gara keinginannya tidak dituruti," ucap Rudi memberi perintah. Elsa mengangguk lalu duduk di samping Rudi, tubuhnya sedikit membungkuk dan tangannya terulur mengambil sebuah mangga dari atas meja.
"Aku mau makan mangga dulu," ucap Elsa seperti memanas-manasi, Rudi tersenyum sambil menganggukkan kepala dan terus menatap istrinya.
"Bu... Tolong ambilkan pisau, dong!"
Aku menoleh cepat ke arah Elsa, ringan sekali mulutnya menyuruhku mengambilkan pisau untuknya.
"Ayolah, Bu... Elsa udah keburu duduk. Kasihan dia kalau harus berdiri lagi, dia kan lagi hamil cucu pertama Ibu," ucap Rudi membantu Elsa, aku memindahkan tatapanku pada Rudi. Ada rasa sakit di dada ini, bisa-bisanya Rudi
ikut memerintah ku juga.
Aku menghela nafas sebentar, lalu bangkit perlahan dari duduk. Kulangkahkan kakiku ke dapur, membawa hatiku yang perih menjauh dari kedua anak dan menantuku yang tahu diri. Beberapa menit kemudian, aku kembali ke ruang nonton dan meletakkan pisau di atas meja, tepat di samping buah-buahan yang dibawakan Rudi spesial untuk istrinya.
Setelah itu, aku berbalik badan untuk menjauh. Daripada harus mencium aroma mangga, aku memutuskan untuk ke kamar tidur dan menyendiri di sana.
"Lho... Bu!! Piringnya koq nggak sekalian dibawa!"
tak kuperdulikan pertanyaan ketus setengah memerintah yang keluar dari mulut Elsa, ku lanjutkan langkah menuju kamar, lalu langsung mengunci pintu kamar yang sudah aku tutup dari dalam.
Air mataku langsung mengalir deras begitu suara kunci memutar untuk yang kedua kalinya. Aku melangkah menuju tempat tidur, lalu duduk di atasnya. Sambil menatap cermin yang ada di samping tempat tidur, aku memaki diriku sendiri. Entah kenapa dulu aku memberikan izin kepada anak sulung ku untuk menikahi ratu kegelapan itu. Sehingga akhirnya, rumah ini pun terbawa aura gelap sejak perempuan itu tinggal bersama kami beberapa bulan yang lalu.
*
Namaku Risma, aku sudah menjadi janda sejak Rudi masih duduk di kelas empat SD. Saat itu aku sedang hamil anak keduaku, Reza. Mas Kerta, suamiku, meninggal dunia karena kecelakaan bus saat dalam perjalanan pulang dari rumah Ibunya, mertuaku. Sejak saat itulah, aku menjadi kepala rumah tangga sekaligus juga ibu rumah tangga bagi kedua anakku yang saat itu masih kecil-kecil.
Rudi Firmansyah, anak sulung ku, saat ini sudah berusia tiga puluh lima tahun. Dia memang agak telat menikah, dia baru menikahi Elsa dua tahun yang lalu. Rudi bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan rokok. Setelah menikah, Rudi dipindah tugas oleh perusahaan tempatnya bekerja ke Bukit Tinggi, tiga jam dari kota Padang, tempat tinggal ku. Rudi segera membawa Elsa pindah ke Bukit Tinggi, mereka bahkan sudah memiliki rumah sendiri di sana. Tapi, karena saat ini Elsa sedang hamil besar dan orang tuanya berada jauh di Lampung, Rudi meminta Elsa untuk tinggal bersamaku menjelang lahiran. Pertimbangannya, Rudi bisa bolak balik Padang - Bukit Tinggi yang jaraknya lebih dekat, meskipun seminggu sekali dari pada harus ke Lampung. Nanti, setelah lahiran, orang tua Elsa akan datang ke sini kemudian setelah empat puluh hari Elsa dan kedua orang tua beserta bayinya akan kembali ke Bukit Tinggi.
