Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Sepulang sekolah aku harus berjibaku dengan tugas piket esok hari bersama Riya, teman sebangku ku yang selalu menemaniku setiap jadwal piket."Candy ayo pulang, lihat sudah mulai mendung tuh," ujar Riya dengan nada kesal karena piketku belum juga selesai."Sedikit lagi, Ya. Kalau kamu mau pulang duluan tidak mengapa, toh sebentar lagi aku juga segera meninggalkan kelas dan pulang," tawarku kepada temanku yang selalu bawel saat aku lelet.
"Hah, iya deh aku tunggu saja, nanti anak orang diculik peri penunggu pohon toge bisa berabe," candanya kepadaku sambil menirukan drama di televisi.
Aku pun meletakkan sapu dan kembali dengan memakai tas di pundakku.
"Ayo pulang!" ajak ku kepada Riya yang memang rumah kami satu arah.
Kami menunggu bus yang sering lewat di depan sekolah, biasanya akan lenggang jika saat aku pulang agak belakangan.
Namun entah kenapa hari ini rasanya bus selalu penuh sesak, tidak ada cara lain selain nekat dan berdesakan di ambang pintu.
"Kampung hijau.. Kampung hijau," teriak kernet yang kini mendekat ke arah kami.
"Kita naik saja yuk, Ya, sebelum nanti kita telat pulang karena kelamaan nunggu bus lenggang," ajak ku kepada Riya yang tampaknya sedikit kesal, namun dia mengangguk mengiyakan.
Sebelah tanganku melambai ke arah bus yang akan mendekat ke arah kami.
"Hati-hati Neng, dan yang lain agak ke dalam agar bisa kebagian tempat," pinta pak kernet yang mengatur tempat kami berdua berdiri.
"Terima kasih, Pak," sahutku dengan nada sopan.
'Mungkin dengan begini aku bisa segera kembali ke rumah tepat waktu,' batinku yang sebenarnya juga kesal namun terpaksa.
Hujan mulai turun dengan derasnya, untungnya aku dan Riya sudah mendapatkan tempat duduk karena banyak yang sudah turun.
"Pak, kampung hijau ya," pintaku sambil memberikan beberapa lembar uang pecahan seribuan kepada pria paruh baya di depanku.
"Oke, Neng. Hati-hati saat turun, jalannya licin," ujar pak kernet ramah kepadaku.
"Iya, Pak."
Saat aku hendak turun, aku berkata dengan Riya, "Aku turun duluan ya."
Riya hanya mengangguk dan tersenyum manis ke arahku.
Bus akhirnya berhenti di salah satu kedai yang sering ramai dikumjungi kaum muda sepertiku saat sepulang sekolah. Aku melangkah turun dengan hati-hati dan berteduh sebentar untuk mencari payung lipat yang selalu aku bawa ketika musim hujan tiba.
"Untung masih ada jimat keberuntungan," ocehku seorang diri di kursi panjang yang tidak jauh dari kedai kopi tersebut.
"Candy, mampir dulu," teriak wanita paruh baya yang merupakan pemilik kedai kopi tersebut.
"Terima kasih, Mbok Nana. Aku harus segera pulang, takut dicariin karena tidak bawa ponsel tadi," sahutku jujur karena pagi tadi terburu-buru saat jam hampir pukul tujuh pagi.
"Ya sudah hati-hati ya, Nak."
Saat aku ingin melangkah dan bersiap menembus hujan yang lebat dengan payung antik kesayanganku, kucing kecil lucu berbulu halus mendekati diriku.
"Kamu pasti kehilangan indukmu ya?" tanyaku pada binatang yang jelas-jelas tidak bisa berbicara bahasa manusia.
'Ingin aku tinggalkan tapi kasihan, tapi kalau aku bawa nanti kamu makan apa?' batinku berkecamuk.
Melihatnya yang begitu sangat menyedihkan dan kedinginan, akhirnya aku meminta Mbok Nana sebuah kantong kresek warna hitam.
"Buat apa, Neng!" tanya wanita paruh baya itu dengan raut wajah bingung.
"Untuk ini, Mbok," jawabku sambil menyengir.
Mbok Nana tertawa melihatku yang begitu polos saat ingin membawa kucing yang kutemukan di luar kedai tadi.
"Harusnya bukan itu, Nak!" ucap wanita paruh baya yang tertawa melihatku.