Sebagai mahasiswi seni naif dari Salatiga, aku jatuh cinta setengah mati pada Baskara Aditama, seorang konglomerat Jakarta yang berkuasa. Hubungan rahasia kami begitu membara, dan dia dengan cermat mengabadikan setiap momen intim kami, sambil berbisik, "Hanya untuk kita." Tapi kemudian kebenaran menghancurkan duniaku: Aku tak sengaja mendengar Baskara mengakui bahwa seluruh hubungan kami adalah kebohongan yang diperhitungkan, dirancang untuk memanfaatkanku-dan foto-foto itu-sebagai "konten" untuk menghancurkan kerajaan teknologi rintisan kakak angkatku. Dia bahkan merekayasa sebuah penjambretan untuk memenangkan kepercayaanku. Setiap sentuhan lembut, setiap tindakan protektif, adalah pertunjukan yang kejam. Penthouse mewahnya menjadi sangkar emasku, dan rencana jahatnya semakin menjadi-jadi, bahkan melibatkan kekerasan fisik, hanya untuk mengendalikanku. Aku adalah pion dalam permainan yang bahkan tidak kusadari sedang kumainkan. Bagaimana aku bisa begitu buta? Rasa malu ini membakar, tetapi juga menyulut kemarahan dingin yang melahapku saat monster ini memangsa kepercayaanku, mengubah cintaku menjadi senjata melawan satu-satunya keluarga yang kumiliki. Tapi Baskara meremehkanku; aku bukan lagi korban; aku adalah api yang tak terkendali. Dengan cermat, aku menghapus setiap rahasia yang memberatkan, lalu merencanakan pelarianku. Dia mengejarku ke seluruh negeri, seorang pria hancur yang memohon belas kasihan, hanya untuk menemukanku berjalan menuju altar, menghampiri pria yang benar-benar mencintaiku. Menyaksikan dunianya hancur, mengetahui bahwa akulah yang merekayasa kejatuhannya, adalah balas dendam termanis.
Sebagai mahasiswi seni naif dari Salatiga, aku jatuh cinta setengah mati pada Baskara Aditama, seorang konglomerat Jakarta yang berkuasa.
Hubungan rahasia kami begitu membara, dan dia dengan cermat mengabadikan setiap momen intim kami, sambil berbisik, "Hanya untuk kita."
Tapi kemudian kebenaran menghancurkan duniaku: Aku tak sengaja mendengar Baskara mengakui bahwa seluruh hubungan kami adalah kebohongan yang diperhitungkan, dirancang untuk memanfaatkanku-dan foto-foto itu-sebagai "konten" untuk menghancurkan kerajaan teknologi rintisan kakak angkatku.
Dia bahkan merekayasa sebuah penjambretan untuk memenangkan kepercayaanku.
Setiap sentuhan lembut, setiap tindakan protektif, adalah pertunjukan yang kejam.
Penthouse mewahnya menjadi sangkar emasku, dan rencana jahatnya semakin menjadi-jadi, bahkan melibatkan kekerasan fisik, hanya untuk mengendalikanku.
Aku adalah pion dalam permainan yang bahkan tidak kusadari sedang kumainkan.
Bagaimana aku bisa begitu buta?
Rasa malu ini membakar, tetapi juga menyulut kemarahan dingin yang melahapku saat monster ini memangsa kepercayaanku, mengubah cintaku menjadi senjata melawan satu-satunya keluarga yang kumiliki.
Tapi Baskara meremehkanku; aku bukan lagi korban; aku adalah api yang tak terkendali.
Dengan cermat, aku menghapus setiap rahasia yang memberatkan, lalu merencanakan pelarianku.
Dia mengejarku ke seluruh negeri, seorang pria hancur yang memohon belas kasihan, hanya untuk menemukanku berjalan menuju altar, menghampiri pria yang benar-benar mencintaiku.
Menyaksikan dunianya hancur, mengetahui bahwa akulah yang merekayasa kejatuhannya, adalah balas dendam termanis.
Bab 1
Ava Larasati menatap langit-langit apartemen mewah di Jakarta, seprai sutra terasa sejuk di kulitnya.
Baskara Aditama, lebih tua, berkuasa, dan segalanya yang tidak pernah disiapkan oleh latar belakangku di Salatiga, menyesuaikan sudut ponselnya.
"Satu lagi, Api Liarku," gumamnya, suaranya yang rendah biasanya selalu meluluhkanku. "Untuk kita."