Aku baru tahu sikap asli Elsa dan perubahan Rudi anakku beberapa bulan terakhir, tepatnya sejak Elsa tinggal bersamaku di rumah ini. Dia yang dulu sopan, manis dan perhatian, ternyata hanya topeng semata. Sejak dia berada di sini sampai hari ini, tak ada satu pekerjaan rumah pun yang dia lakukan. Kehamilannya selalu menjadi alasan untuk tidak melakukan apapun di rumah ini, dan Rudi menyetujui sikap malasnya itu. Alhasil, aku lah yang mengurusi semua kebutuhan menantuku itu, mulai dari mencuci dan menyetrika pakaiannya, menyiapkan makanan hingga membersihkan rumah. Semuanya aku kerjakan sendiri.
Biaya Elsa sehari-hari selama tinggal di rumah ini pun juga aku yang memikirkan. Rudi tak memberikan uang belanja sepeserpun kepadaku, sementara Elsa sering sekali meminta dimasakkan makanan yang mahal. Kalau aku protes, dia akan langsung menangis dan mengadu pada suaminya, lalu anakku itu akan meneleponku dan marah-marah. Sakit.. Hatiku sakit sekali melihat perlakuan anak kandungku yang selalu membela istrinya. Tapi, aku tetap bertahan agar aku tidak dijadikan tokoh utama dalam cerita menantu versus mertua yang kejam.
Mas Kerta dulunya bekerja sebagai guru ASN di salah satu SMP di kota ini, sedangkan aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang memiliki hobi menjahit. Jadi, untuk kebutuhan rumah tangga Alhamdulillah aku tak merasa kewalahan kalau hanya untuk diriku sendiri, lagipula aku bukan tipe orang yang suka pilih-pilih makanan ataupun maruk ingin mencoba makanan ini dan itu.
Anak bungsuku, Reza Firmansyah, bekerja sebagai TKI di Taiwan. Baru enam bulan dia berada di sana. Bantuan biaya bulanan di bulan terakhir ini juga aku dapatkan darinya. Jumlahnya cukup besar, tapi aku tentu saja tidak menghabiskan kirimannya begitu saja. Suatu hari Reza juga akan menikah dan memiliki keluarga, aku sudah mulai bersiap-siap menabung untuk membelikannya rumah, seperti yang aku berikan kepada Rudi dulu setelah dia menikah dengan Elsa. Jadi, rumah Rudi yang ada di Bukit Tinggi adalah hadiah dariku untuk Rudi dan istrinya. Bukan rumah yang besar, tapi layak dan juga berada di tengah kota. Uang pembelian rumah itu dulu juga aku sisihkan dari uang belanja yang selalu Rudi berikan setiap bulan kepadaku. Tapi sejak menikah, jangankan uang belanja bulanan, mangga satu buah saja pun tak bisa dia belikan. Hidupnya sudah dia abadikan untuk istri dan keluarga istrinya saja, sudah tidak ada lagi buatku. Harapanku, nantinya Reza bisa menemukan istri yang karakternya berbeda dengan Elsa. Tidak perlu cantik ataupun harus wanita yang bekerja, tidak peduli mau masih gadis ataupun janda, yang terpenting calon istrinya itu bisa menyayangi aku seperti ibunya sendiri, itu saja sudah cukup.
*
"Ibu dari mana? Aku lapar!"
Aku langsung menghentikan langkah, lalu menoleh pada Elsa yang sudah duduk di depan televisi dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Rudi sudah kembali ke Bukit Tinggi kemarin sore, jadi hari ini aku kembali hanya tinggal berdua saja dengan Elsa.
"Ibu!! Aku lapar!!" teriak Elsa dengan suaranya yang melengking. Aku sempat melonjak kaget, tapi cepat-cepat menguasai diri.
"Kalau lapar ya makan, Sa! Kenapa teriak-teriak? Ini bukan hutan!" sahutku pelan dan ditekan. Mataku melotot tak senang menatap nya.
"Mau makan apa!! Meja aja masih kosong begini!" bentaknya lagi, aku menghela nafas berat, lalu menghembuskan nya perlahan.
"Terserah kamu mau makan apa, di kulkas ada telur, ayam, daging dan berbagai jenis sayuran. Kamu tinggal mengolahnya saja, kan nggak susah." jawabku sambil berusaha tenang.
"Lho.. Koq malah aku yang masak? Ibu kan tahu aku nggak bisa masak." ucapnya lagi.
