Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Hamil dengan Mantan Bosku
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Suamiku Nakal dan Liar
"Ma, Keysa tidak suka pria ini. Dia terlalu muda. Lagian pekerjaannya juga tidak jelas," rengekku pada Camila, ibu tiriku.
Dia memaksaku menikah dengan sembarang pria sesuai kemauannya hanya karena merasa malu pada teman-teman dan tetangga yang sering menyindirku karena aku belum menikah juga di usiaku yang sudah menginjak 36 tahun.
"Sampai kapan putrimu mau hidup sendiri Jeng? Malu loh dikatain perawan tua terus sama teman-teman kita." Kalimat sindiran itu hampir berulang kali terdengar dari Bu Imah, tetangga sebelah rumah kami.
Bu Imah hanya salah satu contoh dari sekian banyak penggosip yang tak pernah lelah membicarakan kehidupanku. Masih ada Bu Devi, Bu Siti, Bu Rosa dan banyak lagi. Mereka selalu membicarakan hal yang sama berulang kali, dan pada akhirnya membuat ibu tiriku juga turut menyindirku setiap hari.
Sampai pada suatu saat, teman-teman bedebahnya itu membawa foto beberapa pria, yang juga sedang mencari istri, untuk dijodohkan padaku. Totalitas sekali, kan?
Lelah menghadapi ibu tiri yang terus memaksaku untuk menikah, aku pun menyerah dan memilih foto salah satu pria yang sedikit lebih tua dariku, juga memiliki pekerjaan yang ku anggap baik dibanding calon lainnya, sebagai seorang ASN di kantor Kecamatan.
Tapi beberapa hari kemudian, dengan seenaknya ibu tiriku malah memilihkan pria lain. Pria yang fotonya pernah kusingkirkan setelah tahu kalau usianya terpaut 10 tahun, lebih muda, dariku.
Bukannya aku terlalu pemilih hingga hanya menilai seseorang dari usianya saja. Bukan berarti aku tidak suka dengan pria yang lebih muda. Bukan… Tentu saja bukan begitu maksudku. Andai dia lebih muda, setidaknya cukup dengan jarak 1 atau 2 tahun saja. Apalagi jika dia memiliki pekerjaan yang baik, tentu aku pasti akan menerimanya. Sungguh!
"Sepuluh tahun?! Oh..., yang benar saja. Jarak usia kami terlalu jauh untuk menjalin hubungan cinta, apalagi menjadi suami-istri," protesku setelah mengetahui calon suami yang ibu tiriku pilihkan.
Jika prianya yang lebih tua 10 tahun, mungkin tidak terlalu aneh. Kalau wanitanya? Entah untuk wanita lain, tapi bagiku itu sangat memalukan.
Selain itu, pria pilihan ibu tiriku juga tidak memiliki pekerjaan jelas. Belum lagi dia juga orang kampung yang tinggal di salah satu desa antah berantah yang berada di Pulau Kalimantan.
Bukan aku ingin meremehkannya. Aku bisa menebak, hidup di Jakarta bagi mereka tentu tidaklah mudah. Jangankan untuk mencari pekerjaan, untuk mencari makan saja dia mungkin akan kesulitan dan ujung-ujungnya akulah yang akan direpotkan.
"Cuma dia yang mau sama kamu, Keysa Andini!" Umpat ibu tiriku.
Aku tahu kalau ibu tiriku sudah menyebut namaku secara lengkap, dia sedang merasa gemas padaku. Andai sedang tidak ada maunya seperti ini, dia biasanya bukan hanya membentakku tapi juga tak segan mengambil dan melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya padaku.
"Lagian sudah untung Mama mencarikan kamu suami. Ingat, usiamu sudah mendekati kepala 4!" Tambahnya dengan nada ketus. Matanya mendelik padaku dengan sangat lebar seakan hendak keluar.
Aku hendak memprotesnya, tapi tatapan matanya membuatku menelan kembali kata-kataku. 'Masih ada empat tahun sebelum aku berusia 40 dan itu masih lama. Kenapa Mama membulatkan usiaku sesukanya saja?! Yah… membulatkan ke 30 memang lebih jauh sih.'
"Dia terlalu muda, Ma. Kerjanya juga tidak jelas," keluhku lagi.
"Tidak usah memikirkan pekerjaannya! Harusnya sudah cukup dengan penghasilanmu bekerja di perusahaan manufaktur itu, kan? Lebih baik juga kalau dia di rumah, mengurus rumah. Dia juga bisa kerja sambilan membantu adikmu di toko kelontong kita."
'Haiss… Yang benar saja!'
Ucapan itu membuatku meringis ngeri. Lelaki yang akan kunikahi sangatlah jauh dari yang kuimpikan selama ini —lagian keinginan untuk menikah sudah terhapus dari kamus hidupku.
Selain itu, aku juga tidak yakin apakah pria itu benar-benar mau menerimaku yang usianya jauh lebih tua darinya sebagai istri. Bisa saja dia memanfaatkanku, ingin hidup cukup sembari bermalas-malasan.
Beberapa teman segeng ku dari sejak SMA pernah bercerita kalau suami mereka hanya sibuk bermain game sepulang kerja, tanpa mau membantu mengurus rumah yang berantakan, juga anak.
Jika pria yang dalam pengawasan istri saat mereka sedang bersama di rumah saja seperti itu, bagaimana dengan suamiku nanti? Dia akan berada di rumah seharian selama aku bekerja.