Dendam Putri Liar Sang CEO

Dendam Putri Liar Sang CEO

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
22
Bab

Ayah menjualku kepada Fahreza Murni, berharap CEO dingin itu bisa "memperbaiki" putrinya yang liar. Aku naif, mengira aku adalah kekasih istimewanya, sampai malam terkutuk itu tiba. Di sebuah acara amal, Fahreza memenangkan lelang bros zamrud peninggalan ibuku. Namun, ia tidak memberikannya padaku. Ia memberikannya pada Elok, wanita manipulatif yang ia anggap sebagai penyelamat hidupnya. Dengan senyum mengejek, Elok melemparkan warisan ibuku itu ke lantai, menjadikannya mainan gigitan anjingnya. Darahku mendidih. Aku menampar Elok di depan umum. Tapi Fahreza justru membela wanita itu, menatapku dengan jijik, dan memerintahkan pengawal menyeretku paksa ke pusat rehabilitasi. Di tempat terkutuk itu, cintaku padanya mati, digantikan dendam yang membara. Saat ia akhirnya sadar telah ditipu Elok dan datang memohon kembali padaku, aku menyambutnya dengan tangan terbuka. Bukan untuk memaafkan, tapi untuk menghancurkannya dari dalam. Malam itu, saat ia tertidur lelap dalam pelukanku karena merasa dimaafkan, aku menguras habis data rahasia Murni Group dan mengirimnya ke pesaing terbesarnya. "Selamat tinggal, Fahreza. Ini harga yang harus kau bayar."

Bab 1

Ayah menjualku kepada Fahreza Murni, berharap CEO dingin itu bisa "memperbaiki" putrinya yang liar.

Aku naif, mengira aku adalah kekasih istimewanya, sampai malam terkutuk itu tiba.

Di sebuah acara amal, Fahreza memenangkan lelang bros zamrud peninggalan ibuku.

Namun, ia tidak memberikannya padaku.

Ia memberikannya pada Elok, wanita manipulatif yang ia anggap sebagai penyelamat hidupnya.

Dengan senyum mengejek, Elok melemparkan warisan ibuku itu ke lantai, menjadikannya mainan gigitan anjingnya.

Darahku mendidih. Aku menampar Elok di depan umum.

Tapi Fahreza justru membela wanita itu, menatapku dengan jijik, dan memerintahkan pengawal menyeretku paksa ke pusat rehabilitasi.

Di tempat terkutuk itu, cintaku padanya mati, digantikan dendam yang membara.

Saat ia akhirnya sadar telah ditipu Elok dan datang memohon kembali padaku, aku menyambutnya dengan tangan terbuka.

Bukan untuk memaafkan, tapi untuk menghancurkannya dari dalam.

Malam itu, saat ia tertidur lelap dalam pelukanku karena merasa dimaafkan, aku menguras habis data rahasia Murni Group dan mengirimnya ke pesaing terbesarnya.

"Selamat tinggal, Fahreza. Ini harga yang harus kau bayar."

Bab 1

Alisha POV:

Ayah menjualku lagi. Bukan kepada Fahreza Murni kali ini, tapi kepada ide yang lebih busuk-ide tentang rehabilitasi, tentang memperbaiki "putri liar" yang dianggapnya aib.

Aku memejamkan mata, merasakan sentuhan Fahreza di kulitku. Ini adalah malam kami. Malam di mana Alisha Wangsadinata yang "liar" bisa menjadi seseorang yang berbeda. Di sini, di balik dinding penthouse mewah ini, aku bukan lagi asisten yang sering dimarahi, bukan lagi boneka sosialita yang dicerca media. Aku kekasihnya, setidaknya begitu yang kupercaya.

"Kau tahu, ayahku ingin aku menikahi seseorang," kataku, suaraku nyaris berbisik. Aku merasakan otot-otot di bahunya menegang sedikit. Fahreza selalu membenci jika aku membawa masalah Wangsadinata ke dalam oasis rahasia kami.

"Lalu?" Dia bertanya dingin, matanya tertuju pada pemandangan kota di luar jendela. Sebuah pertanyaan tanpa emosi, sebuah dinding yang tiba-tiba muncul di antara kami.

Aku menatap punggung telanjangnya. Rasa dingin merayapi kulitku, bukan karena suhu ruangan, tapi karena responsnya. Apa yang kami miliki ini? Terkadang, aku merasa seperti boneka yang ia mainkan saat bosan, lalu ia buang begitu saja setelah selesai.