"Kalau nggak bisa masak, kamu pergi ke sebelah! Warung nasi uduk si Sari masih buka, Rudi kan ninggalin uang ke kamu. Masak iya untuk beli nasi uduk juga harus pakai uang Ibu," ucapku sinis.
"Nasi uduknya nggak enak, apaan... Nasi uduk nggak ada rasa! Emak kalau masak nasi uduk itu pakai...."
"Minta Emakmu masakkan nasi uduk buatmu, beres!!" potongku cepat. Elsa melongo mendengar ucapannya aku potong, sementara aku sudah berlalu dari hadapannya. Aku pulang hanya untuk mengambil mukena, untuk melaksanakan shalat jenazah Ibu Broto, Ibu ketua RT yang tadi subuh meninggal dunia. Saat aku mau ke rumah duka tadi, aku sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar menantuku, tapi dia malah membentakku dengan kalimat yang kasar. Akhirnya, aku pergi melayat tanpa meninggalkan pesan apapun untuk menantuku itu.
Aku keluar dari kamar membawa mukena hendak segera ke mesjid, saat aku melewati pintu kamar Elsa, aku mendengar dia sedang berbicara di telepon sambil menangis pilu. Langkahku langsung terhenti, lalu bergerak melangkah pelan mendekati pintu kamarnya. Suaranya yang cempreng terdengar sedang mengadu pada suaminya di seberang sana, ditambah dengan tangisan pilu seolah-olah baru saja didzalimi mertua.
Panggilan untuk segera menyalatkan jenazah Bu Broto terdengar sampai ke rumahku, karena jarak rumahku dari mesjid hanya beberapa meter saja. Aku langsung bergerak menjauh dari pintu kamar, melanjutkan langkah hendak keluar dan segera menuju ke mesjid.
*
"Ibu koq tega banget, sih! Elsa itu sedang hamil anakku, Bu! Cucu pertama Ibu! Tidak bisakah Ibu mengerti dan menyayangi Elsa layaknya dia adalah anak kandung Ibu!"
Salam ku saat menjawab teleponnya tidak dijawab. Anak sulung ku itu malah membentak-bentak aku, sama kasarnya dengan nada yang digunakan istrinya tadi saat sedang berbicara denganku. Sakit... Lagi-lagi aku merasakan sakit yang teramat sangat di dalam hati. Tega sekali anakku ini berkata kasar kepadaku, orang yang sudah menjaganya sejak dari kandungan, bahkan membesarkannya sendirian.
"Kalau ibu tak suka Elsa tinggal bersama Ibu, aku akan segera bawa dia ke Bukit Tinggi. Tak tenang juga hatiku lama-lama mendengar kedzaliman yang Ibu lakukan pada istriku itu!" sambung Rudi.
"Kalau begitu, silahkan bawa istrimu secepatnya, aku tidak akan menahan kepergiannya sedikitpun!"
Bab 1 Sikap Menantu
21/01/2022
Bab 2 Kedatangan Besan
21/01/2022
Bab 3 Memutuskan Pindah
21/01/2022
Bab 4 Mulai Tegas
21/01/2022
Bab 5 Bukan Pembantu
21/01/2022
Bab 6 Elsa Melahirkan
21/01/2022
Bab 7 Mulai Berontak
21/01/2022
Bab 8 Kebenaran Lain Terungkap
21/01/2022
Bab 9 Meminta Rumah
21/01/2022
Bab 10 Reza Kembali
21/01/2022
Bab 11 Dituduh Mencuri
25/01/2022
Bab 12 Anak Pemilik Perusahaan Besar
25/01/2022
Bab 13 Rudi Lelah
25/01/2022
Bab 14 Rudi Meminta Ampun
29/01/2022
Bab 15 Keributan Lagi
29/01/2022
Bab 16 Elsa POV
30/01/2022
Bab 17 Mobil Baru
30/01/2022
Bab 18 Elsa dan Emak Kembali
30/01/2022
Bab 19 Jatuh Talak
01/02/2022
Bab 20 Harta Gono Gini
01/02/2022
Bab 21 Kabar Buruk
27/02/2022
Buku lain oleh dhena_28
Selebihnya