/0/24543/coverbig.jpg?v=20250719182956&imageMogr2/format/webp)
Demi uang 500 juta rupiah, Calista rela menyewakan rahimnya untuk Darian, pria yang tak lain adalah kekasih dari sahabatnya sendiri, Mireya. Dengan alasan ingin hidup bebas tanpa anak di masa depan, Mireya memaksa Calista menerima tawaran gila itu-melahirkan anak untuk Darian yang terus-menerus ditekan oleh keluarganya agar segera menikah dan punya keturunan. Awalnya, Calista berpikir semuanya akan berjalan sesuai rencana. Tidak ada ikatan, tidak ada drama. Kontrak mereka jelas-begitu bayi lahir, Calista harus pergi, dan uang itu menjadi miliknya sepenuhnya. Namun kenyataan jauh dari bayangannya. Kehamilan itu tidak hanya mengubah tubuhnya, tapi juga hatinya. Tatapan Darian tak lagi dingin. Sentuhannya tak lagi sekadar formalitas. Dan yang paling mengejutkan, Mireya mulai menunjukkan sisi gelapnya-posesif, penuh kebohongan, dan menyimpan rahasia yang perlahan terkuak. Yang awalnya hanya perjanjian, kini berubah menjadi medan pertempuran emosi. Dan Calista sadar, satu-satunya jalan keluar... bisa jadi membuatnya kehilangan lebih dari yang pernah ia bayangkan.
Calista menatap lembar kontrak di depannya seolah-olah benda itu bisa meledak kapan saja. Matanya terpaku pada nama-nama yang tercetak rapi di atas kertas itu-termasuk namanya sendiri, seakan ia baru saja menandatangani surat kematiannya.
"Ini hanya sembilan bulan, Cal. Setelah itu semuanya selesai," kata Mireya dengan suara lembut tapi dingin. Nada suaranya tak selaras dengan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
Calista masih diam. Tangannya gemetar di bawah meja kayu restoran hotel tempat mereka bertemu diam-diam malam itu. Matanya lalu berpindah pada pria yang duduk di samping Mireya-Darian Evander. Dingin, rapi, berjarak. Seorang pewaris tunggal dari keluarga pengusaha properti terbesar di negara itu. Pria yang selalu dilihat Calista sebagai bayangan pendukung dalam cerita cinta sahabatnya. Tak pernah ia pikirkan Darian akan menjadi bagian dari hidupnya-secara harfiah.
"Jadi... ini bukan hanya untuk hari ini, ya?" gumam Calista, suaranya nyaris tak terdengar.
Mireya tersenyum miring. "Tentu saja tidak. Ini untuk masa depan. Kamu tahu aku nggak mau punya anak. Aku sudah bilang dari awal, aku mau childfree. Tapi keluarganya Darian nggak berhenti menekan. Mereka ancam kalau Darian nggak punya anak dalam waktu dekat, warisan itu akan jatuh ke tangan pamannya. Itu tidak boleh terjadi."
Calista mengerjap. Uang lima ratus juta memang bukan angka kecil. Jumlah itu bisa menyelamatkannya dari jeratan utang rumah sakit mendiang ibunya, bisa membebaskannya dari tuntutan hidup yang sejak kecil tak pernah memberinya pilihan.
Namun tetap saja... ini bukan sekadar uang. Ini tentang kehidupan. Tentang tubuhnya. Tentang menyerahkan sesuatu yang suci-rahimnya-untuk seseorang yang bahkan bukan miliknya.
"Aku hanya perlu hamil, lalu melahirkan... dan setelah itu semuanya selesai?" tanyanya pelan.
Darian akhirnya angkat bicara, suaranya berat, tegas, tapi netral. "Kamu tidak akan diminta bertanggung jawab terhadap anak itu. Tidak ada tuntutan hak asuh, tidak ada ikatan hukum apa pun setelah lahiran. Kami sudah siapkan surat legalnya."
"Kamu nggak akan kehilangan apapun, Cal," tambah Mireya cepat, menekan lengan Calista dengan manis. "Sebaliknya, kamu justru dapat sesuatu yang akan menyelamatkan hidupmu. Kamu bilang sendiri, kamu sedang butuh uang, kan?"