"Aku mungkin bisa menerimanya," lanjutku, mencoba memancing reaksi. Aku ingin melihat apakah ada sedikit pun kecemburuan, sedikit pun kekhawatiran di matanya. Aku ingin ia memohon padaku untuk tetap tinggal.

Dia berbalik, wajahnya datar. "Itu pilihanmu. Berikan saja padaku nama perusahaannya. Mungkin ada peluang bisnis."

Lidahku terasa kelu. Bisnis? Hanya itu yang ia pikirkan? Aku merasa seolah sebilah pisau menghujam jantungku. Rasa sakit itu begitu nyata, seperti tusukan yang dalam, menghancurkan sisa-sisa harapanku.

Pagi itu, ia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tidak ada ciuman perpisahan. Hanya keheningan yang tersisa di ruangan, dan bau maskulinnya yang perlahan memudar dari seprai. Aku meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Layar menyala, menunjukkan notifikasi pesan masuk dari nomor tak dikenal. Sebuah tautan berita.

Jantungku berdebar kencang saat aku membukanya. Foto-foto Elok Danusastro, cinta pertama Fahreza, yang baru kembali ke Jakarta. Elok tampak rapuh dan cantik dalam balutan gaun sutra tipis, tersenyum ke arah Fahreza yang menggenggam tangannya di sebuah acara amal. Tangannya. Tangannya yang semalam memelukku, kini menggenggam tangan wanita lain di hadapan publik.

Duniaku runtuh. Rasanya seperti dibuang dari tebing tinggi, tanpa ada pegangan. Rasa mual melanda, perutku bergejolak. Aku mencengkeram ponsel begitu erat hingga buku-buku jariku memutih.

Tiba-tiba, semua kenangan pahit itu kembali. Malam-malam yang kulalui sendirian, menunggu pesan darinya. Janji-janji kosong yang ia ucapkan, hanya untuk kemudian diingkari. Aku ingat setiap kali aku mencoba mendekat, ia akan menarik diri. Selalu ada "pekerjaan mendesak" atau "pertemuan penting" yang membuatnya tidak bisa menemaniku. Sekarang aku tahu. Alasan-alasan itu punya nama: Elok.

Aku bangkit, mengenakan gaun tidur sutra yang semalam ia sobek dengan gairah. Rasa sakit itu membanjiri seluruh tubuhku, bukan karena gaun yang rusak, tapi karena hatiku. Aku tahu harus bagaimana. Aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Aku melacak lokasi acara itu. Hotel Mulia. Butuh waktu bagiku untuk sampai di sana, menyelinap melewati kerumunan dan kamera wartawan. Aku melihat mereka. Fahreza dan Elok. Dia menemaninya, tersenyum padanya, berbicara dengannya, seolah akulah yang tidak pernah ada.

Mereka terlihat seperti pasangan yang sempurna, pangeran dan putri dari negeri dongeng. Sementara aku, aku seperti bayangan gelap yang bersembunyi di sudut, menyaksikan kebahagiaan yang seharusnya menjadi milikku. Aku melihat Fahreza memakaikan syal di leher Elok, dengan kelembutan yang tidak pernah ia tunjukkan padaku. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang dulunya hanya untukku.

Aku merasakan kekosongan yang mengerikan. Aku bukan yang utama. Aku hanya pilihan kedua, atau bahkan ketiga. Aku hanyalah rahasia kotor di balik pintu tertutup, sementara dia adalah kekasih yang sah di mata dunia.

Kenangan pertama kali kami bertemu berputar di benakku, seperti film lama yang diputar ulang. Aku, Alisha Wangsadinata, "putri liar" dari keluarga konglomerat, selalu mencari cara untuk memberontak. Aku tidak pernah peduli dengan reputasi, yang penting aku bisa bebas. Kebebasan dari ayahku yang hanya melihatku sebagai aset, kebebasan dari ekspektasi sosial yang mencekik.

Aku dipaksa magang di Murni Group, perusahaan Fahreza, sebagai "pendidikan karakter" yang konyol. Aku membenci segalanya tentang itu. Aku membenci kemeja rapi, jam kerja, dan terutama, aku membenci CEO dingin itu, Fahreza Murni.

"Nona Wangsadinata, Anda harusnya sudah di meja Anda lima menit yang lalu," suaranya menggelegar, dingin dan tajam seperti es. Aku mendengus, sengaja melambat. Aku ingin melihat seberapa jauh aku bisa mendorong kesabarannya.

