Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Sang Majikan
PEMBUNUHAN KEJI SANG SINDEN
Wanita cantik dengan balutan kebaya sederhana berwarna hijau lumut itu semakin mempercepat langkah kakinya. Jalan kampung yang dilaluinya mulai lengang. Sementara bohlam berwarna kekuningan berwatt kecil, yang di tempatkan sebagian warga yang terbilang cukup berada di jalan depan rumah mereka, berjarak agak berjauhan satu sama lain. Sinarnya yang temaram tak mampu menembus kepekatan malam.
Sore ini ia memang agak terlambat pulang ke rumah setelah menyelesaikan latihannya sebagai sinden untuk persiapan pagelaran wayang kulit yang akan digelar Minggu depan di kediaman Lurah desa tetangga untuk acara bersih desa yang dipimpin Ki dalang Suryo yang juga merupakan mantan ayah mertuanya itu.
Kalau dulu, setiap selesai latihan Narendralah yang akan selalu dengan senang hati mengantarnya pulang, memboncengnya dengan sepeda kumbang atau meminjam motor bebek milik ayahnya dan sengaja mencari jalan memutar agar bisa lebih lama berduaan dengannya, tapi sekarang ia harus pulang sendiri dengan berjalan kaki.
Tentu saja waktu yang ditempuhnya untuk sampai ke rumahnya yang terletak diujung desa juga lebih lama. Apalagi jarik yang membalut tubuh bagian bawahnya juga sedikit menghalangi langkahnya yang tergesa. Dalam hati ia berdoa semoga Lintang Prameswari putri kecilnya yang baru berusia Sembilan bulan itu tidak rewel dan merepotkan neneknya.
Wanita itu, Jernih Suminar, sinden tercantik yang berhasil menarik perhatian Narendra, putra semata wayang Ki Dalang Suryo dan sempat menikahinya walau hanya berumur satu tahun saja usia pernikahan mereka. Tapi Suminar menerima dengan legowo keputusan yang diambil lelaki yang sangat dicintainya itu.
Karena sebuah kepercayaan yang ia yakini bahwa apapun yang dilakukan suaminya itu adalah hal yang memang harus dilakukan. Apalagi hingga saat ini, walaupun Narendra telah menjatuhkan talak karena dulu pun mereka menikah secara siri yang hanya dihadiri Ki dalang Suryo serta perangkat kampung setempat sebagai saksi.
Tapi hingga saat ini Narendra dan juga Ki dalang Suryo, mertuanya tetap memberikan nafkah untuk menjamin kehidupannya bersama ibunya yang telah menjanda juga putri kecilnya yang masih bayi itu. Ki dalang Suryo pun masih mengijinkannya menyinden di pagelaran wayang yang dipimpinnya.
Di persimpangan, Suminar mengambil keputusan untuk mengambil jalan pintas agar bisa lebih cepat tiba di rumah meskipun jalan pintas itu merupakan jalan setapak yang membelah perkebunan serta melewati jembatan kayu di atas sungai cukup deras yang biasa digunakan warga untuk mencuci pakaian atau mandi. Dan tentu saja tanpa lampu penerangan karena jalan setapak itu berada jauh di belakang perumahan warga.
Tapi hanya itu satu-satunya jalan pintas jika ia ingin secepatnya tiba di rumah. Kalau menyusuri jalan kampung, ia harus berjalan memutari perkebunan untuk sampai ke rumahnya. Waktu yang lebih panjang dan jarak yang hampir tiga kali lebih jauh yang harus ditempuhnya.
Suminar segera menyalakan lampu senter yang biasa dibawanya saat berada di luar rumah atau sedang melakukan perjalanan dimalam hari.
Tanpa sedikitpun perasaan takut, ia berjalan membelah kepekatan malam.
Sejak bapaknya meninggal dunia bertahun-tahun lalu yang membuatnya harus hidup berdua saja dengan ibunya telah mengajarinya untuk menjadi gadis tegar, mandiri serta tak mengenal takut.
Ia juga terbiasa bekerja keras di kebun untuk membantu meringankan beban hidup yang harus di tanggungnya bersama ibu tanpa harta peninggalan yang berarti dari bapaknya selain tanah kebun yang tak terlalu luas dan sepetak rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan papan kayu yang berdiri diatasnya.
Berada ditengah perkebunan pada malam hari juga sudah menjadi hal yang lumrah, Karena dirumahnya tidak terdapat jamban, untuk keperluan buang hajat bahkan saat malam hari, biasanya ia lakukan di sungai yang berada tak jauh dari kebun milik ibunya.
Hampir mendekati sungai saat langkah Suminar terhenti setelah indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki selain langkah kakinya di sela-sela gemuruh suara air sungai yang berada belasan meter di depannya.
Tapi saat Suminar menghentikan langkahnya, suara lain yang didengarnya juga tak lagi terdengar. Tak ada siapapun saat Suminar mencoba mencari-cari bayangan seseorang di balik pepohonan dengan sinar lampu senter yang di genggamnya. Tapi Suminar yakin tadi ia telah mendengar sesuatu. Setelah beberapa saat meneliti dan tidak menemukan apapun, Suminar kembali melanjutkan langkahnya.
Jembatan kayu sudah terlihat di depannya saat kembali suara langkah asing itu tertangkap oleh pendengaran Suminar. Dengan perasaan sedikit gentar, kembali ia berhenti untuk melihat siapa yang tengah berjalan di belakangnya.