Kalimat itu menyayat seperti pisau. Benar. Ia sedang butuh uang. Sangat. Tapi kenapa harus seperti ini?
Calista menarik napas dalam. Dunia selalu menyudutkannya, bahkan sekarang pun ia dipaksa memilih antara harga diri atau kelangsungan hidup.
"Aku... butuh waktu berpikir."
"Kamu sudah berpikir cukup lama," kata Mireya sambil tersenyum kaku. "Darian harus memberi jawaban ke keluarganya minggu depan. Kalau kamu nggak bisa... aku harus cari orang lain."
Nada ancaman itu jelas. Mireya sedang menggertaknya. Mengusik rasa bersalahnya.
Calista mengangguk pelan. "Baik. Aku akan tandatangani."
Tangan Calista menggenggam pena seperti memegang pisau. Setiap goresan tanda tangannya terasa seperti pengkhianatan-pada dirinya sendiri, pada batas-batas yang dulu ia pikir tak akan pernah ia langgar.
Saat pulpen itu selesai menari di atas kertas, Mireya berseru kecil penuh kemenangan. "You're saving my life, Cal. Aku bakal utang budi sama kamu selamanya."
Calista hanya mengangguk lemah. Ia tahu itu bohong.
Hari-hari setelahnya berubah drastis.
Calista harus melalui serangkaian pemeriksaan medis dan sesi konsultasi dengan dokter kesuburan yang semuanya sudah diatur oleh Darian. Semuanya begitu cepat dan terorganisir, seperti proyek korporat. Emosi dikesampingkan. Hanya prosedur. Efisiensi.
Darian nyaris tidak bicara banyak padanya. Sikapnya dingin, profesional. Mereka hanya bertemu saat proses pembuahan dilakukan secara medis di klinik fertilitas mewah.
Mireya tak pernah ikut hadir. Ia bilang ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai direktur kreatif sebuah agensi fashion terkenal. Tapi Calista tahu alasan sebenarnya-Mireya ingin menjauhkan dirinya dari proses ini. Ia hanya ingin hasilnya. Bukan prosesnya.
Dua minggu setelah prosedur pertama, dokter mengonfirmasi bahwa embrio berhasil menempel. Calista hamil.
Dan semuanya berubah.
Tubuhnya mulai merespons dengan mual di pagi hari, migrain, dan kelelahan tak berujung. Namun bukan itu yang paling menyakitkan-melainkan kesendirian. Mireya tak lagi sering menghubunginya. Bahkan saat Calista menelepon untuk memberitahu kabar kehamilannya, suara sahabatnya terdengar hambar.
"Oh, oke. Jaga kesehatanmu ya," katanya singkat, lalu menutup telepon sebelum Calista sempat berkata lebih banyak.
Lucunya, justru Darian yang mulai lebih sering muncul. Awalnya hanya untuk membawakan vitamin dan makanan sehat. Lalu mulai mengantar Calista ke dokter kandungan. Dan kini, duduk di ruang tamu apartemen kecil Calista, ia bahkan terlihat lebih peduli daripada Mireya sendiri.
"Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan bilang. Aku bertanggung jawab penuh," ucap Darian suatu sore, setelah menaruh sekantong belanjaan di meja makan.
Calista hanya menatapnya dengan pandangan sulit dijelaskan. "Kenapa kamu repot-repot datang sendiri?"
Darian menatap balik. "Karena Mireya nggak datang."
"Aku cuma rahim sewaan, Darian. Kamu nggak harus berpura-pura peduli."
Darian menghela napas pelan, lalu bersandar di sandaran kursi. "Aku nggak pura-pura. Aku cuma... merasa ini salah. Meminta kamu melakukan ini."
Kata-katanya membekas.
Dan di hari-hari setelahnya, Calista mulai melihat sesuatu yang tak seharusnya ia lihat-kelembutan dalam mata Darian. Kekhawatiran tulus dalam caranya memeriksa makanan yang ia makan. Dan kehangatan yang... tak seharusnya ia harapkan.
Empat bulan kemudian, perut Calista mulai terlihat. Dan rasa bersalah mulai tumbuh bersamaan dengan janin dalam tubuhnya. Bukan rasa bersalah karena mengandung anak pria yang mencintai sahabatnya, tetapi karena ia mulai merasakan hal yang tak seharusnya-ia ingin Darian menatapnya... lebih lama. Ia ingin sentuhan itu... bertahan lebih lama.