"Saya kan magang, Pak. Bukannya saya bisa melakukan apa saja?" Aku membalas dengan senyum sinis.

Dia menatapku dengan mata setajam elang. "Anda di sini untuk belajar, bukan untuk bermain-main."

Aku memutar mata. "Belajar apa? Mengatur jadwal rapat yang membosankan? Membaca laporan keuangan yang membuat kantuk?"

Ia tidak bereaksi, hanya menatapku dengan tatapan kosong. Justru ketidakreaksiannya yang membuatku semakin penasaran. Aku ingin melihat apa yang bisa membuatnya marah. Aku ingin melihat retakan di topeng dinginnya.

Suatu malam, setelah semua karyawan pulang, aku sengaja tinggal. Aku tahu ia masih di kantor. Aku mencoba masuk ke servernya, hanya untuk iseng, untuk melihat seberapa aman sistemnya. Tentu saja, ia menangkapku basah.

"Apa yang Anda lakukan, Nona Wangsadinata?" Suaranya rendah, tapi penuh ancaman.

Aku berbalik, jantungku berdebar kencang. Ia tidak terlihat marah, hanya... tertarik? "Hanya mengecek keamanan sistem, Pak. Ternyata lumayan bagus, tapi masih ada celah."

Dia berjalan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti ancaman. "Celah apa?"

Aku menjelaskan, bangga dengan penemuanku. Ekspresinya sedikit melunak. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, senyum pertama yang kulihat darinya. Dan di saat itu, aku merasakan sesuatu yang aneh. Tarikan. Ketertarikan yang kuat, seperti magnet.

Satu minggu kemudian, kami berada di penthouse ini. Malam itu, ia tidak lagi dingin. Sentuhannya membakar, bisikannya memenuhi telingaku. Aku merasa dicintai, diinginkan. Ini adalah rahasia kami, duniaku dan dunia Fahreza.

Aku telah jatuh cinta padanya, sepenuhnya dan tanpa syarat. Aku percaya kami memiliki sesuatu yang istimewa, sesuatu yang nyata. Ia adalah pelarianku dari keluarga, dari ayahku yang kejam. Ia adalah duniaku.

Namun, ia terus-menerus menarik diri. Setiap kali kami melewati batas antara asisten dan kekasih, ia akan menarik diri ke dunia "pekerjaan" dan "kesibukan". Ia tidak pernah memperkenalkan aku kepada siapa pun sebagai kekasihnya. Aku selalu menjadi rahasia, sebuah bayangan.

"Aku akan makan malam denganmu," ia pernah berjanji. Itu adalah hari ulang tahunku. Aku menunggu di restoran mewah, mengenakan gaun terbaikku. Aku menunggu selama tiga jam. Ia tak pernah datang.

Kudengar, ia menemani Elok di rumah sakit. Elok pingsan karena kelelahan. Itulah yang dikatakan media.

Malam ini, melihatnya dengan Elok, hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa terkhianati, dipermalukan. Semua janji, semua sentuhan, semua bisikan, semuanya adalah kebohongan. Aku hanyalah pengalih perhatian, mainan yang ia gunakan untuk mengisi kekosongan.

Aku melihat tangannya yang menggenggam tangan Elok, dan sebuah ide gila melintas di benakku. Sebuah ide yang akan mengubah segalanya. Aku harus membuatnya merasakan sakit yang sama.

Aku melangkah maju, keluar dari bayangan. Mataku tertuju pada bros zamrud di kerah gaun Elok. Bros yang Fahreza menangkan untuknya di lelang itu. Bros peninggalan ibuku.

Elok, yang duduk di samping Fahreza, tersenyum manis. Ia menoleh ke arah Fahreza dan berbisik, "Sayang, bisakah kau mengambilkan mainan untuk anjingku? Ia sangat menyukai benda berkilau." Matanya tertuju pada bros zamrud itu, dan ia menunjuknya dengan jari lentiknya.

Fahreza tersenyum lembut padanya. "Tentu saja, sayang."

Dia mengambil bros itu dari kerah Elok, dan dengan gerakan santai, melemparkannya ke lantai di dekat anjing Elok yang sedang bermain. Anjing itu segera mencengkeram bros itu dengan giginya, menggoyangkan kepalanya seolah itu adalah mainan biasa.

