Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Rasanya … sudah lama sekali. Melihat bagaimana hiruk pikuknya suasana kota besar ini. Kota dimana aku lahir. Dimana aku tinggal sampai umurku delapan belas tahun. Ya, karena lima tahun berikutnya aku memilih tinggal di London, hanya karena sebuah video yang beredar luas di media sosial. Yang padahal perempuan di video itu, sama sekali bukan aku. Tapi, mampu menghancurkan hidupku dalam kecepatan cahaya, mendorongku untuk segera mengasingkan diri ke tempat dimana tidak ada orang yang mengenaliku.
Untungnya, tak lama setelah aku pergi meninggalkan negara ini, seseorang yang tidak aku kenali meredam seluruh video tidak senonoh yang wajah perempuannya aku akui sangat mirip denganku dalam kurun waktu beberapa hari. Sayangnya, segala hal yang telah aku dapatkan akibat video itu membuatku begitu depresi dan tidak berani menginjakkan kaki di negara ini. Sampai tiba saatnya hari ini.
Dan meskipun begitu. Meski sudah berlalu begitu lama. Aku masih ingin sekali bertemu dengan orang itu. Yang entah siapa dia dan entah apa hubungannya denganku, tapi berbaik hati melenyapkan hal paling terkutuk yang pernah terjadi pada hidupku. Aku cuma mau bilang terimakasih yang sangat, sangat banyak padanya.
Aku menyalakan ponselku, melihat foto-foto yang aku ambil di dalam galeri. Ada satu tangkapan layar yang aku simpan sekitar lima tahun yang lalu. Yang isinya adalah sederetan grup penyebar video vulgar yang sudah diblokir oleh orang itu. Uniknya, sebelum menutup permanen, dia sempat mengganti foto profil grup-grup itu dengan lambang yang ... aku sendiri tidak tahu apa maksudnya. Namun yang pasti, seperti bentuk huruf A. Mungkin inisial namanya?
"Mbak? Di sini rumahnya?"
Kepalaku menengadah dan otomatis melihat ke arah luar jendela mobil. "Oh iya bener, Pak." Merutuki diri sendiri kenapa malah fokus pada orang misterius ini. "Tolong dibantu turunin barang ya, Pak," ucapku lagi sebelum turun dari mobil, diikuti oleh sang supir yang kemudian dengan baik hati membantuku menurunkan dua koper berukuran dua puluh empat inch berwarna abu dan hitam dari bagasi mobil.
Setelah membayar ongkos dan menolak tawaran si bapak untuk membantu membawakan koper masuk ke dalam halaman rumah, akhirnya aku berjalan tertatih-tatih karena menarik dua benda super berat di kedua tanganku.
"Non Keyra?"
Aku mendongak dan gerutuanku berhenti kala melihat seorang pria paruh baya dengan pakaian khas satpam sedang terheran-heran menatapku. Aku nyengir. Ya, bagaimana tidak heran kalau aku pulang tidak memberitahu siapapun. Alias kejutan.
"Pagi, Pak. Masih inget sama saya?" tanyaku dengan ceria sembari menunjuk ke diri sendiri. Rasanya memang benar-benar pulang.
"Masih atuh, Non. Ya ampun Non ke sini sendirian? Kok nggak minta jemput Den Milan atau Non Kalila?" Pak Hasan mengomel sembari membantuku membawakan salah satu koper. Aku tertawa pelan.
"Memangnya Kalila udah bisa nyetir, Pak?"
"Beberapa bulan yang lalu udah bisa, Non."
"Diajarin siapa? Bukannya semuanya sibuk?"
"Kayaknya sama pacarnya, Non." Pak Hasan nyengir yang tak sampai ke mata. Tampaknya menyesal sudah membocorkan informasi penting yang asalnya dari si bungsu keluarga.
“Santai aja, Pak. Toh ntar saya tau juga.”
Pak Hasan hanya manggut-manggut saja. Kelihatannya sudah tidak ingin membocorkan lebih jauh lagi. Saat akhirnya langkah kami sampai ke beranda rumah. Pak Hasan tersenyum teduh menatapku. Membuatku merasa aneh karena biasanya Pak Hasan ini tidak pernah bersikap begitu.
“Kenapa, Pak? Ada yang salah sama saya?”
Pak Hasan menggeleng. “Enggak ada, Non. Cuma … udah lama banget nggak liat Non. Kayaknya dulu masih remaja, sekarang udah keliatan dewasa. Makin cantik, Non.” Pak Hasan tiba-tiba memuji dan mengangkat kedua jempolnya. Aku terpingkal karenanya. “Makasihh, Pak,” balasku cekikikan.
Aku pun sudah lama sekali tidak ketemu Pak Hasan ini. Lima tahun. Dan ternyata beliau masih bekerja di rumah ini. Yang berbeda hanyalah sekarang beliau terlihat makin menua, tampak beberapa helai rambutnya yang sudah berubah warna.
“Ya sudah. Non masuk saja. Saya yakin, pasti langsung heboh ntar. Kaget Non dateng.”
“Iya, Pak. Niatnya sih mau buat kejutan.”
Pak Hasan tertawa dan mengangguk, kemudian pamit untuk kembali ke pekerjaannya. Sementara aku, cukup berdebar saat akan menekan bel. Gugup karena tidak tahu reaksi seperti apa yang akan keluargaku berikan. Mungkin terdiam, mungkin histeris, atau mungkin biasa saja.