Hingga suatu malam, setelah ia muntah hebat dan Darian datang menemaninya, terjadi sesuatu yang mengubah semuanya.
"Kamu nggak harus melakukannya sendirian," ucap Darian sambil memegang handuk dingin di dahinya.
"Aku memang sendiri," bisik Calista. "Mireya bahkan nggak pernah menelepon. Ini anak kalian, tapi aku yang mual, aku yang gemetar sendirian setiap malam. Kenapa dia nggak pernah datang?"
Darian menatapnya lama, lalu berkata, "Mireya hanya ingin hasil. Dia bahkan tidak peduli bagaimana caranya."
"Lalu kamu?"
Darian tak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya, Calista merasa... dilihat. Bukan sebagai alat, bukan sebagai kontrak berjalan. Tapi sebagai perempuan. Sebagai seseorang.
Dan itu menakutkan.
"Aku harus pergi," bisik Calista sambil beranjak.
Namun Darian menggenggam lengannya. "Tunggu."
Tatapan mereka bertemu. Dan di dalamnya ada badai yang tak bisa lagi mereka kendalikan.
Calista menarik napas. "Jangan perlakukan aku seperti istrimu. Jangan buat ini jadi lebih sulit."
Darian masih menatapnya, tapi ia melepaskan genggamannya perlahan.
"Kalau kamu pikir aku tidak bingung, kamu salah."
Tapi Calista tahu, ini baru awal. Ia mulai mencintai pria yang seharusnya bukan miliknya. Ia mengandung anak dari pria yang tak akan pernah jadi miliknya. Dan sahabat yang dulu ia percaya... kini mulai menunjukkan warna aslinya.
Dan dari balik semua itu, Calista mulai mencium sesuatu yang jauh lebih mengerikan:
Mungkin ini bukan sekadar perjanjian rahim. Tapi jebakan yang sejak awal sudah dirancang untuk menghancurkannya.
Malam itu, saat Calista tertidur dengan tangan di perutnya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Kau pikir anak itu akan jadi milikmu? Lihat saja nanti."
Bab 1 TANDA TANGAN PENGKHIANATAN
28/05/2025
Bab 2 RAHASIA YANG TERUNGKAP
28/05/2025
Bab 3 Pesan terakhir yang diterimanya
28/05/2025
Bab 4 KEBENARAN YANG MENGGUNCANG
28/05/2025
Bab 5 cara lain untuk menghancurkanmu
28/05/2025
Bab 6 Bayangan masa depan
28/05/2025
Bab 7 Di dalam gedung mewah
28/05/2025
Bab 8 Minggu-minggu setelah kelahiran anak
28/05/2025
Bab 9 Tiga bulan setelah lamaran
28/05/2025
Bab 10 Sudah satu tahun sejak kepergian Seira
28/05/2025
Bab 11 RAHIM YANG LAIN
28/05/2025
Bab 12 Paris di sore hari
28/05/2025
Bab 13 bayangan dirinya sendiri
28/05/2025
Bab 14 Setelah mengirim pesan
28/05/2025
Bab 15 menyimpan misteri
28/05/2025
Bab 16 PEMULIHAN
28/05/2025
Bab 17 Aroma kopi hitam
28/05/2025
Bab 18 KEJATUHAN SANG RATU PALSUNYA
28/05/2025
Bab 19 Kita akan membangun rumah
28/05/2025
Bab 20 menyiapkan segala sesuatunya
28/05/2025
Bab 21 semakin sering bertanya
28/05/2025
Bab 22 Setelah menerima video
28/05/2025
Bab 23 mungkin akan terjadi selanjutnya
28/05/2025
Bab 24 tidak boleh menyerah
28/05/2025
Bab 25 Keesokan harinya
28/05/2025
Bab 26 setelah sidang yang melelahkan
28/05/2025
Bab 27 MUSUH DALAM SELIMUT
28/05/2025
Bab 28 setelah malam paling panjang
28/05/2025
Bab 29 Beberapa minggu setelah badai
28/05/2025
Bab 30 dulu pernah jadi sahabat sekaligus musuhnya
28/05/2025
Buku lain oleh Michel yeremia putri
Selebihnya