Saat itu, sesuatu dalam diriku hancur. Bukan hanya hatiku, tapi seluruh jiwaku. Itu bukan hanya bros. Itu adalah warisan ibuku. Itu adalah kenangan terakhir yang kumiliki tentangnya, dan mereka... mereka memperlakukannya seperti sampah.

Darahku mendidih. Aku tak bisa menahan diri lagi. Rasa marah yang membakar, rasa sakit yang menusuk, semuanya meledak. Aku melihat Elok menyeringai padaku, seolah ia tahu apa yang telah ia lakukan, dan ia menikmatinya.

"Dasar jalang!" teriakku, suaraku pecah. Aku berlari ke arahnya, tidak peduli dengan kerumunan orang, tidak peduli dengan Fahreza. Yang kuinginkan hanyalah menghapus seringai itu dari wajahnya.

Tanganku terangkat, menampar wajahnya dengan kekuatan penuh. Suara tamparan itu begitu keras, menggema di seluruh ruangan. Elok terhuyung, matanya melebar karena terkejut.

Fahreza segera menarikku menjauh, cengkeramannya begitu kuat hingga aku merasa pergelangan tanganku akan patah. "Alisha, apa yang kau lakukan?!" Suaranya dingin, penuh kemarahan.

Aku menatapnya, mataku berkaca-kaca. "Kau melihatnya, Fahreza?! Dia menghina ibuku! Dia menghina kenangan ibuku!"

Elok terisak-isak, memegangi pipinya yang merah. "Fahreza... dia menyakitiku..."

Fahreza menatapku dengan jijik, seolah aku adalah makhluk paling menjijikkan di dunia. "Kau sudah keterlaluan, Alisha. Kau harus membayar ini."

Aku merasa seolah rohku dicabut dari tubuhku. Dia membela dia. Selalu dia.

"Kau akan menyesalinya!" aku berteriak, air mata membasahi pipiku. Tapi ia tidak mendengarkan. Ia menyorongkan tubuhku ke arah beberapa pengawal, wajahnya datar.

"Bawa dia pergi. Ke rehabilitasi. Sekarang."

Dan begitulah, aku diseret keluar dari acara itu, di bawah tatapan menghakimi banyak orang. Tatapan mereka seperti pisau yang mengoyak-oyak harga diriku. Tapi yang paling menyakitkan adalah tatapan Fahreza. Tatapan jijik itu.

Aku melihat Elok tersenyum tipis di belakang Fahreza, senyum kemenangan yang kejam. Aku tahu saat itu, aku harus membalasnya. Aku harus membuat mereka berdua menyesal.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya
Cinta Palsu di Balik Perjalanan Dinas

Cinta Palsu di Balik Perjalanan Dinas

Romantis

5.0

"Aku tak pernah menyangka, setelah empat puluh tahun, kebenaran bisa terungkap dari tablet cucuku." Niat hati ingin mengunduh lagu anak-anak di tablet baru cucu, jari saya malah tak sengaja membuka folder bernama "Proyek Riset". Isinya bukan dokumen kerja, melainkan ribuan foto mesra suami saya dengan sahabat karib saya sendiri, Wulandari, di berbagai negara selama empat puluh tahun terakhir. Ternyata, "perjalanan dinas" suami saya selama ini hanyalah kedok untuk bulan madu abadi mereka, sementara saya di rumah menjadi babu gratisan. Yang lebih menghancurkan hati, saya menemukan video anak kandung saya, Rizal, sedang tertawa lepas membantu Wulandari mengangkat lukisan berat. Padahal seminggu lalu, dia menolak membantu saya menggeser lemari dengan alasan "saraf kejepit". Di video itu, Rizal mencium pipi pelakor itu dan berbisik, "Mama yang seharusnya." Dunia saya runtuh seketika. Rupanya, karena Wulandari mandul, mereka bersekongkol menjadikan saya "inkubator" hidup untuk melahirkan keturunan bagi keluarga terpandang suami saya. Saya hanyalah wanita desa polos yang dimanfaatkan, tidak dicintai, dan diam-diam dihina oleh suami dan anak sendiri. Mereka pikir saya akan diam demi reputasi dan takut hidup miskin? Salah besar. Hari itu juga, saya mengemasi barang, menuntut cerai, dan menguras harta gono-gini yang menjadi hak saya. Saya pergi ke Bali, menjadi penenun sukses yang dipuja ribuan orang. Dan ketika mereka datang mengemis di kaki saya setelah hancur lebur dan kehilangan segalanya, saya hanya tersenyum dingin dan menutup pintu selamanya.

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku