Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Akhirnya sebentar lagi impianku untuk hidup bersama Bang David tercapai, Sa," ujar Clara pada Rosa-sahabatnya.
"Uhuk." Rosa tersedak minuman jus jeruk saat mendengar ucapan Clara.
"Kalian mau menikah, Ra?" tanya Rosa seakan tidak percaya dengan pendengarannya.
"Iya, Sa. Doakan semuanya lancar sampai hari H."
"Kapan kalian akan menikah?"
"Sebulan lagi, Sa" Rosa terlihat murung saat mendengar sahabatnya mau menikah.
"Kamu gak suka mendengar aku menikah, Sa."
"Siapa bilang aku gak suka?" Rosa berdiri lalu menghampiri Clara yang duduk di depannya dan memeluk dengan erat.
"Selamat ya, Ra." Dipelukkan Clara, Rosa menitikkkan air mata dengan tangan mengepal.
"Makasih, Sa." Clara mengurai pelukannya lalu menatap heran sahabatnya.
"Kenapa kamu menangis, Sa?"
"Aku menangis karena bahagia sebentar lagi sahabatku akan mengarungi bahtera rumah tangga dengan orang yang dicintainya."
"Aku pikir kamu kenapa menangis begitu. Kamu takut nanti aku gak ada waktu lagi untuk kita hangout. Tenang saja kita pasti masih bisa bersenang-senang." Rosa hanya menanggapi dengan tersenyum kecut.
"Oh iya, apa cowok itu sudah menyatakan perasaannya sama kamu, Sa."
"Belum, Ra. Aku rasa mungkin dia tidak akan menyatakan perasaannya."
"Kenapa begitu, Sa?"
"Dia hanya menganggapku sahabatnya dan sebentar lagi dia akan menikah."
"Apa! Aku pikir dari ceritamu kalian saling mencintai. Brengs*k juga ya cowok itu hanya php," sungut Clara.
"Aku gak suka kamu bilang begitu tentangnya. Mungkin aku saja yang terlalu baper, menyalah artikan perhatian dan kebaikannya."
"Maafkan aku, Sa Aku gak bermaksud bilang begitu. Kapan kamu mengenalkannya padaku, Sa. Dari dulu kamu selalu banyak alasan menolak permintaanku untuk mengenal cowok itu," sungut Clara.
Pada saat mereka sedang mengobrol, ponsel Clara berdering.
"Iya, Sayang. Aku segera ke sana." Clara menutup panggilan teleponnya.
"Maaf ya, Sa. Aku harus pergi menemui Bang David"
"Kenapa dengan David, Ra?" tanya Rosa dengan nada khawatir.
Clara menautkan alisnya saat melihat perubahan wajah Rosa. Dia berpikir ada sesuatu yang disembunyikan sahabatnya.
"Bang David mengajakku untuk memilih cincin pernikahan kami, Sa. Aku pergi dulu ya," pamit Clara.
Clara mencium pipi kanan dan pipi kiri sahabatnya lalu pergi tanpa mendengar jawabannya Rosa. Setelah kepergian Clara, amarah yang sejak tadi ditahannya kini membuncah.
Brak!
Clara menggebrak meja meluapkan emosinya. Semua mata tertuju padanya.
"Mengapa aku selalu kalah darimu, Clara? Kenapa kamu selalu mendapatkan apa yang aku inginkan? Kenapa takdir baik tidak berpihak padaku? Kenapa!" teriak Rosa sambil menangis. Dia tidak peduli dengan bisik-bisik orang yang ada di restoran itu.
"Hei Mbak, kalau mau gila jangan di sini," ujar seorang ibu menatap sinis Rosa.
"Diam kamu," bentak Rosa seraya menatap tajam ibu tersebut.
Rosa merasakan perutnya kram. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang merah lalu berdiri meninggalkan restoran itu. Saat Rosa berjalan semua orang cekikikkan. Rosa tidak memperdulikan mereka. Dia menuju parkiran dan mengendarai mobilnya.
Sesampai di rumahnya, Rosa baru menyadari jika orang-orang di restoran itu menertawakannya karena melihat darah haidnya tembus ke dresnya. Setelah membersihkan diri Rosa kembali menangis sambil menatap foto dirinya dengan seorang laki-laki.
"Kenapa kamu tidak menganggapku ada, menganggapku lebih berarti dalam hidupmu?" Air mata menetes mengenai figura foto itu.
Rosa berselancar di aplikasi berlogo biru. Dia ingin kepo dengan akun Clara. Rosa tersenyum getir saat melihat unggahan Clara beberapa menit yang lalu. Tampak sebuah tangan dengan cincin bermata berlian di jari manis Clara dengan caption cincin dari calon imamku.
"Argh!" teriak Rosa seraya melempar ponselnya di ranjang.
Lama Rosa terdiam hanya buliran bening mengalir membasahi wajahnya. Dia mengambil ponselnya, membuka kembali aplikasi tersebut. Netra Rosa berbinar saat melihat informasi tentang pelet darah haid yang dilakukan seorang istri untuk membuat suaminya kembali dalam pelukannya.
Rosa mencari informasi tentang pelet tersebut. Akhirnya dia mendapatkan alamat dukun yang akan membantunya.
"Ah, kebetulan aku sedang haid. Darah haid di hari pertama yang menjadi syaratnya. Secepatnya aku harus ke rumah dukun itu. Sebentar lagi impianku akan menjadi nyata. Bersiaplah kamu akan bertekuk lutut padaku," gumam Rosa seraya tersenyum sinis.
Rosa mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia tidak sabar menuju rumah Mbak Sastro-dukun yang akan mewujudkan impiannya bersanding dengan pria pujaan hatinya.
"Rumahnya jelek banget. Apa iya dia dukun sakti? Kok aku jadi ragu begini. Ah, aku coba saja. Siapa tau rumah jelek ini hanya digunakan untuk perdukunan sedangkan rumah aslinya pasti di kawasan elit. Gak mungkin dukun sakti yang banyak uang rumahnya jelek, pinggir kota lagi," batin Rosa.
Rosa keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah Mbah Sastro. Belum juga dia mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka. Tampak laki-laki berusia enam puluhan menatapnya tajam.
"Sudah puas kamu menghina rumah saya," ujar Satro sinis.
"Ba-bagaimana Mbah bisa tahu isi hatiku?" tanya Rosa gugup.
"Jika kamu masih meragukan kemampuan saya, silakan angkat kaki dari rumah jelek ini," ujar Satro datar dan dingin.
"Maafkan aku, Mbah. Aku percaya kalau Mbah Sastro dukun sakti," sahut Rosa seraya menangkupkan kedua tangannya.
"Masuklah," ketus Mbah Satro sembari berbalik badan meninggalkan Rosa yang masih bengong.
Laki-laki yang memakai pakaian serba hitam itu langsung duduk di altarnya. Dia membakar kemenyan. Rosa yang mencium bau kemenyan itu bergidik ngeri apa lagi melihat dihadapannya terdapat sesajen.
"Duduklah," titah Sasto.