"Kita" versinya adalah dunia rahasia, yang sudah berjalan selama delapan belas bulan, tersembunyi karena Baskara adalah saingan bisnis sengit kakakku, Bima. Bima, sang pengusaha teknologi di BSD City, anak laki-laki yang diadopsi dan dicintai orang tuaku seperti anak mereka sendiri, orang yang selalu melindungiku. Dia akan membenci ini. Dia akan membenci Baskara.
Ava tahu itu. Baskara tahu itu. Itulah sisi mendebarkan dan berbahaya dari hubungan mereka.
Bunyi klik kamera ponsel terdengar lembut, tetapi menggema dalam keheningan yang mewah.
Ava bergeser, sebersit kegelisahan di matanya. "Baskara, apa kita benar-benar butuh foto sebanyak ini?"
Dia adalah mahasiswi seni di IKJ dengan beasiswa bergengsi. "Elemen spesial"-nya, begitu Baskara menyebutnya, adalah bakatnya, cara dia melihat dunia. Dia mengaku mengaguminya, mengagumi Ava.
Tapi sesi foto ini, yang selalu intim, selalu atas desakannya, terasa bukan lagi tentang seni, melainkan tentang... sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak bisa dia sebutkan tapi membuat perutnya mulas.
Baskara menurunkan ponselnya, senyum karismatiknya langsung melucuti pertahanan Ava.
"Ini adalah bukti cinta kita, Ava. Tanpa filter. Penuh gairah. Hanya untuk mataku."
Dia mencondongkan tubuh, mencium keningnya. "Musa-ku yang cantik dan penuh percaya."
Kata-katanya, sehalus wiski tua, biasanya berhasil. Ava ingin memercayainya, butuh untuk memercayainya. Cinta ini, rahasia ini, adalah hal paling intens yang pernah dia alami.
Dia sering memanggilnya "Api Liarku," julukan yang membuatnya merasa disayangi sekaligus sedikit nekat.
Dia melirik jam tangan mahalnya. "Aku harus pergi. Gala amal menyebalkan itu."
Dia berpakaian dengan cepat, berubah dari seorang kekasih kembali menjadi Baskara Aditama, taipan real estat.
"Sopir akan menunggumu di bawah tiga puluh menit lagi, oke?" katanya, mengecup bibirnya. "Nanti aku telepon. Kita akan rencanakan sesuatu untuk akhir pekan."
Dia sudah setengah jalan keluar pintu, pikirannya jelas sudah beralih ke bisnis, ke wajah publik yang dia tunjukkan pada kota Jakarta.
Ava berbaring sejenak, aroma parfumnya masih tertinggal.
Merasa gamang, dia duduk. Matanya tertuju pada kancing manset platinum milik Baskara di meja nakas, yang berinisial "A" kecil yang nyaris tak terlihat. Dia pasti akan mencarinya.
Secara impulsif, dia memutuskan untuk mengantarkannya. Sebuah gestur kecil. Mungkin itu akan membuatnya merasa tidak terlalu seperti rahasia dan lebih seperti bagian dari kehidupan nyata Baskara, bahkan untuk sesaat.
Dia tahu Baskara akan berada di klub eksklusif di pusat kota itu sebelum gala, tempat yang sering dia gunakan untuk pertemuan informal.
"Nusantara Executive Club" didominasi kayu gelap dan suasana hening. Ava, merasa salah kostum dengan pakaian mahasiswi seninya, berhasil menyelinap melewati lounge utama, menuju ruang-ruang pribadi yang dia tahu kadang-kadang digunakan Baskara.
Dia mendengar suara-suara dari pintu yang sedikit terbuka. Tawa khas Baskara.
Lalu, Rian, salah satu rekan terdekat Baskara, berbicara, suaranya licin penuh geli. "Serius, Bas, caramu membuat anak Larasati itu bertekuk lutut. Benar-benar sebuah mahakarya."
Dodi, kroni lainnya, menimpali. "Dan si 'cewek seni' itu tambang emas. Konten itu? Tak ternilai harganya saat IPO Bima Prakasa meluncur. Dia akan terlalu sibuk menangani dampaknya untuk bisa fokus."
Ava membeku. Konten? IPO Bima?
Suara Baskara, kini lebih dingin, diwarnai kepuasan mengerikan yang belum pernah Ava dengar ditujukan padanya.
"Dia hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Menghancurkan Bima Prakasa akan sangat indah. Foto-foto, video-video itu... akan melukiskan gambaran yang jelas. Jika diatur waktunya dengan sempurna, itu akan menenggelamkan perusahaannya bahkan sebelum diluncurkan. Dia tidak akan tahu apa yang menimpanya."
Dia terkekeh. "Dan 'penyelamatan' kecil yang kurekayasa beberapa bulan lalu? Penjambretan itu? Menyegel kesepakatan. Dia benar-benar percaya padaku sekarang. Mengira aku penyelamatnya."
"Penyelamatnya." Kata itu melilit perut Ava seperti pisau.
Napas Ava tercekat. Tangannya terbang ke mulut untuk menahan pekikan.
Lantai berderit sedikit saat dia mundur.
"Apa itu?" tanya Rian, suaranya tajam.
Langkah kaki Baskara mendekati pintu. "Mungkin hanya staf."
Ava terhuyung mundur, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Dia berbalik dan lari, air mata mengaburkan pandangannya. Lorong mewah itu seolah membentang tanpa akhir.
Telinganya berdengung. Tubuhnya gemetar. Dia menerobos keluar ke udara malam yang sejuk, terengah-engah, lampu kota berputar-putar mengejek.
Dalam perjalanan taksi yang panik kembali ke apartemen mahasiswinya yang kecil, kepingan-kepingan itu menyatu dengan kejelasan yang brutal.
"Penjambretan rekayasa" di mana Baskara muncul seperti pahlawan, menangkis penyerang yang sekarang tampak sangat palsu.
"Insiden pameran seni publik" yang dia selesaikan dengan begitu mulus, membuatnya merasa berutang budi.
Setiap kata-kata mesra, setiap malam yang penuh gairah, setiap foto yang dia bujuk untuk diambil-semuanya bohong. Sebuah pertunjukan yang diperhitungkan dan kejam.
Dia adalah pion. Senjata yang ditujukan pada Bima.
Dia ingat saat tiba di Jakarta, penuh mimpi, bertekad untuk menorehkan jejaknya. Dia adalah seorang seniman, mandiri, penuh gairah.
Lalu Baskara Aditama masuk ke dalam hidupnya di sebuah pembukaan galeri, menawan, canggih, tampak terpikat olehnya dan karyanya. Dia tampak seperti penyelamat di kota yang luar biasa besar ini, seorang pelindung.
Dia memuji sketsanya, visinya. Dia membuatnya merasa dilihat.
Betapa bodohnya dia. Seorang gadis naif dari Salatiga, mudah terpesona, mudah ditipu.
Dia mengejarnya tanpa henti, menghujaninya dengan perhatian, membisikkan janji-janji masa depan.
"Kau berbeda, Ava," katanya, matanya tulus. "Kau nyata. Hubungan kita ini? Ini nyata."
Dia telah memercayainya. Dia telah jatuh cinta pada hantu, ilusi yang dibangun dengan cermat untuk menghancurkan kakaknya.
Kota ini terasa seperti akan menelannya, cakrawala yang gemerlap kini menjadi monumen kebodohannya sendiri. Api liarnya telah padam, hanya menyisakan debu dingin yang pahit.
Kembali di kamar mungilnya, gemetaran, dia meraba-raba ponselnya. Naluri pertamanya adalah Bima. Selalu Bima.
Seolah merasakan kesusahannya dari seberang pulau, ponselnya bergetar hampir seketika. Itu Bima.
"Ava? Suaramu... aneh. Ada apa?" Suara Bima, yang biasanya begitu tenang dan mantap, terdengar tegang karena khawatir.
Air mata mengalir di wajahnya. "Bima," isaknya, "Aku... aku dalam masalah. Aku harus keluar dari Jakarta. Aku membuat kesalahan besar."
Dia tidak sanggup menceritakan seluruh kebenarannya, belum. Rasa malunya terlalu mentah.
"Jangan katakan apa-apa lagi," kata Bima, suaranya tegas namun lembut. "Aku pesankan tiket pesawat ke Bali. Penerbangan pertama besok. Aku punya yayasan seni baru yang sedang kudana. Aku butuh seseorang yang kupercaya untuk mengelolanya. Pekerjaan itu milikmu jika kau mau. Awal yang baru, Ava."
Awal yang baru. Kedengarannya seperti keselamatan.
"Ya," bisiknya. "Ya, tolong."
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Bab 10
29/10/2025
Bab 11
29/10/2025
Bab 12
29/10/2025
Bab 13
29/10/2025
Bab 14
29/10/2025
Bab 15
29/10/2025
Bab 16
29/10/2025
Bab 17
29/10/2025
Bab 18
29/10/2025
Bab 19
29/10/2025
Bab 20
29/10/2025
Bab 21
29/10/2025
Bab 22
29/10/2025
Bab 23
29/10/2025
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya